Diagnosis Autism Spectrum Disorder
Penegakan diagnosis autism spectrum disorder (ASD) adalah berdasarkan konfirmasi gejala klinis seperti gangguan komunikasi dan interaksi sosial misalnya gangguan berbahasa dan tidak ada kontak mata, perilaku/ritual repetitif yang kaku, dan preokupasi berlebihan pada objek, tekstur, atau warna.
Gejala-gejala ini ditemukan baik berdasarkan observasi langsung terhadap pasien atau berdasarkan laporan dari orang tua atau caregiver, dan riwayat perkembangan anak.[7,12]
Kriteria diagnosis terbaru yang digunakan adalah berdasarkan kriteria diagnosis dalam DSM 5 atau ICD 11. Untuk membantu menegakkan diagnosis bisa digunakan alat bantu instrumen, namun belum ada pemeriksaan fisik atau penunjang yang spesifik untuk ASD.
Anamnesis
Keluhan utama yang sering mengarah kepada diagnosis ASD pada anak adalah keterlambatan dalam perkembangan bahasa, regresi kemampuan berbahasa, keterlambatan dalam kemampuan berkomunikasi, perilaku abnormal, dan gangguan dalam interaksi dengan teman sebaya.[13]
Anamnesis dilakukan terhadap orang tua dan atau pasien dengan ASD. Hal yang harus digali dalam anamnesis adalah riwayat medis umum seperti riwayat kehamilan dan persalinan, riwayat penyakit fisik dan mental yang pernah atau sedang diderita, riwayat kejang atau gangguan neurologis lain, serta riwayat keluarga.[1]
Anamnesis juga mencakup riwayat perkembangan anak, terutama perkembangan kemampuan berbahasa, komunikasi, interaksi sosial, dan kemampuan bermain. Perlu digali juga mengenai perilaku-perilaku bermasalah pada anak, baik yang diamati oleh orang tua atau dilaporkan oleh orang lain.
Perilaku bermasalah yang ditemui biasanya adalah perilaku repetitif, ritual yang kaku, ketertarikan yang tidak wajar, dan preokupasi pada objek, warna, atau tekstur. Perilaku ini juga bisa berupa respon tidak wajar terhadap stimulus tertentu.[1,2,7]
Gejala-gejala ASD biasanya mulai bisa diamati semenjak anak berumur 18-24 bulan, namun baru terlihat jelas pada usia-usia yang lebih tua, terutama ketika anak sudah mulai terlibat dalam proses interaksi sosial.[12,14]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada anak ASD mencakup pemeriksaan antropometri, pertumbuhan, penampakan fisik dismorfik, gejala-gejala neurologis, dan evaluasi kelainan kulit. Perkembangan fisik pada anak dengan ASD umumnya normal, namun tetap perlu dilakukan pemeriksaan untuk kelainan fisik yang sering ditemukan pada sindrom-sindrom yang banyak menyertai ASD misalnya retardasi mental dan sindrom Fragile X.[1,13]
Pemeriksaan Antropometri
Data antropometri menunjukkan bahwa anak-anak dengan ASD mempunyai laju pertumbuhan yang lebih cepat pada tahun pertama sehingga mempunyai ukuran lingkar kepala, panjang badan, dan berat badan yang lebih besar dibanding anak seusia.
Penambahan berat badan yang lebih cepat pada tahun pertama juga ditemukan pada anak dengan ASD. Namun penelitian menunjukkan bahwa perbedaan ini hanya signifikan pada tahun pertama kehidupan dan menghilang pada usia yang lebih tua.[33]
Gejala Neurologis
Komorbiditas neurologis yang sering ditemukan bersama dengan ASD adalah epilepsi dan disabilitas intelektual sehingga anak dengan ASD perlu dilakukan pemeriksaan EEG dan IQ sesuai indikasi.[34]
Keterlambatan dan gangguan motorik sering ditemukan pada pasien dengan ASD. Manifestasi gangguan motorik biasanya berupa gait atau cara berjalan dan postur yang aneh, serta gangguan koordinasi gerak.
Pemeriksaan motorik yang dilakukan sebaiknya mencakup pemeriksaan untuk akurasi gerakan, waktu reaksi, motorik kasar dan halus, gait, stabilitas keseimbangan, hiperkinetik, dan praxia.[35]
Pemeriksaan Perilaku
Keluhan utama pada anak ASD adalah adanya masalah perilaku. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan perilaku yang komprehensif, baik untuk menegakkan diagnosis atau mencari komorbiditas gangguan perilaku lainnya.
Pemeriksaan perilaku yang perlu dilakukan mencakup tiga domain, yaitu pemeriksaan mengenai kemampuan interaksi sosial, kemampuan komunikasi dan berbahasa, serta perilaku repetitif.[7,12]
Pemeriksaan perilaku sebaiknya berdasarkan observasi langsung, laporan dari orang tua, dan guru. Pemeriksaan ini sebaiknya menggunakan sumber informasi multiple. Pada anak dengan usia yang lebih tua, juga perlu dilakukan penilaian kemampuan dan perilaku dalam keterampilan hidup sehari-hari, terutama kemampuan domestik seperti makan dan merawat diri.[12,15]
Pemeriksaan Kemampuan Interaksi Sosial
Gangguan interaksi sosial pada anak dengan ASD menyebabkan mereka kesulitan untuk merespon stimulus sosial dan ketidakmampuan untuk membangun hubungan sosial yang bermakna. Gejala ini bisa diperiksa melalui wawancara atau menggunakan instrumen.
Instrumen yang banyak digunakan adalah Child Behavioural Check List (CBCL) yang bisa diaplikasikan pada guru atau orang tua anak. Untuk anak-anak yang masih sangat muda, bisa digunakan instrumen Autism Observation Scale for Infants (AOSI), First Year Inventory (FYI), Communication and Symbolic Behavior Scales (CSBS), Early Social Communication Scale (ESCS); Screening Tool for Autism in Two-Year-Olds (STAT); dan Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT).
Dari semua instrumen tersebut, yang paling banyak digunakan adalah CBCL untuk anak yang lebih besar dan M-CHAT untuk anak kurang dari 2 tahun.[36]
Pemeriksaan Kemampuan Komunikasi dan Berbahasa
Anak-anak dengan ASD umumnya mengalami keterlambatan dalam perkembangan berbahasa. Mereka juga akan mengalami kesulitan dalam pemilihan diksi, ekspresi emosi secara verbal, dan berkomunikasi secara verbal.
Mereka sering berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata tidak bermakna, mengulang-ulang ucapan, atau berbicara hanya mengenai satu atau dua hal yang tertentu yang spesifik. Namun terdapat pengecualian, yaitu pada sindrom Asperger umumnya pasien masih mempertahankan kemampuan berbahasa.[1]
Pemeriksaan Perilaku Repetitif
Pasien dengan ASD umumnya mempunyai ketertarikan yang terbatas pada hal-hal yang sama dan perilaku repetitif. Pemeriksaan untuk ini bisa dilakukan dengan cara observasi langsung misalnya dengan membiarkan anak bermain ketika diperiksa, menggunakan media video, atau berdasarkan laporan orang tua.
Perilaku repetitif yang ditunjukkan anak bisa berupa perilaku bermain misalnya berulang kali mengatur atau menyusun mainan dengan urutan atau susunan tertentu, berulang kali memainkan mainan dengan cara tertentu yang tidak sesuai dengan cara bermainnya, atau berfokus pada salah satu bagian mainan saja.
Perilaku repetitif lain yaitu repetitif motorik yang dilakukan misalnya bertepuk tangan atau menggelengkan kepala, repetitif sensorik misalnya berulang kali menyentuh atau menjilat objek, repetitif verbal seperti mengulang-ulang kata atau kalimat, atau perilaku membahayakan diri sendiri misalnya menggigit jari, memukul kepala atau menampar wajah.
Perilaku membahayakan diri sendiri ini prevalensinya mencapai 50% pada pasien dengan ASD, relatif tinggi bila dibandingkan dengan 12% pada pasien dengan disabilitas intelektual.[2,31-32]
Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada parameter laboratorium atau biomarker spesifik untuk menegakkan diagnosis ASD. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi individual pada pasien.[15]
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin pada ASD, namun dianggap sebagai salah satu pemeriksaan yang penting. Hal ini karena keterlibatan banyak gen dalam patofisiologi ASD.[2]
Pemeriksaan genetik sebaiknya hanya digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan bukan sebagai metode penegakan diagnosis. Pemeriksaan ini penting terutama untuk konfirmasi kecurigaan adanya sindrom lain sebagai komorbid ASD.[16,17]
Pemeriksaan genetik yang bisa dilakukan pada pasien dengan ASD antara lain adalah chromosomal microarray analysis (CMA), exome sequencing (ES), atau FMR1 CGG repeat analysis.[18]
Indikasi untuk dilakukan pemeriksaan genetik adalah:
- Ada saudara kandung atau anggota keluarga lain yang menderita ASD
- Ada riwayat anggota keluarga yang mempunyai perubahan genetik terkait ASD dari pemeriksaan genetik sebelumnya
- Terdapat banyak riwayat ASD dalam keluarga
Elektroensefalografi (EEG) dan Audiometri
Patofisiologi ASD diperkirakan melibatkan gangguan perkembangan berbagai regio otak dan proses mielinasi. Hal ini menjadi alasan kenapa pemeriksaan EEG boleh dilakukan pada anak dengan ASD.
Pemeriksaan EEG seringkali menunjukkan adanya hipo atau hiperaktivitas pada area-area “sosial” otak yang mencakup superior temporal sulcus (STS), middle and superior temporal gyri (area Wernicke), anterior cingulate cortex (ACC), fusiform gyrus/fusiform face area (FFA), amygdala, medial pre-frontal cortex (mPFC), dan inferior frontal gyrus (area Broca).
Namun hasil EEG tersebut tidak patognomonis untuk ASD karena juga bisa ditemukan pada pasien dengan epilepsi. Pemeriksaan ini pada pasien dengan ASD bisa dilakukan untuk monitoring otak selama pasien mendapatkan intervensi perilaku sosial.[19]
Keterlambatan berbahasa pada bayi dan anak-anak juga bisa disebabkan oleh adanya gangguan pendengaran. Untuk menyingkirkan diagnosis banding ini, maka pemeriksaan audiometri perlu dilakukan. Pemeriksaan audiometri yang bisa dilakukan pada bayi dan anak-anak usia dibawah 5 tahun adalah otoacoustic emissions (OAE), auditory brainstem response (ABR), atau Brain Evoked Response Auditory (BERA).[20]
Test Metabolik
Pada anak dengan ASD sering ditemukan masalah metabolisme asam amino, karbohidrat, purin, peptide, mitokondria, dan asam lemak. Meskipun demikian pemeriksaan metabolik tidak disarankan sebagai pemeriksaan rutin karena hanya sebagian kecil saja pasien yang mengalami hal ini.[29,37]
Kriteria Diagnosis ASD
Diagnosis ASD saat ini ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis terbaru dalam ICD 11 atau DSM 5. Dalam kriteria diagnosis terbaru, tidak ada lagi pembagian dalam diagnosisnya. Jenis-jenis autisme kriteria diagnosis sebelumnya dijadikan sebagai satu kriteria diagnosis dalam ICD 11 dan DSM 5, termasuk diagnosis sindrom Asperger dihilangkan dan digabungkan dengan diagnosis ASD.[1]
Kriteria Diagnostik Berdasarkan DSM-5
Untuk memenuhi kriteria diagnostik untuk ASD, maka anak harus mengalami defisit yang persisten dalam semua area komunikasi dan interaksi sosial (kriteria A) dan setidaknya dua kriteria perilaku repetitif (kriteria B).[7]
Kriteria A:
Defisit yang persisten dalam komunikasi dan interaksi sosial dalam konteks yang beragam atau multipel. Manifestasi dari defisit tersebut baik yang masih dialami maupun riwayat sebelumnya, sebagai berikut:
- Defisit dalam respon timbal balik sosial-emosional, mulai dari pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan dalam komunikasi dua arah normal; sampai kehilangan minat, emosi, atau afek; kegagalan untuk memulai atau merespon interaksi sosial
- Defisit dalam perilaku komunikasi non verbal yang digunakan untuk interaksi sosial, mulai dari integrasi komunikasi verbal dan non verbal yang buruk, abnormalitas dalam kontak mata dan bahasa tubuh, atau defisit salam pemahaman dan penggunaan bahasa tubuh; ketidakmampuan menunjukkan ekspresi fasial dan komunikasi non verbal secara total
- Defisit dalam mengembangkan, mempertahankan, dan memahami hubungan, mulai dari kesulitan dalam menyesuaikan perilaku dengan konteks sosial; kesulitan dalam bermain imajinatif atau berteman; sampai ketiadaan minat untuk bermain dengan teman sebaya
Kriteria B:
Pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas dan repetitif yang bermanifestasi baik yang saat ini masih dialami maupun riwayat sebelumnya. Setidaknya terdapat 2 dari hal-hal berikut, yaitu:
- Pola gerakan motorik, minat, atau aktivitas yang stereotipik atau repetitif, misalnya gerakan motorik sederhana repetitif, menyusun mainan dengan cara tertentu, membalikkan objek, echolalia, frase-frase idiosinkratik
- Keinginan yang kuat untuk hal-hal yang seragam, mematuhi pola rutinitas yang kaku, atau pola perilaku ritualistik baik verbal maupun non verbal, misalnya distress yang berat akibat perubahan kecil, kesulitan transisi, pola pikir yang kaku, ritual yang kaku, keinginan untuk melewati rute atau konsumsi makanan yang selalu sama
- Minat yang sangat terfiksasi dan terbatas yang jelas tidak normal dalam hal intensitas atau fokus, misalnya kelekatan yang kuat dengan objek yang tidak biasa, minat yang sirkumferensial; berputar-putar di sekitar itu saja atau perseveratif
- Hiper atau hipo-reaktivitas terhadap input sensori atau minat yang tidak biasa terhadap aspek sensoris dari lingkungan, misalnya indiferen terhadap rasa sakit atau suhu, respon tidak wajar terhadap suara atau tekstur tertentu, membaui atau menyentuh objek secara ekstensif, ketertarikan secara visual terhadap cahaya atau gerakan
Kriteria Lain:
Gejala harus muncul pada periode perkembangan awal. Namun mungkin tidak bermanifestasi sempurna sampai ada tekanan sosial yang melebihi kapasitas individu yang terbatas atau terhalang oleh strategi adaptif yang dipelajari kemudian.
Gejala-gejala yang muncul menimbulkan gangguan yang signifikan dalam hubungan sosial, okupasional, atau area fungsi penting lainnya
Gangguan-gangguan yang timbul tidak bisa dijelaskan oleh adanya disabilitas intelektual atau gangguan perkembangan global. Disabilitas intelektual sering ditemukan bersama dengan autisme, untuk menegakkan komorbiditas ini maka tingkat kemampuan komunikasi sosial harus berada dibawah dari tingkat perkembangan secara umum.
Kriteria Diagnosis Berdasarkan ICD 11
Menurut klasifikasi ICD-11 yang mulai diterapkan pada awal tahun 2022, ASD ditandai oleh adanya defisit yang persisten dari kemampuan untuk memulai dan mempertahankan interaksi dan komunikasi sosial dua arah; dan oleh adanya sejumlah pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas, repetitif, dan kaku yang jelas sebagai sesuatu yang atipikal atau berlebihan untuk umur individual dan dalam konteks sosial budaya.
Onset ASD biasanya dimulai pada masa perkembangan, biasanya pada masa kanak-kanak awal, tapi mungkin manifestasi gejala baru menjadi lebih jelas pada usia yang lebih tua, ketika kebutuhan sosial melebihi kapasitas yang terbatas.
Defisit yang terjadi menyebabkan gangguan yang cukup berat dalam fungsi personal, keluarga, sosial, pendidikan, pekerjaan, atau area fungsi penting lainnya. Hal ini biasanya bersifat pervasif atau menyeluruh mengenai setiap aspek pada semua setting, meskipun bisa bervariasi berdasarkan konteks sosial, pendidikan, atau konteks lainnya.
ICD-11 kemudian membagi lagi ASD berdasarkan ada tidaknya perkembangan intelektual dan gangguan bahasa fungsional.[21]
Skrining Autism Spectrum Disorder (ASD)
The American Association for Children and Adolescent Psychiatry merekomendasikan skrining tumbuh kembang anak secara teratur pada usia 9, 18, 24, dan 30 bulan. Skrining untuk ASD direkomendasikan untuk dilakukan pada usia 18 dan 24 bulan atau bila orang tua maupun caregiver mengeluhkan kecurigaan ke arah ASD.
Instrumen yang bisa digunakan untuk ini dan telah divalidasi dalam bahasa Indonesia adalah Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT).[1,2,22] M-CHAT merupakan instrumen skrining dua tahap untuk menilai risiko ASD.
Pada hasil skrining yang positif atau jika ada kekhawatiran orang tua tentang kemungkinan adanya ASD pada anak, mengisyaratkan bahwa pasien mungkin memerlukan rujukan untuk evaluasi formal lanjutan. Instrumen ini telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.[22,23]
Contoh pertanyaan yang terdapat pada Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT) tertera pada table 1.
Tabel 1. Kuesioner M-CHAT Berbahasa Indonesia
Berikut adalah daftar respons gagal dari tiap pertanyaan M-CHAT. Huruf yang dicetak tebal adalah item kritis.
Sumber: Salim et al. Paediatrica Indonesiana. 2020.[22]
Hasil dianggap gagal bila terdapat 2 atau lebih item kritis gagal atau bila gagal 3 atau lebih pada item apa saja. Anak dengan hasil gagal harus dievaluasi lebih dalam dan dirujuk ke spesialis untuk evaluasi perkembangan lebih lanjut. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua anak yang gagal ketika skrining akan didiagnosis dengan autism spectrum disorder (ASD).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding ASD adalah gangguan perkembangan atau keterlambatan perkembangan misalnya gangguan komunikasi sosial (social communication disorder) dan gangguan berbahasa spesifik, gangguan kognitif misalnya disabilitas intelektual, serta gangguan perilaku lain yang beronset pada masa kanak maupun remaja seperti ADHD dan separation anxiety.
ASD juga harus didiagnosis banding dengan gangguan perilaku karena proses adaptasi di sekolah. Gangguan fisik yang menjadi diagnosis banding ASD adalah gangguan pendengaran dan gangguan berbahasa spesifik, misalnya disleksia.[1]
Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD)
Diagnosis banding yang pertama adalah attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD). Gambaran ADHD mirip dengan ASD. Perbedaannya adalah pada ADHD anak mengalami perilaku hiperaktif pada hampir semua hal dan cenderung inatentif yaitu kesulitan memusatkan perhatian.
Sementara pada ASD hiperaktivitas muncul dalam bentuk perilaku-perilaku repetitif dan perhatiannya terpusat pada satu atau dua hal tertentu saja dan tidak mempertahankan lainnya.
Anak-anak dengan ADHD banyak bicara dengan berbagai macam ide dan cenderung suka menyela, sementara pada ASD anak biasanya akan banyak berbicara mengenai satu atau dua topik tertentu saja. ADHD juga bisa ditemukan sebagai gangguan komorbid pada ASD.[1,7]
Gangguan Berbahasa Spesifik
Diagnosis banding lainnya adalah gangguan berbahasa spesifik, misalnya gangguan berbahasa ekspresif, gangguan komunikasi sosial, gangguan fonologis serta mutisme selektif. Gangguan-gangguan ini bisa dibedakan dari ASD dari adanya kemampuan interaksi sosial dan keinginan serta upaya untuk berbahasa atau berkomunikasi meskipun mengalami kesulitan.
Gangguan berbahasa ekspresif dan gangguan komunikasi sosial dibedakan dari ASD berdasarkan ada tidaknya perilaku repetitif dan minat yang terbatas. Anak-anak dengan gangguan fonologis dan mutisme selektif tidak mengalami gangguan perkembangan dini, seringkali masih mempunyai kemampuan komunikasi pada konteks dan situasi tertentu. Anak-anak dengan ASD umumnya tidak mempunyai keinginan untuk berkomunikasi.[1,7]
Disabilitas Intelektual atau Retardasi Mental
Gangguan lain yang menjadi diagnosis banding adalah disabilitas intelektual atau retardasi mental. Pada disabilitas intelektual tidak terdapat diskrepansi antara kemampuan interaksi sosial dan bahasa dengan usia perkembangannya, sementara pada ASD terdapat diskrepansi antara kemampuan interaksi sosial dan bahasa dengan usia perkembangannya.[7]
Skizofrenia
Skizofrenia yang beronset pada masa kanak juga bisa menyerupai ASD. Namun skizofrenia umumnya diawali dengan perkembangan yang normal atau hampir normal, disamping berkembangnya gejala khas pada skizofrenia yaitu waham dan halusinasi yang tidak ditemukan pada ASD.[7]
Gangguan Obsesif Kompulsif (OCD) dan Gangguan Tic
Perilaku repetitif, termasuk perilaku verbal repetitif, yang terdapat pada anak-anak dengan ASD bisa didiagnosis banding dengan gangguan obsesif kompulsif dan gangguan tic. Perbedaan dengan gangguan obsesif kompulsif adalah obsesif dan kecemasan yang mengikuti bila kompulsi tidak dilakukan, dimana hal ini tidak ada pada ASD.
Gerakan atau perilaku verbal pada gangguan tic tidak bisa dikendalikan oleh pasien dan umumnya timbul pada kondisi-kondisi stressful, berbeda dengan pada ASD yang bisa sepenuhnya dikendalikan pasien.[1]
Fetal Alcohol Syndrome
Mirip dengan anak-anak dengan ASD, anak-anak dengan Fetal alcohol syndrome (FAS) mungkin memiliki defisit dalam keterampilan sosial dan neurobehavioral. Karakteristik pembeda yang utama adalah fitur wajah yang khas untuk FAS (yaitu fisura palpebra pendek, batas vermillion tipis, dan filtrum halus). Mikrosefali juga lebih sering terjadi pada anak-anak dengan FAS daripada ASD, mikrosefali tidak diperlukan untuk diagnosis FAS.[38]
Gangguan Pendengaran
Anak-anak dengan gangguan pendengaran biasanya memiliki interaksi sosial timbal balik yang normal, permainan yang imajinatif dan tatapan mata ke mata lawan bicara juga masih normal, dimana hal itu tidak ada pada anak-anak dengan ASD. Ekspresi wajah pada anak tunarungu juga berbeda dengan anak ASD, dan masih terlihat menunjukkan niat untuk berkomunikasi.[38]
Penulisan pertama oleh: dr. Sunita