Penatalaksanaan Rhabdomyolysis
Penatalaksanaan rhabdomyolysis harus didasarkan pada tiga prinsip kegawatdaruratan. Pertama, gangguan cairan dan elektrolit harus dikenali dan diterapi. Kedua, dalam kasus penyebab nontraumatik atau nonfisik, faktor pemicu harus dihilangkan atau dihentikan, misalnya penggunaan obat golongan statin atau ingesti bahan toksik. Ketiga, pada pasien dengan komplikasi seperti sindrom kompartemen, evaluasi dan pengobatan harus segera dilakukan.[2,5,8]
Penanganan Kegawatdaruratan
Beberapa pasien rhabdomyolysis dapat menunjukkan kondisi yang mengancam nyawa. Karena itu, penanganan kegawatdaruratan perlu dilakukan dengan prinsip menilai ABC yaitu airway, breathing, dan circulation. Pemeriksaan saluran napas, proses pernapasan, serta sirkulasi perlu dilakukan secara berkala dan ditangani sesuai dengan masalah yang ditemui.[2,3]
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan perlu segera dilakukan untuk mencegah terjadinya gagal ginjal akut pada semua pasien dewasa dan anak-anak selama tidak didapatkan tanda-tanda overload cairan. Lakukan pemasangan kateter urine untuk mengevaluasi jumlah produksi urine.
Cairan ringer laktat atau cairan salin normal merupakan cairan yang dapat diberikan untuk resusitasi pada rhabdomyolisis. Kecepatan awal yang disarankan adalah 400 ml/jam. Target terapi keluaran urine adalah 1 ml/kg/jam hingga 3 ml/kg/jam, atau sekitar 200-300 ml per jam. Penggunaan natrium bikarbonat, manitol, maupun loop diuretic seperti furosemide tidak disarankan karena belum didukung bukti ilmiah.
Pada anak-anak, dosis yang disarankan adalah pemberian cairan salin normal 20 ml/kgBB bolus (maksimal 1 L), dilanjutkan dengan pemberian dextrose 5% dengan dosis rumatan sesuai usia dan berat badan (maksimal 200 ml per jam).[2,5,6,10]
Gagal Ginjal Akut
Beberapa langkah dipercaya dapat mencegah gagal ginjal akut, seperti alkalinisasi urine, pemberian manitol, atau pemberian diuretik. Akan tetapi, langkah-langkah ini tidak didukung dengan studi yang meyakinkan.[1,2,5,11]
Pada pasien dengan gagal ginjal yang menyebabkan anuria, hiperkalemia persisten, asisdosis metabolik, kondisi overload cairan, ataupun tidak membaik dengan terapi konservatif, hemodialisis dapat dilakukan.[2,3]
Koreksi Elektrolit
Hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia adalah kelainan elektrolit perlu diwaspadai. Koreksi keseimbangan biokimia dan elektrolit harus dilakukan dengan cermat selama penatalaksanaan rhabdomyolysis untuk menghindari komplikasi. Hiperkalemia merupakan kelainan elektrolit yang memerlukan koreksi tepat waktu untuk mengurangi risiko aritmia jantung.
Hiperkalemia
Gagal ginjal akut pada rhabdomyolysis sering dikaitkan dengan kadar kalium yang berlebihan dan berkorelasi dengan volume kerusakan otot. Kadar kalium dan semua elektrolit baseline perlu dievaluasi jika rhabdomyolysis dicurigai.
Hiperkalemia yang terjadi pada gagal ginjal akut yang diinduksi rhabdomyolysis umumnya muncul pada awal perjalanan penyakit dan memerlukan pemantauan serial. Pasien dengan kadar kalium tinggi (>6 mmol/L) memerlukan pemantauan jantung. EKG harus dimonitor dan dinilai terkait adanya manifestasi hiperkalemia berat, seperti pelebaran QRS, gelombang p kecil, dan aritmia yang mengancam.
Peningkatan kadar kalium diobati dengan insulin dan infus glukosa. Pertimbangkan penghilangan kalium melalui resin penukar kation (cation exchange resin) atau dialisis sesuai indikasi.[1]
Hipokalsemia
Hipokalsemia terjadi pada awal rhabdomyolysis karena masuknya kalsium ke dalam sel yang rusak dan deposisi kalsium fosfat di otot. Adanya hipokalsemia dapat memperburuk efek dari hiperkalemia. Jika pasien simptomatik atau mengalami hipokalsemia berat, lakukan penanganan dengan kalsium klorida atau kalsium glukonat.
Perlu dicatat bahwa pengobatan hipokalsemia dini pada rhabdomyolysis harus dihindari karena pengendapan kalsium dapat terjadi pada otot yang cedera. Selama fase pemulihan, kadar kalsium serum bisa kembali normal dan menyebabkan hiperkalsemia karena pelepasan kalsium dari otot yang cedera atau hiperparatiroid sekunder akibat gagal ginjal.[1]
Hiperfosfatemia
Hiperfosfatemia terjadi akibat pelepasan fosfat dari sel otot yang rusak. Kadar fosfat yang tinggi dapat menimbulkan masalah karena fosfat berikatan dengan kalsium dan mengendap di jaringan lunak. Selain itu, dengan menghambat 1α-hidroksilase, hiperfosfatemia menghambat pembentukan kalsitriol dan membatasi pembentukan vitamin D.
Pengobatan hiperfosfatemia dilakukan dengan hati-hati karena pengobatan melibatkan pemberian khelator kalsium yang dapat meningkatkan pengendapan kalsium fosfat pada otot yang cedera.[1]
Menghilangkan Pencetus
Pada kasus rhabdomyolysis yang nontraumatik, faktor pencetus perlu dihilangkan. Contohnya adalah toksin akibat gigitan ular atau konsumsi obat seperti amitriptyline dan fluoxetine.
Penggunaan Obat yang Tidak Direkomendasikan
Penggunaan obat seperti natrium bikarbonat, manitol, maupun loop diuretic seperti furosemide, tidak direkomendasikan dalam terapi rhabdomyolysis karena belum didukung bukti ilmiah adekuat. Dalam konteks rhabdomyolysis, loop diuretic bahkan dapat memperburuk kondisi hipokalsemia yang sudah ada.[8,12]