Penatalaksanaan Gangguan Disforik Pramensturasi
Penatalaksanaan untuk gangguan disforik pramenstruasi atau premenstrual dysphoric disorder dapat berupa terapi farmakologis seperti antidepresan atau anxiolytic maupun terapi nonfarmakologis seperti perubahan gaya hidup dan cognitive-behavioral therapy atau CBT.[2,3,15,18]
Terapi Nonfarmakologis
Terapi nonfarmakologis merupakan lini pertama untuk tata laksana gangguan disforik pramenstruasi (GDPM). Pada kasus ringan, terutama pada pasien yang tidak ingin menggunakan farmakoterapi, terapi nonfarmakologis dapat dijalani tanpa obat-obatan. Terapi ini mencakup perubahan gaya hidup (diet, aktivitas fisik), relaksasi, dan CBT.[19]
Perubahan Gaya Hidup
Olahraga aerobik dengan intensitas moderat yang dilakukan secara teratur dilaporkan dapat mengurangi gejala-gejala GDPM, terutama yang berkaitan dengan depresi dan retensi cairan. Olahraga berkaitan dengan peningkatan endorfin dan perubahan yang positif pada fisiologi tubuh.[2,3,15,18]
Pasien GDPM juga harus menyesuaikan dietnya. Pasien sebaiknya mengurangi kafein (mengurangi gejala jittery atau tidak tenang) dan membatasi garam untuk mengurangi retensi cairan. Alkohol juga sebaiknya dihindari. Sementara itu, makanan yang kaya karbohidrat kompleks dapat dikonsumsi karena dilaporkan dapat mengurangi gejala GDPM dalam studi klinis.[2,3,15,18]
Suplemen nutrisi berupa vitamin B6 100 mg/hari juga dilaporkan dapat bermanfaat bagi pasien GDPM dan dianjurkan oleh Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) dalam pedoman klinis GDPM.[19]
Cognitive Behavioral Therapy atau CBT
Terapi ini melatih pasien untuk mengenali pola pikir yang ekstrem atau negatif (yang diperkirakan menjadi dasar keluhan) dan menggantinya dengan pandangan yang lebih adaptif. CBT untuk pasien GDPM mencakup kontrol amarah, penghentian pikiran, dan reduksi emosi negatif melalui restrukturisasi kognitif.[19]
Teknik Relaksasi
Relaksasi dapat dilakukan dengan pengulangan kata-kata, frase, suara, atau aktivitas otot untuk menenangkan diri dan memperlambat laju napas dan denyut jantung. Teknik relaksasi saat ini masih menunjukkan bukti yang inkonsisten dalam terapi GDPM tetapi dilaporkan dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk terapi lainnya.[19]
Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis mencakup pemberian antidepresan golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI). Terapi lain dapat berupa anxiolytic maupun terapi hormonal. Terapi farmakologis umumnya dianjurkan untuk kasus yang sedang hingga berat dan kasus yang tidak merespons terapi nonfarmakologis.[2,3,15,18]
Antidepresan
Antidepresan golongan SSRI merupakan pilihan medikamentosa untuk kasus GDPM. Obat yang sering digunakan adalah fluoxetine 20 mg/hari. Selain itu, paroxetine dengan dosis 10–30 mg/hari juga dilaporkan dapat memperbaiki mood dan gejala fisik pada GDPM. Opsi lain mencakup sertraline 50–150 mg/hari. Golongan SSRI ini umumnya digunakan selama 1–2 bulan.[2,3,15,18]
Anxiolytic
Studi melaporkan bahwa alprazolam efektif mengatasi kecemasan pada pasien GDPM. Alprazolam hanya boleh diberikan dosis rendah, yaitu 0,375–1,5 mg/hari. Risiko efek samping dapat dikurangi dengan penggunaan hanya selama fase luteal dan hanya sebagai opsi kedua jika antidepresan gagal memperoleh respons optimal.[2,3,15,18]
Terapi Hormonal
Pil kontrasepsi berisi kombinasi drospirenone dan ethinyl estradiol disetujui oleh FDA untuk terapi GDPM pada wanita yang memang ingin menggunakan kontrasepsi oral. Pil kombinasi ini dilaporkan dapat mengurangi skor keparahan gejala dalam catatan harian pasien GDPM.[19]
Analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dilaporkan dapat mengurangi gejala GDPM. Namun, analog GnRH berisiko tinggi menyebabkan osteoporosis jika dipakai >6 bulan berturut-turut, sehingga kegunaannya terbatas. Analog GnRH hanya ditujukan untuk GDPM parah yang tidak merespons terapi nonfarmakologis dan farmakologis lain yang telah disebutkan.[19]
Pembedahan
Pada wanita yang tidak merespons terapi apa pun dan memang sudah tidak berencana hamil, tindakan bedah berupa oophorectomy dapat dipertimbangkan. Studi melaporkan bahwa gejala umumnya tidak mengalami rekurensi setelah oophorectomy.[19]