Diagnosis Paraplegia
Paraplegia sendiri bukanlah suatu diagnosis akhir. Paraplegia merupakan sebuah manifestasi klinis dari kerusakan medula spinalis di bawah C8 yang dapat timbul akibat berbagai etiologi. Pendekatan diagnosis paraplegia adalah untuk mencari penyebab yang mendasarinya.
Secara umum penyebab paraplegia dapat dibagi menjadi traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik adalah spinal cord injury (SCI). Sementara itu, penyebab non-traumatik antara lain paraplegia spastik familial (hereditary spastic paraplegia/HSP), tumor medula spinalis, infark medula spinalis, dan infeksi seperti spondilitis tuberkulosis.
Paraplegia merupakan kondisi lumpuh pada kedua ekstremitas bawah. Hal ini berbeda dengan quadriplegia dimana lumpuh terjadi pada seluruh ekstremitas.[1-3]
Anamnesis
Ketika menemui pasien dengan kelumpuhan kedua anggota gerak bawah, pada anamnesis penting untuk menanyakan onset keluhan, ada-tidaknya keluhan penyerta, riwayat trauma, riwayat prosedur bedah invasif, dan riwayat penyakit keluarga. Pada kasus SCI, diagnosis umumnya dapat langsung ditegakkan dari anamnesis dimana ditemukan riwayat trauma saat awitan gejala. Trauma yang dapat menyebabkan SCI meliputi kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dan kecelakaan kerja.
Selain kelumpuhan, perlu ditanyakan apakah ada keluhan lain seperti nyeri atau tanda-tanda defisit neurologis lainnya. Pada kasus infark medula spinalis, nyeri dan defisit neurologis timbul mendadak, serta dapat disertai inkontinensia. Sementara itu, pada kasus tumor gejala biasanya muncul bertahap. Nyeri akibat tumor medula spinalis bersifat progresif dan diperparah dengan berbaring. Perlu juga ditanyakan tanda-tanda infeksi medula spinalis, seperti nyeri punggung yang disertai demam.[12,15]
Riwayat prosedur invasif ditanyakan untuk menggali faktor risiko. Riwayat prosedur pembuluh darah (terutama pada aorta) meningkatkan risiko infark medula spinalis, sedangkan riwayat pembedahan secara umum merupakan faktor risiko infeksi medula spinalis.[15]
Penting juga untuk menanyakan riwayat kelumpuhan pada keluarga, khususnya kelumpuhan yang muncul secara bertahap pada usia dewasa muda, untuk mempertimbangkan kemungkinan hereditary spastic paraplegia (HSP).[14]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, selain status generalis, penting untuk melakukan pemeriksaan status neurologis menyeluruh untuk kasus paraplegia. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan motorik, sensorik, dan refleks tendon. Pada kasus SCI, defisit neurologis diklasifikasikan menggunakan pemeriksaan standar ICNCSCI (International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury).[17]
Langkah Pemeriksaan Neurologis Menurut ICNCSCI
Langkah awal adalah memposisikan pasien berbaring telentang dalam posisi anatomis. Kemudian, lakukan pemeriksaan sensorik, motorik, dan tentukan tingkat kerusakan neurologi.
Pemeriksaan Sensorik dan Motorik:
Lakukan pemeriksaan sensasi raba halus menggunakan ujung kapas tipis <1 cm dan sensasi pin prick atau tajam-tumpul menggunakan peniti pada 28 dermatom dari C2 hingga S4-5 pada kedua sisi.
Setiap dermatom sensorik diberi skor 0-2. Skor 0 berarti tidak ada sensasi, skor 1 berarti ada perbedaan sensasi dibandingkan dengan wajah, dan skor 2 berarti sensasi normal atau sama dengan wajah.
Komponen motorik diperiksa pada tiap miotom menggunakan skala standar fungsi motorik 0-5.
- Skor 0: tidak ada kontraksi yang teraba ataupun terlihat
- Skor 1: kontraksi otot teraba atau terlihat
- Skor 2: gerakan aktif seluruh range of motion (ROM) tanpa melawan gravitasi
- Skor 3: gerakan aktif seluruh ROM dengan melawan gravitasi
- Skor 4: gerakan aktif seluruh ROM dengan melawan gravitasi dan tahanan sedang
- Skor 5: gerakan aktif seluruh ROM dengan melawan gravitasi dan tahanan kuat
- NT (not testable): otot tidak dapat digerakkan, diamputasi, gerakan terbatas karena nyeri hebat, atau mengalami kontraktur yang membatasi >50% ROM normal[16,17]
Menentukan Tingkat Kerusakan Neurologi:
Langkah berikutnya adalah menentukan tingkat kerusakan neurologis (neurological level of injury/NLI) sebagai berikut:
- Tentukan level sensorik pada kedua sisi
- Tentukan level motorik pada kedua sisi
- Tentukan NLI, yakni level paling kaudal dengan sensasi intak (skor 2) dan kekuatan otot minimal ⅗; dengan catatan seluruh level di atasnya memiliki level sensorik 2 dan kekuatan otot 5/5
Selanjutnya, tentukan apakah kerusakan bersifat komplit atau inkomplit dengan memeriksa sensasi anal. Pemeriksa memasukkan jari ke rektum dan meminta pasien mengencangkan otot seperti sedang menahan buang air besar. Jika terdapat kontraksi anal volunter, pasien memiliki kerusakan motorik inkomplit. Lalu, jika pasien dapat merasakan tekanan jari pemeriksa pada dinding anus, maka pasien memiliki kerusakan sensorik inkomplit.
Tentukan grade ASIA Impairment Scale (AIS) berdasarkan kategori berikut:
- A: komplit; tidak ada fungsi sensorik maupun motorik pada segmen sakral S4-S5
- B: inkomplit; tidak ada fungsi motorik, tetapi fungsi sensorik masih ada di bawah level neurologis hingga segmen sakral S4-S5
- C: inkomplit; masih ada fungsi motorik di bawah level neurologis, sebagian besar otot di bawah level neurologis memiliki kekuatan otot kurang dari 3
- D: inkomplit; masih ada fungsi motorik di bawah level neurologis, sebagian besar otot di bawah level neurologis memiliki kekuatan otot 3 atau lebih
- E: normal; fungsi motorik dan sensorik normal[17]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mencari etiologi paraplegia. Pemeriksaan penunjang dipilih berdasarkan presentasi klinis pasien dan pendekatan diagnostik terbaik. Sebagai contoh, pada pasien yang dicurigai mengalami SCI, maka pemeriksaan radiologi kemungkinan memberi manfaat terbanyak.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah hematologi rutin. Pada kasus-kasus trauma, hemoglobin dan hematokrit dapat diperiksa secara berkala untuk mendeteksi atau memantau adanya perdarahan dan syok. Pada kecurigaan adanya infeksi sebagai etiologi paraplegia, dapat dilakukan pemeriksaan serologi.[16]
Rontgen
Rontgen dilakukan pada seluruh vertebra. Pada pasien dengan kecurigaan SCI, posisi standar foto servikal yang direkomendasikan adalah anteroposterior, lateral, dan odontoid. Junction C7-T1 harus terlihat jelas. Sementara itu, posisi foto vertebra torakal dan lumbal yang direkomendasikan adalah anteroposterior dan lateral.[16]
Computed Tomography Scanning (CT Scan)
CT scan ideal untuk menunjukkan abnormalitas tulang atau fraktur. Beberapa studi menyatakan bahwa CT scan dengan potongan sagital dan koronal lebih sensitif mendeteksi fraktur spinal dibandingkan foto polos.
CT scan disarankan pada situasi-situasi berikut:
- Rontgen inadekuat atau gagal memvisualisasi segmen-segmen tulang
- Alasan efisiensi. Sebagai contoh, jika pasien memerlukan CT scan kepala, umumnya lebih mudah dan cepat untuk melakukan CT scan vertebra servikal, torakal, dan lumbal
- Sebagai pemeriksaan lebih lanjut ketika rontgen menunjukkan fraktur, dislokasi, atau abnormalitas mencurigakan lainnya[16]
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI adalah pemeriksaan radiologis paling akurat untuk mendeteksi kelainan medula spinalis. MRI dapat menunjukkan parenkim medula spinalis, lesi jaringan lunak (abses, hematoma, tumor, dan abnormalitas diskus intervertebralis), maupun lesi tulang (erosi, perubahan hipertrofik, kolaps, fraktur, dan subluksasi, tumor).[16,18]