Diagnosis Hipokalemia
Diagnosis hipokalemia terutama dari pemeriksaan kadar kalium dalam serum. Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang lain dilakukan untuk mengetahui perjalanan penyakit. Anamnesis juga dapat memberikan gambaran penyebab hipokalemia.[2,4]
Anamnesis
Anamnesis terkait gejala hipokalemia sering kali tidak spesifik dan lebih berkaitan dengan keluhan fungsi otot dan jantung. Namun, manifestasi klinis hipokalemia muncul pada kondisi kadar kalium serum telah <3 mmol/L. Beratnya gejala hipokalemia yang muncul berbanding lurus dengan derajat dan durasi hipokalemia.
Oleh karena itu, pada kondisi hipokalemia ringan, pasien seringkali asimptomatis. Keluhan awal yang muncul seringkali dari penyebab yang mendasari terjadinya hipokalemia dibandingkan akibat hipokalemia sendiri.[2,4]
Gejala Muskuloskeletal
Gejala muskuloskeletal utama adalah kelemahan dan mudah lelah. Kelemahan otot pada kondisi hipokalemia memiliki pola yang mirip dengan kondisi hiperkalemia, yakni diawali dari ekstremitas bawah kemudian mengalami progresivitas asenden hingga mencapai batang tubuh dan ekstremitas atas. Pada hipokalemia berat, kram dan nyeri otot dapat muncul bersamaan dengan rabdomiolisis dan myoglobinuria.[2,4]
Gejala Pernapasan, Pencernaan, dan Palpitasi
Apabila otot pernafasan terpengaruh, maka dapat muncul keluhan sesak nafas hingga ancaman gagal napas dan kematian. Apabila terdapat keterlibatan pada otot gastrointestinal, dapat terjadi ileus disertai mual, muntah, distensi abdomen maupun konstipasi. Keluhan fungsi jantung yang sering dirasakan pasien adalah palpitasi.[2,4]
Anamnesis Penyebab
Pasien dengan diabetes dapat datang dengan keluhan kontrol diabetes yang buruk atau poliuria berkaitan dengan kondisi hiperglikemia dan diabetes insipidus nefrogenik. Pasien juga dapat menunjukkan keluhan psikologis seperti psikosis, delirium, halusinasi, dan depresi.[2]
Pada anamnesis, penting dievaluasi riwayat kondisi pasien seperti adanya kehilangan cairan dari gastrointestinal (muntah dan diare), penyakit komorbid gangguan jantung, serta riwayat penggunaan obat-obatan, seperti insulin, agonis beta, maupun diuretik.[4]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan hipokalemia seringkali menunjukkan hasil yang normal. Tanda-tanda vital biasanya dalam rentang nilai normal, namun dapat pula dijumpai adanya takikardia dengan irama yang tidak teratur atau adanya takipnea akibat kelemahan pada otot pernafasan.
Hipertensi dapat menjadi penanda suatu hiperaldosteronisme primer, stenosis arteri renalis, hiperplasia adrenal kongenital maupun Liddle syndrome. Adanya hipotensi relatif harus dicurigai berkaitan dengan penggunaan laksatif, diuretik, bulimia atau adanya sindrom Bartter atau Gitelman.[2]
Adanya kelemahan otot hingga paralisis flasid dapat pula muncul. Pada pemeriksaan refleks tendon dapat dijumpai menurun hingga menghilang. Bising usus yang hipoaktif dapat mengindikasikan suatu hipomotilitas gaster atau ileus.[2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari hipokalemia antara lain Gitelman Syndrome dan Bartter Syndrome.
Gitelman Syndrome (GS)
Gitelman Syndrome (GS) merupakan penyakit tubulus ginjal yang diturunkan akibat mutasi SLC12A3 berkaitan dengan kotransporter NaCl sensitif tiazid sehingga diagnosis pasti diperoleh melalui pemeriksaan genetik. GS seringkali dijumpai pada anak-anak atau dewasa muda dengan gejala klasik hipokalemia dan merupakan 50% penyebab dari hipokalemia kronis. Gejala lain meliputi hipotensi, alkalosis metabolik, hipokalsiuria, hipomagnesemia dan hipertrofi kompleks jukstaglomerular dengan hiperaldosteronisme sekunder.[7]
Bartter Syndrome (BS)
Bartter Syndrome (BS) merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan alkalosis hipokalemia, hipomagnesemia namun disertai hiperreninemik hiperaldosteronemia dan tekanan darah normal. BS seringkali dijumpai pada bayi maupun masa anak-anak awal. Pada pemeriksaan analisis genetik, dijumpai adanya mutasi pada gen kanal klorida (CLCNKB). Baik GS maupun BS dapat ditatalaksana dengan pemberian suplemen kalium dan magnesium oral.[7]
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis hipokalemia, pemeriksaan penunjang laboratorium untuk mengetahui kadar kalium serum dan urine perlu dilakukan untuk menentukan derajat keparahan dan menentukan langkah awal dalam diagnosis hipokalemia. Secara umum, terdapat dua komponen utama dalam evaluasi diagnostik dalam kondisi hipokalemia.
- Evaluasi ekskresi kalium dalam urine untuk membedakan penyebab kehilangan dari renal (terapi diuretik, aldosteronisme primer) dari penyebab hipokalemia yang lain (kehilangan dari saluran gastrointestinal, pergeseran kalium transeluler)
- Evaluasi status asam basa dikarenakan penyebab hipokalemia seringkali berkaitan dengan alkalosis atau asidosis metabolik[1]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dasar termasuk kadar natrium, kalium, glukosa, klorida, bikarbonat, BUN dan kreatinin merupakan beberapa komponen pemeriksaan yang perlu dievaluasi. Pemeriksaan analisis gas darah juga sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi adanya asidosis maupun alkalosis terutama apabila penyebab yang mendasari kondisi hipokalemia.
Dalam mengevaluasi kadar kalium serum, sampel darah vena dan arteri tidak menunjukkan perbedaan klinis yang signifikan sehingga pada kondisi gawat darurat pemeriksaan serum kalium menggunakan sampel darah vena tidak dikontraindikasikan.[1]
Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan elektrolit urine diperlukan untuk membedakan patofisiologi hipokalemia, yaitu renal atau nonrenal. Kadar kalium urine yang rendah (<20 mEq/L) menunjukkan adanya kehilangan dari saluran gastrointestinal, asupan yang kurang, atau pergeseran kalium ekstraseluler ke intraseluler.
Sementara, kadar kalium urine >40 mEq/L menunjukkan adanya kehilangan kalium dari renal. Kalsium dalam urine juga diperlukan untuk mengeksklusi diagnosis banding sindrom Bartter.[1,2]
Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram perlu dilakukan untuk mengevaluasi apakah kondisi hipokalemia telah mempengaruhi fungsi jantung atau mendeteksi kemungkinan toksisitas digoksin. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai takiaritmia atrial maupun ventrikular, penurunan amplitudo gelombang P dan adanya gelombang U.
Namun, gambaran EKG dapat menunjukkan kesan normal maupun perubahan yang sangat minimal sebelum terjadinya disritmia yang signifikan secara klinis. Perubahan pola EKG yang mungkin dijumpai antara lain:
- Disritmia ventrikular
- Pemanjangan interval QT
- Depresi segmen ST
- Pendataran gelombang T
- Adanya gelombang U
- Aritmia ventrikular seperti (premature ventricular contractions, torsade de pointes, dan fibrilasi ventrikel)
- Aritmia atrial (premature atrial contractions, fibrilasi atrial)[2]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini