Diagnosis Agnosia
Aspek penting diagnosis agnosia adalah menyingkirkan kemungkinan penyebab lain. Agnosia dapat ditegakkan jika gangguan pengenalan telah dipastikan bukan berkaitan dengan afasia, dementia, ataupun delirium. Adanya agnosia dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit yang mendasari timbulnya agnosia.[1,2]
Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan yang disampaikan pasien akan berkaitan dengan masalah yang dihadapi dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan jenis agnosia yang dialami. Pasien dengan agnosia visual dapat mengalami masalah saat makan karena tidak bisa membedakan garpu dengan pisau. Pasien dengan prosopagnosia akan mengalami kesulitan dalam mengenali wajah orang lain. Terkadang, pasien akan mengeluh kesulitan dalam mengikuti acara TV karena tidak mampu mengidentifikasi tokoh-tokohnya.[1,9]
Pasien dengan agnosia auditori mengalami kesulitan mengidentifikasi suara laki-laki dan perempuan, suara musik, suara hewan, suara instrumen seperti dering telepon, denting jam, deru angin, atau suara klakson. Pasien juga dapat mengalami kesulitan memahami percakapan secara lisan, tetapi masih mampu memahami tulisan dengan baik. Selain itu, pasien juga mengeluhkan ketidakmampuan memahami emosi orang lain melalui percakapan.[7,10]
Anamnesis juga dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab timbulnya agnosia. Agnosia dapat diakibatkan oleh cedera atau degenerasi pada otak, seperti yang dialami pasien dengan stroke, tumor otak, penyakit Alzheimer, ataupun cedera otak traumatik. Oleh karenanya gejala dan faktor risiko yang berhubungan dengan kondisi ini perlu diidentifikasi dalam anamnesis.[1]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan panca indera dasar, seperti pemeriksaan visus, lapang pandang, buta warna, audiometri, serta fungsi sensorik dan proprioseptif perlu dilakukan untuk memastikan bahwa fungsinya baik. Selain itu, pemeriksaan neurologis lengkap perlu dilakukan untuk membantu identifikasi penyakit yang mendasari agnosia.[1,3]
Agnosia Visual
Pasien diminta untuk mengidentifikasi beberapa benda yang umum ditemukan sehari-hari seperti pulpen atau kunci. Beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya agnosia visual adalah The Graded Naming Test, Birmingham Object Recognition Battery, dan The Pyramid and Palm Trees Test. Tes tersebut tidak berbasis bahasa dan dapat digunakan oleh pasien di Indonesia karena tidak akan mempengaruhi konteksnya.
Pada pasien dengan simultagnosia, pasien dihadapkan dengan banyak objek dalam satu gambar dan diminta untuk mengidentifikasi apa saja yang dilihat.[1-3]
Pada pasien dengan prosopagnosia, pasien diminta untuk menyebutkan nama tokoh-tokoh figur publik dan keluarga pasien. Pemeriksaan untuk mendiagnosis prosopagnosia terdiri dari 3 tahap:
- Tes persepsi dilakukan dengan menunjukkan susunan wajah pada pasien, lalu pasien diminta untuk mencocokkan wajah yang sama atau mendeteksi wajah yang berbeda.
- Tes rekognisi merupakan pemeriksaan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam mengingat wajah yang telah dikenal dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
- Tes identifikasi yaitu pengenalan wajah beserta nama dan informasi mengenai orang tersebut.
Beberapa instrumen dapat digunakan untuk pemeriksaan prosopagnosia, seperti Cambridge Face Perception Test, Glasgow Face Matching Test, Benton Facial Recognition, dan Caledonian Face Test.[5,9]
Agnosia Auditori
Untuk mendiagnosis agnosia auditori, gangguan pada organ pendengaran perlu disingkirkan terlebih dulu. Hal ini dapat dilakukan dengan tes pendengaran, baik menggunakan garpu tala ataupun audiometri. Dokter juga perlu melakukan otoskopi untuk memastikan tidak ada kelainan pada liang telinga dan membran timpani.
Agnosia Taktil
Pada pemeriksaan agnosia taktil, pasien diminta untuk menutup mata pada saat dilakukan pemeriksaan. Kemudian, benda diletakkan di telapak tangan pasien dan pasien diminta untuk mengidentifikasi benda tersebut. Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi setidaknya 50% dari benda-benda yang diberikan akan mendukung diagnosis agnosia taktil.[1]
Diagnosis Banding
Agnosia perlu dibedakan dari afasia, gangguan kognitif, dan gangguan pada panca indera. Pada agnosia, stimulus sensorik dapat diterima dengan baik oleh organ yang terlibat, tapi gangguan terjadi pada pemrosesan stimulus tersebut yang menyebabkan stimulus tidak dapat diterjemahkan.
Afasia
Kondisi agnosia visual perlu dibedakan dengan kondisi afasia anomik. Pasien dengan agnosia visual masih bisa mengidentifikasi dan memberi nama benda ketika ditanya secara verbal. Sementara itu, pasien dengan afasia anomik akan tetap mengalami kesulitan memberi nama benda ketika ditanya secara verbal.
Untuk membedakan kondisi agnosia auditori dengan afasia Wernicke, pemeriksaan perlu dilakukan untuk menilai kemampuan baca tulis pasien. Pasien dengan agnosia auditori masih bisa melakukan komunikasi melalui tulisan, sementara pasien dengan afasia Wernicke akan mengalami kesulitan memahami bahasa tulisan.[2,7]
Gangguan Kognitif
Pemeriksaan fungsi kognitif penting untuk dilakukan pada pasien dengan agnosia. Instrumen yang dapat digunakan adalah mini mental state exam (MMSE). Pada pasien dengan agnosia auditori, hasil MMSE akan menunjukkan perbaikan ketika pemeriksaan dilakukan melalui bahasa tulisan dibandingkan dengan pemeriksaan yang dilakukan secara verbal. Sementara itu, pasien dengan gangguan kognitif tidak akan mengalami perbaikan hasil MMSE.[7]
Gangguan Indera
Untuk memastikan gangguan yang terjadi adalah agnosia, bukan buta atau tuli, fungsi dasar indera perlu dipastikan. Pemeriksaan visus, lapang pandang, tes buta warna, audiometri, timpanometri, fungsi sensorik dan proprioseptif berperan dalam membedakan diagnosis agnosia dengan gangguan pada organ indera yang terlibat.[1,3]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya agnosia. Pemeriksaan penunjang dipilih sesuai indikasi dan skenario klinis pada masing-masing pasien. Secara umum, pemeriksaan radiologi seperti CT scan kepala atau MRI otakdapat menemukan adanya infark, perdarahan, massa, serta atrofi otak dan mengetahui lokasi lesi pada sistem saraf pusat.[1,3]