Diagnosis Halitosis
Diagnosis halitosis dapat ditegakkan menggunakan pemeriksaan penunjang setelah memastikan terlebih dahulu bahwa pasien tidak mengalami pseudohalitosis ataupun halitophobia melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan komprehensif dan holistik dilakukan untuk menentukan sumber halitosis, apakah intraoral atau non-oral/ekstraoral (sistemik).[3,6]
Anamnesis
Hal-hal yang harus menjadi perhatian lebih bagi dokter gigi untuk menggali informasi semaksimal mungkin pada tahap anamnesis ini adalah kemampuan pasien dalam menjaga kebersihan gigi dan mulut.
Selain itu dokter gigi perlu menanyakan pasien mengenai kebiasaan buruk yang mungkin memicu terjadinya halitosis seperti merokok, penggunaan tembakau (menyirih), dan konsumsi alkohol.
Pola makanan seperti kebiasaan mengonsumsi buah dan sayur, frekuensi minum air putih juga perlu ditanyakan. Dokter gigi juga perlu meninjau riwayat konsumsi obat-obatan dan riwayat penyakit sistemik yang dimiliki pasien.[6,7,12]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan oleh dokter gigi meliputi pemeriksaan ekstraoral area kepala dan leher, serta pemeriksaan intraoral. Pemeriksaan ekstraoral contohnya adalah memeriksa apakah terdapat limfadenopati pada area kepala dan leher yang merujuk kepada kondisi tonsilitis, sinusitis, dan rhinitis.[3,6,7,12]
Sementara, pemeriksaan intraoral meliputi pemeriksaan di dalam rongga mulut dan identifikasi faktor-faktor yang memungkinkan untuk menimbulkan bau mulut. Pemeriksaan intraoral meliputi pemeriksaan gigi, pemeriksaan jaringan periodontal, pemeriksaan lidah, pemeriksaan mukosa mulut, dan pemeriksaan laju alir serta volume saliva.[11]
Pemeriksaan Gigi Geligi
Pemeriksaan gigi geligi bertujuan untuk melakukan identifikasi apakah di dalam rongga mulut tersebut ada gigi yang mengalami karies profunda, nekrosis pulpa dan gangrene pulpa atau tidak. Selain itu, perhatikan pula kondisi tumpatan yang ada, dan celah antar gigi (diastema) yang memungkinkan terjadinya food retention dan food impaction.[3,7]
Pemeriksaan Jaringan Periodontal
Pemeriksaan jaringan periodontal dilakukan untuk melihat apakah ada deposit kalkulus subgingiva, poket gingiva, dan kondisi kelainan periodontal lain yang mungkin saja menyebabkan keluhan bau mulut.[3,6]
Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan selanjutnya adalah pemeriksaan ada tidaknya coated tongue. Pemeriksaan ini diperlukan karena sebagian besar halitosis disebabkan oleh lapisan debris yang di dorsum posterior lidah. Sementara, pemeriksaan mukosa mulut bertujuan untuk melihat apakah ada lesi-lesi atau inflamasi yang memiliki kemungkinan menyebabkan halitosis.[3,11]
Pemeriksaan laju alir dan juga volume saliva juga diperlukan untuk mengetahui apakah pasien mengalami kondisi hiposalivasi atau tidak. Kondisi hiposalivasi dapat menjadi penyebab terjadinya halitosis, dan biasanya kondisi ini diinisiasi oleh gangguan psikogenik atau kelainan sistemik lain.[6,7]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari halitosis adalah pseudohalitosis dan halitophobia. Halitosis asli merupakan suatu kondisi dimana pada pasien tersebut benar-benar terjadi bau mulut yang disebabkan oleh kondisi intraoral ataupun ekstraoral.[11,12]
Pseudohalitosis
Pseudohalitosis merupakan suatu kondisi psikis yang mengakibatkan pasien merasa memiliki halitosis, padahal tidak. Kondisi pseudohalitosis ini dapat ditangani oleh dokter gigi dengan melakukan konseling dan prosedur pembersihan rongga mulut.[3,11]
Halitophobia
Halitophobia sebenarnya mirip dengan pseudohalitosis. Namun demikian, halitophobia didasari oleh kondisi psikis dimana seseorang memiliki ketakutan terhadap bau mulut secara berlebihan. Pada kelompok pasien ini, gejala halitosis tampak secara visual tapi bau mulut secara obyektif tidak dapat ditemukan.[6,11]
Gejala ini kemungkinan timbul akibat akumulasi dari delusi dan monosymptomatic hypochondriasis. Halitophobia dapat diidentifikasi melalui serangkaian pemeriksaan kuesioner dan membutuhkan investigasi dan perawatan psikologis yang berdampingan dengan perawatan dental.[7,12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan mencari etiologi pasti dari halitosis yang diderita pasien. Langkah ini dilakukan jika sebelumnya pasien sudah terdiagnosis mengalami halitosis, bukan pseudohalitosis atau halitophobia.[3,6,7,12]
Pemeriksaan Awal
Contoh pemeriksaan penunjang tersebut adalah pemeriksaan rontgen intraoral, rontgen thoraks, naso-endoskopi, endoskopi saluran pencernaan atas, dan pemeriksaan laboratorium.[7,12]
Pemeriksaan rontgen intraoral bertujuan untuk mengidentifikasi adanya lesi karies dalam dan kondisi kerusakan jaringan periodontal yang tidak tampak secara visual. Sementara, rontgen thoraks dilakukan untuk mengidentifikasi apakah ada gangguan saluran pernapasan atau tidak.[6,11]
Pemeriksaan naso-endoskopi dan endoskopi saluran pencernaan atas dilakukan untuk mengidentifikasi adanya corpus alienum pada anak-anak, atau gangguan saluran pencernaan atas, seperti gastritis dan gastroesophageal reflux (GERD). Selain itu, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk melihat fungsi ginjal dan gula darah.[3,8]
Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
Jika penatalaksanaan halitosis sudah dilakukan, bahkan kondisi sistemik dan dental sudah dirawat, tapi bau mulut tetap ada, maka diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium lain untuk melakukan pengukuran halitosis dan menentukan jenis perawatan yang lebih baik.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut contohnya adalah halimeter, kromatografi gas, pengukuran organoleptik, tes BANA, dan tes beta-galaktosidase.[3,8]
Halimeter:
Pengukuran halitosis yang pertama adalah halimeter. Halimeter merupakan monitor sulfida portabel yang dapat mendeteksi tingkat emisi sulfur (hidrogen sulfida) di dalam rongga mulut. Jika digunakan secara tepat, maka halimeter dapat menentukan jenis bakteri yang penghasil volatile sulfur vompounds (VSCs) yang hadir.[6,8]
Namun demikian, penggunaan halimeter juga masih memiliki beberapa keterbatasan, misalnya alat ini tidak dapat mendeteksi merkaptan. Kemudian, hasil pemeriksaan mungkin saja menjadi false positive akibat pasien mengonsumsi makanan yang menghasilkan sulfur dalam napas selama 48 jam terakhir seperti bawang putih dan bawang merah, dan akibat konsumsi alkohol selama 12 jam terakhir.[3,8]
Kromatografi Gas:
Pengukuran halitosis yang kedua yaitu kromatografi gas. Kromatografi gas adalah mesin portabel yang sedang dikembangkan. Prinsip kerja dari alat ini adalah mengukur tingkat molekul VSCs secara digital dalam sebuah sampel udara rongga mulut. Contoh molekul yang dapat dideteksi melalui kromatografi gas adalah hidrogen sulfida, metil merkaptan, dan dimetil sulfida.[3,8]
Alat ini diklaim memiliki tingkat akurasi yang cukup baik untuk mengidentifikasi keberadaan molekul-molekul tersebut di dalam sampel udara rongga mulut. Selain itu, hasil dari analisis sampel menggunakan alat ini adalah berupa grafik visual yang ditampilkan di komputer.[6,8]
Pengukuran Organoleptik:
Pengukuran halitosis yang ketiga adalah pengukuran organoleptik. Pengukuran organoleptik ini merupakan gold standard untuk mengukur halitosis yang paling banyak diterima, meskipun belum ada konsensus mendukung hal ini. Namun, alat ini diklaim dapat mendeteksi senyawa yang tidak dapat dideteksi oleh halimeter dan kromatografi gas.[11,8]
Tes BANA:
Pemeriksaan penunjang selanjutnya adalah tes BANA. Tes ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya kadar enzim saliva yang menunjukkan adanya keterlibatan suatu bakteri penyebab halitosis.[3,8]
Tes Beta-Galaktosidase:
Pemeriksaan penunjang yang terakhir adalah tes beta-galaktosidase. Tes ini dilakukan untuk melihat tingkat saliva enzim ini yang apabila ditemukan maka dapat dikorelasikan dengan halitosis.[3,8]
Penulisan pertama oleh: drg. Fiesta Ellyzha Eka Hendraputri