Epidemiologi Mikrosefali
Data epidemiologis menunjukkan bahwa mikrosefali atau microcephaly jarang terjadi, tetapi prevalensinya berbeda secara signifikan antara negara maju dan negara berkembang. Diperkirakan di Amerika Serikat mikrosefali terjadi pada 2-12 bayi per 10.000 kelahiran hidup, sedangkan di India angkanya 6 bayi per 10.000 kelahiran hidup.
Angka kejadian mikrosefali bervariasi karena banyak dipengaruhi oleh perbedaan pengukuran dan pelaporan kasus. Pada kebanyakan kasus (62,8%), tidak ditemukan etiologi yang jelas dari mikrosefali. Faktor genetik adalah penyebab mikrosefali sebab jelas terbanyak (29%) diikuti dengan cedera otak prenatal dan perinatal akibat teratogen, penyakit maternal, atau komplikasi kelahiran (27%). Prevalensi mikrosefali akibat gangguan metabolik cukup rendah yaitu 1-5%.
Mikrosefali berhubungan dengan risiko kelahiran prematur 3,1 kali lebih tinggi. Risiko mikrosefali lebih tinggi pada ibu dengan angka paritas dan sosioekonomi rendah.[3,9,10,14]
Global
Di Amerika Serikat diperkirakan mikrosefali terjadi pada 2-12 bayi per 10,000 kelahiran hidup dengan prevalensi sekitar 0,54-0,56%. Di Eropa, prevalensi mikrosefali adalah 1,53 bayi per 10,000 kelahiran, sedangkan di India angkanya adalah 6 bayi per 10,000 kelahiran. Pada tahun 2015-2016, infeksi virus Zika di Brazil menyebabkan peningkatan mikrosefali hingga 4-8% pada semua kelahiran hidup.[5,6,10]
Indonesia
Sedangkan berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, dari 956 kasus kelainan bawaan, terdapat 2,3% kasus mikrosefali. Belum ada data mengenai penyebab mikrosefali terbanyak di Indonesia, namun keterlambatan perkembangan global terbanyak adalah disgenesis cerebral, diikuti dengan cerebral palsy dan infeksi ToRCH seperti toxoplasmosis, rubella dan lainnya.[7,8]
Mortalitas
Pada penelitian terhadap neonatus dari tahun 1989-2012 di Kanada ditemukan mortalitas pasien dengan mikrosefali lebih tinggi 20 kali dibandingkan dengan tanpa mikrosefali. Ada peningkatan risiko enterocolitis nekrotikans serta displasia bronkopulmoner, dan hal ini berpengaruh pada peningkatan risiko hospitalisasi pasien.[9]