Edukasi dan Promosi Kesehatan Tuberkulosis Paru pada Anak
Edukasi dan promosi kesehatan tuberkulosis paru pada anak mencakup penerapan vaksin BCG atau Bacillus Calmette–Guérin, intervensi untuk kontrol infeksi, serta identifikasi dan terapi infeksi laten. Karena diagnosis konfirmasi tuberkulosis paru pada anak cukup sulit dilakukan, dokter perlu mengidentifikasi secara dini pasien yang terduga mengalami infeksi tuberkulosis. Penapisan dapat dilakukan dengan tes Mantoux maupun tes cepat molekuler (TCM).[2,7]
Edukasi dan Promosi Kesehatan pada Anak dan Keluarga
Di Indonesia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membuat edukasi tuberkulosis menjadi lebih mudah dipahami anak-anak dengan penggunaan buku edukasi berjudul “Hore, Tibi Sembuh”. Buku ini diciptakan dengan harapan anak dan keluarga mampu mengenali gejala dan tindakan apa yang diperlukan apabila terinfeksi tuberkulosis.[28,29]
Edukasi kepada orang tua juga diperlukan untuk meningkatkan capaian vaksin BCG, mengenali gejala tuberkulosis secara dini, mengajak anak berobat jika diduga mengidap tuberkulosis, serta mengajak orang tua berperan aktif dalam pengobatan tuberkulosis paru. Perlu untuk disampaikan hal-hal terkait perilaku hidup sehat (PHBS), ventilasi kamar anak dengan tuberkulosis, pentingnya paparan sinar matahari yang cukup, dan cara pencegahan penularan dengan saudara serumah ataupun orang lain.
Karena tuberkulosis paru pada anak seringkali ditularkan oleh orang dewasa, sampaikan untuk melakukan pengecekan ke fasilitas Kesehatan apabila ada orang dewasa yang tinggal serumah dengan anak mengalami batuk lebih dari 3 minggu. Sampaikan pula pentingnya kepatuhan dan keteraturan minum obat pada anak yang terinfeksi tuberkulosis.
Orang tua juga bisa dijadikan pengawas minum obat (PMO) selama anak mendapat terapi. Hal ini dapat meningkatkan kepatuhan terapi, mencegah resistensi, dan putus pengobatan.[7,14]
Upaya Pengendalian dan Penanggulangan Tuberkulosis Paru pada Anak
World Health Organisation (WHO) mengembangkan sebuah strategi untuk mengakhiri tuberkulosis di dunia yaitu End TB Strategy. Target dari strategi ini adalah penurunan kejadian tuberkulosis 90% dan angka kematian tuberkulosis 95% pada tahun 2035.
Prinsip strategi WHO dalam pengendalian dan penanggulangan tuberkulosis mencakup:
- Adanya peran serta pemerintah dalam evaluasi dan penerapan strategi WHO
- Koalisi dengan organisasi sosial masyarakat
- Penjaminan Hak Asasi Manusia serta kesetaraan antar masyarakat
- Adaptasi strategi dan target di tiap negara beserta kolaborasi global
Di Indonesia sendiri, strategi yang digunakan untuk mencapai eliminasi kasus tuberkulosis antara lain:
- Komitmen pemerintah baik pusat maupun daerah dalam mendukung upaya eliminasi tuberkulosis
- Akses layanan tuberkulosis harus dikembangkan sehingga lebih bermutu dan berpihak pada pasien
- Upaya promosi kesehatan, pencegahan dan pengendalian, serta pemberian pengobatan tuberkulosis harus dioptimalkan
- Memanfaatkan hasil penelitian yang ada serta teknologi skrining, diagnosis, maupun tata laksana tuberkulosis
- Peran serta seluruh stakeholder baik masyarakat maupun komunitas yang ada harus dimaksimalkan
- Penguatan sistem kesehatan yang ada
Strategi ini terus dikembangkan termasuk tata laksana kasus tuberkulosis resisten obat dan tuberkulosis dengan infeksi HIV. Selain itu, juga digunakan strategi direct observed treatment (DOTS) dalam tata laksana tuberkulosis. Pada pendekatan DOTS, pengobatan jangka pendek dilakukan dalam pengawasan secara langsung oleh pengawas minum obat (PMO).[28]
Vaksinasi
Vaksinasi BCG berperan penting dalam pencegahan tuberkulosis paru pada anak. Vaksin BCG dapat diberikan pada bayi usia 0 hingga 2 bulan. Pada anak usia > 2 bulan, diperlukan uji tuberkulin sebelum pemberian vaksin BCG.
Perlindungan vaksin BCG dapat mencegah terjadinya tuberkulosis yang berat pada anak, seperti meningitis tuberkulosis maupun tuberkulosis milier. Pengulangan pemberian vaksin BCG tidak direkomendasikan karena tidak memberikan perlindungan tambahan.[6,7]
Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PPINH) pada Anak
Pengobatan pencegahan dengan isoniazid (PPINH) ditujukan untuk anak yang memiliki kontak namun tidak sakit tuberkulosis. Pemberian PPINH ditujukan pada anak berusia kurang dari 5 tahun, anak dengan HIV positif, serta anak dengan kondisi imunokompromais seperti malnutrisi, keganasan, atau sedang dalam pengobatan steroid sistemik jangka panjang.
PPINH diberikan dalam dosis 10 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 300 mg/hari. Obat dikonsumsi sekali sehari, sebaiknya di waktu yang sama setiap harinya. Lama pemberian PPINH adalah 6 bulan.
Selama pemberian, anak dipantau secara berkala. Apabila timbul gejala dan tanda tuberkulosis, maka dilakukan pemeriksaan. Jika anak terdiagnosis tuberkulosis, PPINH dihentikan dan anak diberikan obat antituberkulosis (OAT).[7]