Epidemiologi Collodion Baby Syndrome
Data epidemiologi menunjukkan bahwa collodion baby syndrome merupakan kelainan genetik langka dengan angka kejadian 1 dari 50.000-100.000 kelahiran hidup.[2]
Global
Collodion baby syndrome merupakan kondisi sangat langka yang diturunkan secara autosomal resesif. Angka kejadian collodion baby syndrome adalah 1 dari 50.000-100.000 kelahiran hidup.
Membran collodion umumnya terlepas dalam 2-4 minggu berikutnya setelah lahir dan menunjukkan kelainan kulit yang mendasarinya. Selanjutnya, sekitar 75% kasus bayi collodion berkembang menjadi iktiosis kongenital autosomal resesif (autosomal recessive congenital ichthyosis/ ACRI), baik iktiosis lamelar ataupun congenital ichthyosiform erythroderma. 10% adalah self-healing collodion baby, dan 15% termasuk kelainan keratinisasi lainnya.[1,2,5]
Indonesia
Belum ada data angka kejadian collodion baby syndrome di Indonesia.[6]
Mortalitas
Collodion baby syndrome merupakan kelainan langka dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi, terutama pada periode neonatal. Kejadian mortalitas utamanya berhubungan dengan dehidrasi, septikemia, ketidakseimbangan elektrolit, hipotermia, gagal ginjal, serta timbulnya semacam ikatan konstriksi pada ekstremitas yang menimbulkan edema dan oklusi vaskuler.
Adanya membran collodion dapat membatasi pernapasan yang menyebabkan gangguan pernapasan dan desaturasi oksigen. Selain itu, dapat pula terjadi obstruksi hidung yang membuat pasien sulit bernapas. Membran collodion juga bisa mengakibatkan kesulitan menelan dan keterbatasan gerak sendi.[4]