Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru pada Anak
Penatalaksanaan tuberkulosis paru pada anak dapat dibagi menjadi kuratif dan profilaksis. Pengobatan kuratif dengan obat antituberkulosis (OAT) diberikan pada pasien dengan infeksi aktif.
Sementara itu, profilaksis dapat diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien tuberkulosis atau anak yang terinfeksi tuberkulosis tapi tidak mengalami sakit.
Regimen penatalaksanaan tuberkulosis paru pada anak sebagian besar diadaptasi dari orang dewasa. Karena pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis yang lambat, durasi pengobatan cukup panjang.[7]
Penatalaksanaan Tuberkulosis Laten
Diperkirakan hanya sekitar 5% hingga 10% pasien dengan tuberkulosis laten yang mengalami tuberkulosis aktif. Meski begitu, hampir 50% anak-anak di bawah usia 1 tahun yang mengalami tuberkulosis laten berprogresi menjadi tuberkulosis aktif. Imunosupresi dan konversi tes Mantoux dalam waktu dekat akan meningkatkan risiko progresi tersebut.
Pengobatan tradisional pada tuberkulosis laten adalah isoniazid (INH) dengan vitamin B6 sekali sehari selama 9 bulan. Regimen lebih baru menggunakan kombinasi isoniazid dengan rifapentine per minggu sebanyak 12 dosis. Meski begitu, regimen baru ini hanya tersedia dalam program directly observed therapy (DOT).
Pengobatan dengan isoniazid selama 9 bulan dilaporkan mampu mengurangi risiko progresi tuberkulosis seumur hidup hingga lebih dari 80%. Hepatotoksisitas isoniazid pada anak jarang terjadi tetapi telah dilaporkan dan dapat menyebabkan anak membutuhkan transplantasi hati ataupun menyebabkan kematian. Pasien dan orang tua harus diedukasi mengenai risiko dan manfaat pengobatan tuberkulosis laten. Anjurkan untuk menghentikan isoniazid jika terjadi anoreksia, mual, ikterus atau muntah.[8,22]
Obat Antituberkulosis (OAT)
Karena jumlah bakteri pada pasien anak cenderung lebih sedikit, pemberian 4 macam obat antituberkulosis (OAT) pada fase intensif hanya direkomendasikan pada pasien dengan BTA (basil tahan asam) positif, kasus tuberkulosis beta, dan manifestasi tipe dewasa. Pada anak dengan BTA negatif, regimen yang diberikan adalah INH, rifampicin, dan pyrazinamide pada fase inisial 2 bulan pertama. Regimen dilanjutkan dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan rifampicin.
Dosis yang diberikan disesuaikan dengan berat badan anak (Tabel 1). Isoniazid (H) dapat diberikan 7-15 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 300 mg/hari. Rifampicin (R) diberikan 10-20 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 600 mg/hari. Pyrazinamide (Z) dapat diberikan 30-40 mg/kgBB/hari, dengan dosis maksimal 2000 mg/hari. Pada anak dengan tuberkulosis resisten obat, pemilihan OAT didasarkan pada hasil uji kepekaan.[7]
Ethambutol
Penggunaan ethambutol pada anak dihindari karena memiliki risiko toksisitas terkait ketajaman penglihatan dan persepsi warna. Meski demikian, terdapat studi yang menunjukkan bahwa ethambutol dapat ditoleransi dengan baik dalam dosis 15 mg/kgBB dan dapat mencegah resistensi lebih lanjut pada anak yang mengalami infeksi tuberkulosis resisten obat.[7,27]
Tabel 1. Panduan Obat Antituberkulosis (OAT) dan Durasi Pengobatan Tuberkulosis pada Anak
Kategori Diagnostik | Fase Intensif | Fase Lanjutan |
Tuberkulosis Klinis | 2HRZ
| 4HR |
Tuberkulosis Kelenjar | ||
Efusi Pleura Tuberkulosis | ||
Tuberkulosis Terkonfirmasi Bakteriologi | 2HRZE | 4HR |
Tuberkulosis Paru dengan Kerusakan Luas | ||
Tuberkulosis Ekstra Paru (selain meningitis tuberkulosis dan tuberkulosis tulang atau sendi) | ||
Tuberkulosis Tulang atau Sendi | 2HRZE | 10HR |
Tuberkulosis Milier | ||
Meningitis Tuberkulosis |
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016.[7]
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed Dosed Combination (FDC)
Untuk mempermudah pemberian dan meningkatkan kepatuhan terhadap terapi, OAT juga tersedia dalam kombinasi dosis tetap (KDT) (Tabel 2). Satu paket KDT dibuat untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
Untuk anak, paket KDT berisi obat fase intensif yaitu rifampicin (R) 75 mg, isoniazid (H) 50 mg, dan pyrazinamide (P) 150 mg. Lalu, KDT fase lanjutan tersedia dalam dosis rifampicin 75 mg dan isoniazid 50 mg dalam satu paket.
KDT hanya diberikan pada anak dengan berat di atas 5 kg. Obat perlu disesuaikan jika ada kenaikan berat badan anak. Selain itu, perlu diketahui bahwa pemberian obat pada pasien obesitas didasarkan pada berat badan ideal sesuai umur.[7]
Tabel 2. Dosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Sesuai Berat Badan Anak
Berat Badan (kg) | Fase Intensif (2 bulan) RHZ (75/50/150) | Fase Lanjutan (4 bulan) RH (75/50) |
5 – 7 | 1 tablet | 1 tablet |
8 – 11 | 2 tablet | 2 tablet |
12 – 16 | 3 tablet | 3 tablet |
17 – 22 | 4 tablet | 4 tablet |
23 – 30 | 5 tablet | 5 tablet |
> 30 | Sesuai OAT dewasa |
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2016.[7]
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat dipertimbangkan pada tuberkulosis anak ekstra pulmonal, seperti meningitis tuberkulosis, sumbatan jalan napas pada tuberkulosis kelenjar, tuberkulosis abdomen dengan ascites, dan perikarditis tuberkulosis. Sementara itu, pada tuberkulosis paru, kortikosteroid dapat diberikan dalam kondisi tuberkulosis milier dengan gangguan napas berat dan tuberkulosis dengan efusi pleura.
Obat kortikosteroid yang diberikan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari sampai 4 mg/kgBB/hari pada kasus berat. Dosis maksimal yang dapat diberikan hingga 60 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Penghentian pemberian kortikosteroid dilakukan dengan tappering-off secara bertahap setelah 2 minggu pemakaian.[7]
Vitamin B6
Pemberian OAT jenis isoniazid dapat menyebabkan defisiensi vitamin B6. Hal ini terjadi terutama pada anak dengan malnutrisi yang berat dan anak dengan infeksi HIV yang telah mendapat antiretroviral therapy (ART). Dosis vitamin B6 yang direkomendasikan pada pasien dengan HIV positif dan malnutrisi adalah 5-10 mg/hari.[7]
Aspek Nutrisi
Status nutrisi atau keadaan gizi pada anak dengan tuberkulosis dapat mempengaruhi pengobatan. Kekurangan gizi yang berat meningkatkan risiko mortalitas pada anak, sehingga perlu dilakukan pemantauan keadaan gizi terutama selama pengobatan dengan OAT.
Pengukuran antropometri meliputi berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan atas perlu dilakukan secara berkala. Selain itu, dilakukan pengawasan tanda malnutrisi berat seperti edema atau muscle wasting. Air susu ibu (ASI) tetap diberikan apabila anak masih menyusui. Suplemen makanan tambahan dapat dipertimbangkan.[7]
Kriteria Rawat Inap
Pasien anak dengan tuberkulosis paru memerlukan rawat inap jika mengalami sesak napas yang berat, gejala batuk disertai darah, anak sangat lesu dan cenderung mengantuk, serta anak dengan penyakit komorbid yang berat. Selain itu, anak dengan infeksi tuberkulosis yang mengalami kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran harus segera dibawa ke rumah sakit.[7]
Kriteria Sembuh
Anak yang terinfeksi tuberkulosis dapat dinyatakan sembuh apabila hasil pemeriksaan bakteriologi yang awalnya positif berubah menjadi negatif pada masa akhir pengobatan. Pemeriksaan BTA dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada akhir fase intensif dan fase lanjutan.[7]
Pengobatan Tuberkulosis pada Pasien dengan HIV
Saat ini, regimen yang direkomendasikan untuk anak yang mengalami tuberkulosis koinfeksi HIV adalah isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol. Obat diberikan selama fase intensif 2 bulan pertama, dilanjutkan dengan fase lanjutan yang mencakup isoniazid dan rifampicin selama minimal 4 bulan.
Anak dengan tuberkulosis dan HIV memerlukan OAT, terapi antiretroviral, kotrimoksazol profilaksis, dan suplementasi vitamin B6. Perhatikan risiko interaksi obat dan reaksi simpang pada populasi ini.[7]
Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat pada Anak
Pengobatan pada anak yang mengalami tuberkulosis resisten obat perlu disesuaikan dengan hasil uji kepekaan. Pada prinsipnya, terapi dilakukan menggunakan 5 jenis OAT pada tahap awal, yaitu:
- OAT lini kedua yang terbukti masih efektif atau belum pernah digunakan, mencakup salah satu OAT dari golongan fluorokuinolon, salah satu OAT suntik lini kedua, dan 2 obat OAT oral lini kedua
- Ditambah dengan 1 OAT lini pertama, yaitu pyrazinamide.
Obat golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan antara lain:
Moxifloxacin 7,5 hingga 10 mg/kgBB
Levofloxacin 7,5 hingga 10 mg/kgBB
- Gatifloxacin (tidak ada di Indonesia)
Obat injeksi lini kedua yang dapat digunakan antara lain:
- Amikasin 15 hingga 30 mg/kgBB, maksimal 1000 mg
- Capreomycin 15 hingga 30 mg/kgBB, maksimal 1000 mg
- Kanamisin 15 hingga 30 mg/kgBB, maksimal 1000 mg
Obat oral lini kedua yang dapat digunakan antara lain:
- Etionamide 15 hingga 20 mg/kgBB
- Protionamide 15 hingga 20 mg/kgBB
- Sikloserin 10 hingga 20 mg/kgBB
- Terizidone 10 hingga 20 mg/kgBB
Linezolid 10 mg/kgBB, maksimal 600 mg
Clofazimine 1 mg/kgBB, maksimal 200 mg[2,7]
Evaluasi Pengobatan pada Tuberkulosis Anak
Obat anti tuberkulosis (OAT) harus diminum setiap hari secara teratur yang diawasi oleh pengawas menelan obat (PMO). PMO terbaik untuk anak adalah orang tua mereka sendiri,
Selama fase insentif dilakukan pemantauan setiap 2 minggu dan 1 kali dalam 1 bulan pada fase lanjutan. Evaluasi pengobatan mencakup evaluasi respon pengobatan, kepatuhan minum OAT dengan kartu pemantauan pengobatan, toleransi, serta ada tidaknya efek samping OAT. Saat kontrol, dosis OAT perlu disesuaikan dengan kenaikan atau penurunan berat badan anak.
Respon dikatakan baik jika ada perbaikan gejala klinis, nafsu makan meningkat, dan berat badan meningkat. Pengobatan tetap dilanjutkan jika respon inadekuat.
Pada anak dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke-2, ke-5, dan ke-6. Tidak perlu dilakukan pemantauan rontgen toraks terlalu sering karena perbaikan rontgen toraks memakan waktu lebih lama.[7]
Evaluasi Efek Samping Obat pada Tuberkulosis Anak
Kejadian efek samping OAT pada anak lebih jarang dibandingkan dewasa. Pada umumnya, OAT dapat ditoleransi dengan baik oleh anak apabila diberikan dalam rentang dosis yang direkomendasikan.
Hepatotoksisitas merupakan efek samping yang perlu diwaspadai pada pasien yang mengonsumsi isoniazid, rifampicin, atau pyrazinamide. Jika terjadi hepatomegali atau ikterus, lakukan pemeriksaan fungsi hepar. Selain itu, fungsi hepar juga perlu dipantau secara berkala sejak anak memulai pengobatan tuberkulosis. Anak yang mengalami kenaikan enzim hati tanpa gejala klinis tidak memerlukan penghentian OAT.
Isoniazid dapat menyebabkan hepatitis, neuritis perifer, serta reaksi hipersensitivitas. Rifampicin dapat menyebabkan hepatotoksisitas, gangguan gastrointestinal, reaksi kulit, dan trombositopenia. Pyrazinamide dapat menyebabkan hepatotoksisitas, athralgia, serta gangguan gastrointestinal. Sementara itu, konsumsi ethambutol berpotensi menyebabkan neuritis optik, penurunan visus, buta warna merah hijau, reaksi hipersensitivitas, dan gangguan gastrointestinal.[7]
Penghentian Terapi
OAT perlu dihentikan jika pasien mengalami tanda hepatotoksisitas. Tunggu hingga fungsi hati normal kembali, kemudian berikan obat satu demi satu secara bertahap sambal terus memantau fungsi hati.
Ethambutol juga perlu dihentikan jika terjadi gangguan penglihatan. Lakukan pemantauan rutin dengan tes Ishihara, dan pertimbangkan penggantian dengan obat lain.
Pertimbangkan penghentian, penggantian, atau pengurangan dosis obat injeksi jika terjadi gangguan pendengaran.
Hentikan obat injeksi jika terjadi peningkatan kreatinin atau kalium. Pertimbangkan penggantian obat atau pengurangan dosis.
Hentikan semua obat yang dikonsumsi jika terjadi ruam kulit yang berat. Tunggu hingga manifestasi klinis membaik, kemudian berikan obat satu demi satu secara bertahap.
Jika timbul gangguan neuropsikiatri, seperti gangguan perilaku atau kejang, verifikasi dosis obat dan hentikan obat yang diduga menjadi penyebab. Jika gejala berat atau menetap, hentikan obat yang paling mungkin menjadi penyebab.[7]