Epidemiologi Bruxism
Data epidemiologi menunjukkan bahwa bruxism dapat terjadi pada semua usia, namun lebih banyak pada usia muda dan berkurang seiring penuaan. Survey berbasis populasi di Belanda menunjukkan bahwa bruxism lebih banyak ditemukan pada wanita. Di Indonesia sendiri masih belum ada data yang jelas terkait epidemiologi bruxism.
Bruxism tidak terkait secara langsung dengan mortalitas. Namun, kondisi ini bisa menyebabkan gangguan kualitas hidup, misalnya akibat keluhan nyeri pada rahang.[1,11]
Global
Sebuah survei epidemiologi pada orang dewasa di Belanda menunjukkan bahwa awake bruxism lebih jarang ditemukan dibandingkan sleep bruxism. Studi ini menunjukkan prevalensi awake bruxism sebesar 5% dari total populasi, sedangkan sleep bruxism sebesar 16,5%. Awake bruxism dan sleep bruxism ditemukan paling banyak pada kelompok usia 35-44 tahun. Studi ini melaporkan bruxism lebih banyak didapatkan pada wanita dibandingkan pria.[11]
Pada anak-anak, bruxism dilaporkan dapat muncul pada saat gigi pertama erupsi. Di Amerika Serikat, prevalensi bruxism dilaporkan paling tinggi pada keturunan Asia-Amerika jika dibandingkan dengan kelompok etnis lainnya.[1]
Indonesia
Di Indonesia belum ada data epidemiologi pasti mengenai kasus bruxism.
Mortalitas
Bruxism tidak berhubungan langsung dengan mortalitas. Kondisi ini juga jarang menimbulkan morbiditas bermakna, serta dapat hilang sendiri seiring pertambahan usia.
Kualitas hidup pasien dapat terganggu jika bruxism tidak ditanggulangi dengan baik. Selain itu, pasien dapat mengalami komplikasi seperti keausan gigi, fraktur cusp gigi, resesi gingiva, hipersensitivitas gigi, kegoyangan gigi, fraktur restorasi, nyeri otot mastikasi, kelainan sendi temporomandibula, nyeri kepala berkepanjangan, nyeri leher, insomnia, dan depresi.[2-5]