Penatalaksanaan Transient Ischemic Attack (TIA)
Penatalaksanaan transient ischemic attack (TIA) yang utama adalah pencegahan perkembangan TIA menjadi stroke dengan disabilitas permanen. Studi menunjukkan bahwa penatalaksanaan TIA dapat menurunkan risiko stroke hingga 80% dibanding pasien TIA yang tidak menerima terapi.
Penatalaksanaan TIA dapat diberikan sesuai etiologi TIA. Ini mencakup terapi revaskularisasi pada pasien stenosis arteri karotis simptomatik, terapi antikoagulan pada pasien dengan atrial fibrilasi, pemberian antiplatelet, pemberian statin, manajemen hipertensi, serta perubahan gaya hidup sehat seperti berhenti merokok dan menurunkan berat badan.[1,3]
Penentuan Risiko Perkembangan Transient Ischemic Attack Menjadi Stroke
Pasien dengan TIA non-konsensus juga berisiko untuk berkembang menjadi stroke dan juga dapat memiliki kelainan patologis kardiovaskular seperti TIA klasik. Oleh karena itu, kondisi ini juga harus menerima terapi sama seperti TIA klasik untuk menurunkan risiko stroke.[10]
Ada beberapa sistem skor yang dapat digunakan untuk menilai derajat risiko pasien TIA . Salah satunya adalah The Canadian TIA Score yang membagi pasien TIA menjadi tiga kategori risiko, yaitu risiko rendah, menengah dan tinggi terhadap risiko perkembangan menjadi stroke dalam 7 hari ke depan. Pasien risiko rendah memiliki risiko kurang dari 1%, menengah 1–5%, dan risiko tinggi lebih dari 5% untuk mengalami stroke dalam 7 hari ke depan.[5]
Tabel 1. The Canadian TIA Score
Sumber: dr. Reren, Alomedika, 2024.[5]
Pasien dikatakan risiko rendah jika hasil penghitungan poin -3 hingga 3. Risiko sedang jika memiliki poin skor 4-8. Risiko tinggi jika memiliki poin skor 9 atau lebih.[5,10]
Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan umum yang dapat diberikan pada pasien TIA adalah pemberian cairan isotonik kristaloid segera setelah pasien tiba di instalasi gawat darurat. Hal ini sama dengan prosedur penatalaksanaan pasien stroke dan umumnya pasien TIA datang dalam keadaan dehidrasi.
Selanjutnya setiap pasien TIA diberikan suplementasi oksigen dengan target saturasi oksigen di atas 92%. Pemeriksaan tekanan darah dan pemeriksaan glukosa darah juga perlu dilakukan.[4]
Penatalaksanaan Khusus
Penatalaksanaan khusus yang dapat diberikan kepada pasien TIA dapat berupa penanganan etiologi TIA serta terapi untuk mencegah terjadinya rekurensi dan perkembangan menjadi stroke.
Revaskularisasi dan Stenting
Revaskularisasi karotis dini pada pasien stenosis arteri karotis dengan sumbatan 50% atau lebih yang bergejala telah dilaporkan efektif dalam mencegah stroke apabila dilakukan dalam 2 minggu pertama TIA terjadi. Pada pasien dengan kondisi stabil, prosedur dapat dilakukan sesegera mungkin, sehingga mengidentifikasi adanya stenosis arteri sangat penting pada pasien TIA. Walaupun prevalensinya hanya 10%, namun stenosis arteri merupakan penyebab terjadinya rekurensi awal pada 50% kasus TIA.[1,3]
Pada TIA di sistem vertebrobasilar, stenting dapat dilakukan pada kondisi:
- Pasien yang masih bergejala walau sudah menerima tata laksana optimal
- Pasien simptomatik rekuren dengan unilateral high-grade stenosis di arteri vertebra dominan
- Pasien dengan bilateral high-grade stenosis simptomatik rekuren
- Pasien dengan high-grade stenosis di arteri vertebra terisolasi dan gejala rekuren mengarah ke iskemik pada arteri serebral inferior posterior ipsilateral[4]
Terapi Antiplatelet
Semua pasien TIA harus menerima terapi antiplatelet, kecuali pasien TIA yang sedang menerima terapi antikoagulan dengan etiologi atrial fibrilasi. Antiplatelet yang diberikan dapat berupa monoterapi antiplatelet, seperti aspirin dengan dosis 81-325 mg/hari. Pilihan antiplatelet lain adalah clopidogrel 75 mg/hari; atau kombinasi aspirin 25 mg dan dipyridamole 200 mg extended-release 2 kali sehari.[1,4]
Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa terapi antiplatelet terbaik pada pasien TIA adalah dengan pemberian dual antiplatelet, yakni aspirin dan clopidogrel, yang diberikan dalam 24 jam pasca onset, diberikan selama 3 minggu hingga 1 bulan. Selanjutnya, terapi dilanjutkan dengan pemberian agen tunggal antiplatelet untuk menurunkan risiko stroke pada pasien TIA risiko tinggi.[3,6,9]
Terapi Antikoagulan
Pemberian terapi antikoagulan oral diindikasikan pada pasien TIA dengan etiologi atrial fibrilasi atau adanya sumber kardioemboli lain sebagai etiologi TIA. Vitamin K antagonis, khususnya warfarin, dapat menjadi pilihan untuk menurunkan risiko tromboemboli pada pasien atrial fibrilasi, prostesis katup jantung mekanik, dan etiologi kardio emboli lain. Penurunan risiko stroke pada TIA etiologi atrial fibrilasi non-valvular dengan pemberian warfarin dapat mencapai 60-70% dibandingkan tidak diberikan antikoagulan.[4,5]
Dua kelas antikoagulan lain yang dapat diberikan pada pasien atrial fibrilasi non-valvular adalah direct oral anticoagulant (DOAC) seperti dabigatran dan apixaban. Secara efikasi, DOAC sama efektif dengan warfarin, namun dengan efek samping yang jauh lebih sedikit.[3,4]
Antihipertensi
Pemberian antihipertensi merupakan salah satu modalitas utama untuk menurunkan risiko TIA menjadi stroke. Target optimal tekanan darah adalah kurang dari 140/90 mmHg. Pilihan antihipertensi yang dapat diberikan adalah angiotensin-converting-enzyme inhibitor dengan thiazide atau thiazide-like diuretic. Alternatif antihipertensi lain yang dapat diberikan adalah calcium-channel blocker.[5]
Statin
Semua pasien TIA non-kardioembolik tanpa kontraindikasi maupun reaksi simpang harus diberikan terapi statin. Pemberian statin yang disarankan adalah statin dosis tinggi, seperti atorvastatin 80 mg/hari atau simvastatin 40 mg/hari. Pemberian statin dapat menurunkan risiko rekurensi TIA dan komplikasi stroke 1,5–1,9% dalam 2,5 tahun mendatang.[5]
Penulisan pertama oleh: dr. Imanuel Natanael Tarigan