Penatalaksanaan Pneumothorax
Penatalaksanaan awal pneumothorax adalah penanganan kegawatdaruratan, yakni memastikan patensi jalan napas (airway), pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation). Selanjutnya penatalaksanaan dapat terbagi menjadi penatalaksanaan konservatif dan invasif. Tujuan penatalaksanaan adalah untuk evakuasi udara jika diperlukan dan mencegah kekambuhan.
American College of Chest Physicians mendefinisikan pneumothorax berukuran besar atau luas apabila jarak apeks dan kupola adalah 3 cm. Di sisi lain, British Thoracic Society menyebutkan bahwa pneumothorax dapat dikategorikan luas apabila jarak interpleural pada batas hilum adalah 2 cm.[3,10]
Penatalaksanaan Pneumothorax Traumatik
Penatalaksanaan pneumothorax traumatik meliputi pertolongan pertama dengan penilaian Airway, Breathing and Circulation, serta pemasangan kateter interkostal atau chest tube jika perlu.
Pertolongan Awal
Patensi jalan napas harus adekuat dengan penilaian integritas dinding dada dan status sirkulasi karena tamponade jantung dapat memiliki gejala mirip tension pneumothorax. Posisi duduk tegak bermanfaat kecuali jika terdapat kontraindikasi seperti cedera spinal.
Jika pneumothorax berkaitan dengan luka tusuk, maka diperlukan penutupan luka segera. Pasang perban oklusif steril untuk menutupi luka terbuka dengan menempelkan perekat pada ketiga sisi. Tindakan ini dapat mencegah udara ruang memasuki rongga pleura tetapi udara dapat keluar dari rongga pleura ke ruangan saat proses ekspirasi melalui tepi yang tidak ditempel perekat.
Observasi ketat seluruh pasien pneumothorax karena tension pneumothorax atau keadaan emergensi pernapasan yang mengancam jiwa dapat terjadi. Hemothorax dapat terjadi pada pneumothorax traumatik, sehingga perlu dipasang akses intravena dengan kanul yang besar untuk resusitasi cairan jika pasien mengalami perburukan menjadi syok. Selain akibat perdarahan, syok obstruktif dapat timbul akibat pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral.
Airway:
Saat memeriksa jalan napas, perhatikan apakah terdapat sumbatan jalan napas seperti adanya bunyi napas tambahan seperti gargling yang mengindikasikan adanya perdarahan di saluran napas, atau stridor yang mengindikasikan adanya obstruksi saluran napas atas.
Breathing:
Saat menilai usaha bernapas (breathing) yang diperhatikan adalah ekspansi dada, laju pernapasan, saturasi oksigen perifer. Ekspansi dada yang tidak simetris dengan laju pernapasan cepat dapat ditemukan pada pneumothorax. Pada pneumothorax traumatik, lakukan juga penilaian terhadap tanda trauma pada dada, seperti memar, luka, atau emfisema subkutan.
Circulation:
Kegagalan sirkulasi dengan ditemukannya tanda syok seperti hipotensi, takikardia, akral dingin atau sianosis menunjukan kemungkinan terjadinya tension pneumothorax ataupun tamponade jantung.[1-3,10]
Terapi Oksigen
Segera berikan oksigen 100% dan pertahankan pemberian oksigen selama masa perawatan. Pemberian suplementasi oksigen aliran tinggi mempercepat absorpsi udara pleural secara klinis. Dengan menghirup oksigen 100% dibandingkan udara bebas, tekanan alveolar nitrogen akan menurun dan nitrogen secara bertahap akan bersih dari jaringan dan oksigen akan masuk ke sistem vaskular.
Dengan suplementasi oksigen konsentrasi tinggi, normalnya 1,2% volume akan terserap dalam 24 jam, 10% akan diabsorpsi dalam 8 hari dan 20% dalam 16 hari berikutnya. Perbedaan gradien nitrogen yang terjadi antara jaringan kapiler dan ruang pneumothorax akan meningkatkan absorpsi rongga pleural 4 kali lipat.[1-3,10]
Aspirasi Sederhana
Titik untuk aspirasi adalah pada sela iga 2 di linea midklavikula. Dapat juga dilakukan di sela iga 5 linea aksilaris anterior untuk mencegah perdarahan yang mengancam nyawa. Aspirasi jarum atau insersi kanul intravena efektif, nyaman, aman, dan ekonomis pada pasien tertentu sebagai pertolongan awal.[1-3,10]
Selang Torakostomi/Kateter Interkostal
Pemasangan kateter interkostal atau chest tube dianjurkan jika aspirasi sederhana tidak efektif dan torakoskopi tidak tersedia. Titik pemasangan kateter sama dengan titik pemasangan jarum aspirasi sederhana. Prosedur ini menyebabkan ekspansi paru yang cepat sehingga lama perawatan akan berkurang.
Risiko dari reekspansi paru yaitu edema paru akan lebih besar jika reekspansi terjadi terlalu cepat sehingga pemasangan water-seal dianjurkan pada 24 jam pertama. Saat ini pemasangan kateter telah banyak diganti dengan selang plastik (18-24 Fr) dibandingkan dengan trokar metal karena risiko cedera. Letak selang yang tepat dapat terlihat dari adanya gelembung saat ekspirasi dan saat batuk, serta kenaikan level air pada water seal pada saat inspirasi.[1-3,10]
Pneumothorax Okulta
Pneumothorax okulta (occult pneumothorax) merupakan pneumothorax yang terjadi namun tidak terlihat pada pemeriksaan rontgen toraks dan terdeteksi pada pemeriksaan CT scan. Beberapa studi terkini menyebutkan bahwa observasi tanda dan gejala gangguan dinding dada cukup dilakukan pada pasien trauma toraks dengan occult pneumothorax.[3]
Penatalaksanaan Pneumothorax Spontan Primer (PSP)
Manajemen konservatif merupakan terapi pilihan pada kasus pneumothorax spontan primer episode pertama yang berukuran kecil tanpa gejala dispnea. Manajemen konservatif kasus pneumothorax berupa observasi, pemberian suplementasi oksigen 10 liter per menit selama 4 hingga 6 jam, serta pemeriksaan rontgen toraks berkala.[3]
Pemberian oksigen yang direkomendasikan adalah pemberian oksigen kecepatan tinggi (high flow) sebanyak 10 liter per menit pada pneumothorax simptomatik. Pemberian oksigen kecepatan tinggi tersebut harus diobservasi ketat pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).[10]
Pertimbangan Terapi Konservatif pada Pneumothorax Spontan Primer Episode Pertama
Dalam kasus pneumothorax spontan primer episode pertama, terapi konservatif merupakan pilihan karena aspirasi jarum maupun insersi kateter interkostal merupakan prosedur invasif yang memiliki risiko komplikasi. Satu studi mengungkapkan bahwa terapi konservatif pada pneumothorax spontan primer menghasilkan risiko efek samping serta rekurensi yang lebih rendah dibandingkan terapi intervensi.[3,4]
Intervensi Medis
Selain terapi konservatif, aspirasi sederhana merupakan terapi lain yang dilaporkan memiliki efikasi hingga 70% pada pasien pneumothorax spontan primer. Beberapa studi mengungkapkan adanya tingkat efikasi yang lebih tinggi pada insersi small-bore chest tube dibandingkan aspirasi jarum. Untuk mencapai re-ekspansi paru, aspirasi harus dilakukan setidaknya hingga 2,5 L udara teraspirasi.[3,4]
Apabila tidak terdapat perbaikan gejala setelah prosedur aspirasi, pemasangan kateter interkostal dapat dipertimbangkan. Prosedur ini merupakan prosedur standar yang memungkinkan klinisi melakukan pemantauan kebocoran udara setelah prosedur insersi.
Beberapa studi terkini menyebutkan bahwa insersi small-bore catheter lebih efektif serta memiliki insidensi komplikasi yang lebih rendah dibandingkan large-bore chest tube. Walaupun demikian, pemasangan large-bore chest tube dinilai lebih efektif pada beberapa kondisi klinis tertentu, seperti kebocoran udara yang besar akibat adanya fistula bronkopleura, hidrotoraks dengan jenis eksudat yang cukup kental, dan pasien trauma tidak stabil.
Selain itu, insersi large-bore chest tube dengan cara diseksi tumpul dibilai lebih aman dibandingkan pemasangan small-bore chest tube menggunakan teknik Seldinger.[3]
Penatalaksanaan Pneumothorax Rekuren
Pada kasus pneumothorax rekuren, dapat dipertimbangkan pemasangan kateter interkostal atau terapi definitif untuk menurunkan risiko rekurensi.[3]
Penatalaksanaan Pneumothorax Spontan Sekunder (PSS)
Pneumothorax spontan sekunder (PSS) seringkali merupakan kondisi mengancam nyawa (life-threatening) dengan risiko rekurensi yang tinggi sehingga terapi konservatif tidak menjadi pilihan. Beberapa pilihan terapi rawat jalan (ambulatory management) pada kasus PSS antara lain penggunaan kateter interkostal dengan water seal.[3]
Terapi selanjutnya pada PSS adalah penatalaksanaan sesuai dengan etiologi penyakit yang mendasari terjadinya pneumothorax.[4]
Terapi Definitif
Terapi definitif tidak selalu diindikasikan pada seluruh pasien pneumothorax. Terapi definitif dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami episode pertama pneumothorax jika kebocoran udara lebih dari 72 jam, terjadi kegagalan re-ekspansi paru, pneumothorax bilateral, tension pneumothorax, atau terdapat bulla soliter berukuran besar.
Selain itu, pemberian terapi definitif pada pasien pneumothorax harus dipertimbangan dengan adanya occupational hazards. Misalnya pada penyelam dan pekerja maskapai penerbangan. Adanya risiko tinggi rekurensi juga merupakan pertimbangan pemberian terapi definitif pada kasus pneumothorax.[3]
Terapi Pembedahan
Tujuan terapi pembedahan pada pneumothorax adalah reseksi bagian parenkim paru abnormal, meliputi bulla serta obliterasi ruang pleura. Pendekatan terapi pembedahan dapat dilakukan melalui torakotomi terbuka atau torakoskopi.
Studi menyebutkan adanya risiko pneumothorax rekuren hingga 4 kali lipat lebih tinggi pada prosedur torakoskopi dibandingkan bedah terbuka. Meski demikian, komplikasi berupa nyeri pasca operasi dan durasi waktu pemulihan pasien yang lama menjadikan prosedur torakotomi bukan merupakan pendekatan lini pertama untuk pembedahan pada kasus pneumothorax rekuren.
Pedoman klinis merekomendasikan prosedur torakoskopi sebagai prosedur pilihan pada kasus pneumothorax rekuren karena risiko perdarahan, nyeri pasca operasi, serta lama pemulihan yang lebih singkat. Beberapa prosedur tambahan seperti pleurodesis kimiawi dan mekanik dapat dilakukan sebagai prosedur tambahan untuk menurunkan kemungkinan terjadinya rekurensi.[3]
Pleurodesis
Prosedur pleurodesis dapat bersifat mekanik maupun kimiawi. Beberapa studi mengungkapan tidak ada penurunan rekurensi pneumothorax pasca prosedur pleurodesis mekanik, sehingga manfaat klinisnya masih menjadi kontroversi. Pleurodesis mekanik dilakukan dengan menyebabkan abrasi mekanik pada pleura parietal saat melakukan torakoskopi atau torakostomi.[3,4]
Beberapa zat yang dapat digunakan pada pleurodesis kimiawi adalah talc, tetrasiklin, dan iodin. Penggunaan talc pada pleurodesis kimiawi memiliki tingkat keberhasilan hingga 90%. Beberapa efek samping yang mungkin terjadi adalah nyeri, inflamasi sistemik, dan demam.[3]
Pleurektomi
Pada pleurektomi, pleura parietal dihilangkan. Beberapa studi mengungkapkan prosedur pleurektomi memiliki laju rekurensi yang mirip dengan prosedur pleurodesis.[3]
Reseksi
Prosedur reseksi dapat dilakukan apabila terdapat kerusakan pada segmen apikal lobus paru atas. Biasanya, prosedur wedge resection dilakukan pada segmen apikal lobus paru atas dan bagian superior lobus paru bawah.[3]
Katup Endobronkial
Terapi katup bronkoskopik sudah banyak diberikan pada pasien yang tidak dapat menjalani terapi pembedahan. Keberhasilan terapi katup endobronkial bergantung pada beberapa faktor, yaitu adanya fisura komplit dan ventilasi kolateral.
Selain itu, untuk meningkatkan terapi katup endobronkial, kebocoran udara yang dialami pasien harus terlokalisasi pada satu lobus, segmen, atau subsegmen menggunakan oklusi balon. Biasanya, setelah 6 minggu, katup akan dikeluarkan ketika defek pada pleura visceral sudah sembuh.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Debtia Rahmah
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta