Penatalaksanaan Hipertensi Dalam Kehamilan
Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan bertujuan untuk mencegah mortalitas serta morbiditas ibu dan bayi. Tata laksana lebih awal dan skrining berkala dapat menurunkan risiko yang lebih berat di kemudian hari, juga untuk mengupayakan persalinan yang aman dan kelahiran bayi yang sehat.
Sebagai pendekatan umum, ketika hipertensi dalam kehamilan terdeteksi, lebih aman untuk mengasumsikan bahwa awitan baru adalah preeklampsia, meskipun tidak semua kriteria diagnostik terpenuhi. Ini karena preeklampsia dapat berkembang menjadi eklamsia dalam waktu singkat.[1,3,5,6,8,20]
Aspirin Profilaksis
Profilaksis dengan aspirin 81 mg diindikasikan sebagai pencegahan yang dimulai pada 12-28 minggu dan dilanjutkan hingga persalinan. Profilaksis dapat diberikan pada wanita dengan 1 faktor risiko tinggi atau ≥2 faktor risiko sedang.
Faktor Risiko Tinggi
Faktor risiko tinggi yaitu riwayat preeklampsia, hipertensi kronis, diabetes mellitus tipe 1 ataupun tipe 2, penyakit ginjal, penyakit autoimun terutama lupus eritematosus sistemik atau sindrom antifosfolipid, atau kehamilan multipel.
Faktor Risiko Sedang
Faktor risiko sedang termasuk nullipara, interval kehamilan lebih dari 10 tahun, indeks massa tubuh (IMT) di atas 30 kg/m2, status sosioekonomi rendah, riwayat keluarga dengan preeklampsia, usia ibu >35 tahun saat melahirkan, dan intrauterine growth restriction (IUGR).[1,3,5,17]
Pengelolaan Tekanan Darah
Terapi farmakologis pada hipertensi gestasional dan hipertensi kronis pada kehamilan selalu diindikasikan bila tekanan darah di atas 160/110 mmHg yang berlangsung dalam jarak antar pengukuran minimal 15 menit. Pengobatan dengan antihipertensi untuk hipertensi ringan tidak direkomendasikan, kecuali jika pasien sedang menjalani pengobatan untuk hipertensi prakehamilan (hipertensi kronis).
Indikasi pengobatan untuk hipertensi kronis adalah tekanan darah di atas 140/90 mmHg. Terapi lini pertama adalah labetalol, hydralazine, atau nifedipine. Nifedipine lebih disukai untuk pengobatan oral pada fase akut. Sementara itu, untuk obat rawat jalan nifedipine atau labetalol lebih sering dipilih.[1,3,5,17]
Dalam sebuah meta analisis terhadap 72 uji klinis dengan total partisipan hampir mencapai 7000 orang, dilaporkan bahwa penggunaan antihipertensi menurunkan risiko hipertensi berat secara signifikan dibandingkan plasebo atau tanpa terapi. Labetalol dikatakan menurunkan proteinuria, preeklampsia, dan kematian janin atau neonatus lebih baik dibandingkan metildopa ataupun obat penyekat kanal kalsium.[23]
Pengelolaan Hipertensi Akut dalam Kehamilan
Hipertensi berat dalam kehamilan tanpa komplikasi pada target organ termasuk pada kondisi urgensi dan memerlukan penurunan tekanan darah hingga di bawah 160/110 mmHg. Target penurunan awal tekanan darah adalah kurang dari 25% dalam 1 jam terapi. Setelahnya, penurunan dilakukan secara bertahap hingga memenuhi target di bawah 160/110 mmHg. Penurunan secara cepat pada kondisi urgensi tidak direkomendasikan karena adanya risiko berkurangnya perfusi terhadap janin.
Hipertensi berat dalam kehamilan yang berhubungan dengan komplikasi target organ, seperti edema paru atau acute kidney injury (AKI), dikategorikan sebagai gawat darurat dan memerlukan penurunan tekanan darah secara segera.[4]
Pada wanita dengan hipertensi tidak berat, dianjurkan untuk memulai pengobatan dengan labetalol, penyekat kanal kalsium kerja panjang seperti nifedipine, atau metildopa. Jika dosis maksimum satu obat tidak efektif untuk mencapai target tekanan darah, maka tambahkan obat kedua atau ketiga. Pantau wanita yang tidak berespon terhadap terapi antihipertensi, karena mungkin merupakan tanda preeklampsia.[21-23]
Labetalol
Dosis awal labetalol intravena adalah 10-20 mg, dilanjutkan 20-80 mg setiap 10-30 menit dengan maksimum dosis 300 mg atau 1-2 mg/menit melalui infus. Sediaan labetalol oral dapat digunakan pada kondisi rawat jalan dengan dosis 200-2400 mg/hari, terbagi dalam dua dosis. Labetalol parenteral harus dihindari pada wanita dengan asthma atau gagal jantung kongestif.
Untuk hipertensi kronis pada kehamilan, labetalol dianjurkan pada dosis 100 mg 2 kali sehari, ditingkatkan 100 mg dua kali sehari setiap 2 sampai 3 hari sesuai kebutuhan.[22,23]
Hydralazine
Dosis inisiasi hydralazine intravena yaitu 5 mg, dilanjutkan 5-10 mg setiap 20-40 menit. Dosis maksimum 20 mg atau 0,5-10 mg/jam melalui infus. Hydralazine oral jarang digunakan sebagai terapi lini awal.
Nifedipine
Nifedipine oral lepas cepat dapat diberikan pada dosis 10-20 mg setiap 2-6 jam. Dosis maksimum 180 mg/hari. Bila dibutuhkan, dosis inisial dapat diulang setiap 20 menit. Nifedipine oral lepas lambat dapat diberikan pada setting rawat jalan dengan dosis 30-120 mg/hari.
Metildopa
Metildopa tidak direkomendasikan untuk diberikan pada kondisi yang memerlukan penurunan tekanan darah secara cepat. Metildopa oral dapat diberikan sebagai alternatif obat pada setting rawat jalan dengan dosis 500-3000 mg/hari, terbagi dalam 2 atau 4 dosis.[4]
Antihipertensi yang Tidak Direkomendasikan
Golongan ACE inhibitor seperti captopril, angiotensin receptor blockers (ARB) seperti candesartan, antagonis reseptor mineralokortikoid seperti eplerenone, dan nitropruside merupakan obat teratogenik sehingga dikontraindikasikan pada kehamilan.[1,3,5,17]
Hipertensi Kronis dalam Kehamilan
Pasien dengan tekanan darah terkontrol yang mempertimbangkan atau merencanakan kehamilan, perlu diedukasi mengenai risiko dari kehamilan dan obat antihipertensi untuk ibu dan janin. Dokter perlu memikirkan rasio risiko dan manfaat melanjutkan rejimen obat antihipertensi yang sedang digunakan atau memilih untuk mengubah rejimen terapi.
Pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol, optimalisasi tekanan darah harus dilakukan sebelum kehamilan.
ACEI dan ARB perlu dihentikan sebelum kehamilan karena telah dilaporkan peningkatan risiko malformasi janin, termasuk disgenesis ginjal, gangguan pertumbuhan janin, dan oligohidramnion.[20-26]
Profilaksis Kejang pada Preeklampsia
Jika pasien mengalami preeklampsia dengan gejala berat, harus diberikan profilaksis kejang berupa magnesium sulfat (MgSO4). Dosis awal MgSO4 sebesar 4 g intravena atau 10 g intramuskular, diikuti 5 g intramuskular setiap 4 jam atau infus 1 g/jam hingga persalinan, dengan minimal pemberian selama 24 jam post partum.
Jika terjadi preeklampsia berat pada pasien dengan usia kehamilan 24-33 minggu dan direncanakan terminasi, maka terapi steroid antenatal diindikasikan untuk meningkatkan kematangan paru janin.[1,3,5,17]
MgSO4 tidak direkomendasikan untuk diberikan sebagai agen antihipertensi, MgSO4 merupakan pilihan obat sebagai profilaksis kejang pada preeklampsia berat dan untuk mengontrol kejang pada eklamsia.[3]
Pemantauan Kehamilan dan Persalinan
Pemantauan kehamilan pada pasien dengan hipertensi dalam kehamilan, hipertensi kronis, atau preeklampsia harus dilakukan lebih sering dan lebih cermat. Pemantauan dilakukan terhadap kondisi ibu dan pertumbuhan janin baik secara klinis maupun penunjang melalui USG dan pemeriksaan laboratorium terkait.
Temuan abnormal pada pemantauan dapat mengindikasikan perlunya persalinan lebih awal. Tata laksana definitif dari hipertensi gestasional, preeklampsia, dan eklamsia adalah persalinan, sehingga perlu dipersiapkan kondisi yang seoptimal mungkin baik pada ibu dan janin.[1,3,5,17]
Persalinan pada Hipertensi dalam Kehamilan
Persalinan direkomendasikan untuk dilakukan segera setelah perkiraan usia kehamilan mencapai minimal 34 minggu. Pasien dengan hipertensi gestasional atau preeklampsia tanpa gejala berat dapat ditunda persalinannya hingga 37 minggu atau lebih. Sementara itu, induksi untuk hipertensi kronis dianjurkan dilakukan pada usia kehamilan 38-39 minggu.[1,3,5,17]
Pasien dengan Hipertensi Kronis:
Pada pasien dengan hipertensi kronis, rekomendasi berikut dapat dijadikan panduan dalam merencanakan persalinan:
- Ibu hamil yang tidak memerlukan terapi: 38+0 hingga 39+6 minggu kehamilan
- Ibu hamil dengan hipertensi terkontrol: 37+0 hingga 39+0 minggu
- Ibu hamil dengan hipertensi berat yang sulit dikendalikan: 34+0 hingga 36+6 minggu
Pada sebuah studi yang melibatkan 170.000 ibu hamil dengan hipertensi kronis dilaporkan bahwa persalinan pada 38+0 hingga 39+6 minggu mampu memberi keseimbangan optimal antara risiko janin dan neonatal. Meski demikian, data menunjukkan bahwa menunggu hingga 39 minggu meningkatkan luaran perinatal. Dokter tetap perlu mengingat bahwa keputusan diambil berdasarkan skenario klinis pada masing-masing pasien.[21,24,25]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelsi Khairani