Etiologi Pneumothorax
Etiologi pneumothorax dapat terjadi secara spontan maupun trauma. Pneumothorax spontan primer terjadi pada pasien tanpa riwayat penyakit paru. Pneumothorax spontan sekunder disebabkan oleh penyakit paru yang mendasari.
Pneumothorax Spontan Primer
Pneumothorax spontan primer terjadi karena adanya faktor risiko maupun kelainan paru yang pada awalnya tidak tampak pada gambaran radiologis rontgen toraks.[1,2]
Beberapa studi menunjukkan adanya bleb dan bulla pleura pada pasien dengan pneumothorax spontan primer. Bleb (kantong udara) atau bulla merupakan kantong kecil berisi udara yang terbentuk antara jaringan paru dan pleura. Pembentukan bleb diawali oleh pembesaran alveoli (diameter 1-2 cm).
Regio apeks paru dilaporkan sebagai lokasi tersering dari bleb. Hal ini diduga akibat gradien tekanan. Tekanan pleura pada apeks lebih negatif dibanding bagian basal, sehingga tekanan alveolar pun meningkat.[1,8]
Pneumothorax Spontan Sekunder
Etiologi pneumothorax spontan sekunder dapat disebabkan oleh berbagai penyakit paru. Ini termasuk penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), tuberkulosis paru, dan pneumonia.[1,2]
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK merupakan kelainan paru yang paling sering berhubungan dengan pneumothorax spontan sekunder. Paru pasien PPOK memiliki kondisi air-trapping serta hiperinflasi paru yang meningkatkan risiko ruptur bleb atau bulla.
Abnormalitas struktur paru pasien PPOK menyebabkan pasien memiliki risiko lebih tinggi mengalami pneumothorax iatrogenik akibat beberapa prosedur medis, seperti insersi kateter vaskular, biopsi paru transtorakal, serta biopsi paru transbronkial.[1,2]
Tuberkulosis
Pada daerah endemik, tuberkulosis adalah penyebab tersering terjadinya pneumothorax spontan sekunder. Ruptur kavitas, invasi Mycobacterium tuberculosis, serta nekrosis parenkim paru dan pleura visceral merupakan beberapa penyebab pneumothorax pada kasus tuberkulosis. Pneumothorax pada tuberkulosis dapat bersifat fatal dan memiliki sekuele, seperti empiema, gagal napas akut, kakeksia, serta terbentuknya fistula bronkopleura persisten.[1]
Pneumonia
Pada pneumonia, invasi dan nekrosis parenkim serta pleura visceral paru akibat infeksi infeksi bakteri Klebsiella, Staphylococcus, Pseudomonas, dan bakteri anaerobik dapat menyebabkan pneumothorax spontan sekunder unilateral. Selain itu, rupturnya aspergilloma pada kasus aspergillosis juga dapat menyebabkan pneumothorax spontan sekunder.[1]
Penyakit Paru Sistik Difusa (Diffuse Cystic Lung Disease/ DCLD)
Penyakit paru sistik difusa (DCLD) merupakan sekelompok kelainan paru yang ditandai dengan adanya gambaran kistik pada pemeriksaan pencitraan high-resolution CT (HRCT). Proses terjadinya pneumothorax disebabkan oleh inflamasi serta destruksi infiltratif dari kista yang menyebabkan kerusakan pada septum alveolus, saluran pernapasan kecil, serta pembuluh darah pada lobulus paru sekunder.[1]
Pneumothorax Traumatik
Etiologi pneumothorax traumatik, di antaranya:
- Trauma penetrasi pada regio toraks
- Trauma tumpul pada regio toraks
Barotrauma(pemakaian ventilator terutama dengan positive end-expiratory pressure tinggi)
Fraktur iga[1,2]
Pneumothorax Iatrogenik
Etiologi pneumothorax iatrogenik, antara lain:
- Biopsi aspirasi jarum transthorakal nodul pulmoner
- Biopsi pleura atau transbronkial
- Torakosentesis
- Pemasangan vena kateter sentral pada vena subklavia atau jugular interna
- Blok saraf interkostal[1,2]
Catamenial Pneumothorax
Pada catamenial pneumothorax, pneumothorax terjadi karena ruptur jaringan endometrium pada paru atau pleura visceral. Jaringan endometrium tersebut mencapai paru serta pleura dengan cara migrasi intraabdominal, mikrometastatik, atau melalui penyebaran sistem limfatik. Endometriosis-related pneumothorax juga dapat terjadi akibat adanya migrasi transgenital maupun transdiafragmatika dari jaringan endometrium melalui lapisan diafragma yang rusak.[1]
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan pneumothorax adalah merokok, infeksi HIV, dan infeksi COVID-19.
Merokok
Merokok merupakan faktor risiko independen pneumothorax spontan primer. Lebih dari 88% pasien pneumothorax spontan primer adalah perokok. Pada wanita, merokok meningkatkan risiko terjadinya pneumothorax spontan primer hingga 9 kali lebih tinggi, sedangkan pada pria 22 kali.[1,2]
Postur Tubuh dan Jenis Kelamin
Pria memiliki risiko 3 hingga 6 kali lebih tinggi mengalami pneumothorax spontan primer dibandingkan wanita. Pada pria dengan postur tubuh tinggi, bleb pada pleura muncul karena adanya tegangan mekanik paru yang lebih tinggi pada bagian apeks paru ketika masa pertumbuhan.[1]
Infeksi HIV
Pasien dengan HIV dan infeksi sekunder yaitu pneumonia Pneumocystis jirovecii (PCP) memiliki kemungkinan mengalami pneumothorax sebesar 9% dibandingkan 2-4% pada pasien tanpa HIV.[1]
Infeksi COVID-19
Terdapat insidensi sebesar 1% kasus pneumothorax spontan sekunder pada pasien infeksi COVID-19.[1]
Faktor Risiko Lainnya
Beberapa faktor risiko lain yang berhubungan dengan pneumothorax spontan adalah perubahan tekanan atmosfer, polusi udara, paparan terhadap bising, dan riwayat memainkan alat musik instrumen yang ditiup. Pasien dengan status underweight juga lebih berisiko mengalami pneumothorax.
Beberapa studi melaporkan adanya kadar aluminium yang lebih tinggi pada darah pasien dengan pneumothorax spontan, sehingga aluminium dikatakan memiliki kontribusi terhadap terbentuknya bleb subpleural dan lesi bulosa yang berpotensi menyebabkan pneumothorax.[1]
Salah satu jenis pneumothorax, yaitu catamenial pneumothorax adalah jenis pneumothorax pada wanita yang berhubungan dengan siklus menstruasi dan biasanya terjadi 72 jam sebelum dan setelah awitan periode menstruasi. Kondisi ini sering kali bersifat unilateral dan berhubungan dengan endometriosis torakal atau ekstratorakal.[5]
Faktor Risiko Pneumothorax Iatrogenik
Pada pneumothorax iatrogenik, faktor risiko pneumothorax dapat dibagi menjadi 3.
Procedure-related:
Beberapa faktor risiko yang bersifat procedure-related adalah jumlah biopsi, ukuran jarum biopsi, prosedur yang melibatkan paru, serta pendekatan yang tidak dipandu pencitraan.
Patient-related:
Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan pasien adalah riwayat prosedur intervensi sebelumnya pada regio yang sama, adanya jaringan parut, serta penyakit paru yang mendasari seperti emfisema berat atau penyakit paru bulosa.
Operator-related:
Beberapa yang termasuk faktor ini adalah pengalaman dan keterampilan yang berhubungan dengan jam terbang operator.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahmah
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta