Penatalaksanaan Infertilitas Wanita
Penatalaksanaan dari infertilitas wanita dapat berupa modifikasi gaya hidup, stabilisasi hiperstimulasi pada ovarium, serta tindakan medis seperti fertilisasi in-vitro (IVF), inseminasi intrauterin, hingga tindakan pembedahan.[1,3]
Modifikasi Gaya Hidup
Terapi modifikasi gaya hidup ditujukan pada wanita dengan indeks massa tubuh (IMT) yang ekstrem, gaya hidup tidak sehat, yang disertai dengan infertilitas dan gangguan ovulasi. Beberapa faktor risiko yang diduga berperan dalam terjadinya infertilitas yakni IMT > 27 kg/m2 atau IMT < 18,5 kg/m2, serta gaya hidup seperti merokok dan mengonsumsi alkohol.[3]
Pada wanita dengan IMT rendah dengan riwayat olahraga berlebihan atau dengan riwayat gangguan makan sangat berisiko mengalami kondisi hipogonadotropik hipogonadisme, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan sekresi hormon gonadotropin pituitarik.
Sebaliknya wanita dengan IMT tinggi yang memiliki kondisi anovulasi harus menurunkan berat badan untuk memicu terjadinya ovulasi. Mengurangi berat badan sebanyak 10% telah dilaporkan dapat mengembalikan ovulasi normal hingga 50-100% dalam waktu kurang dari 1 tahun.[1,3]
Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang diberikan pada kondisi infertilitas wanita yakni berupa induksi ovulasi. Berikut ini adalah beberapa jenis obat yang digunakan.[1,3]
Clomiphene Citrate
Clomiphene citrate (CC) merupakan lini pertama terapi pada infertilitas wanita, dan merupakan selective estrogen receptor modulator (SERM) yang memiliki efek untuk meningkatkan sekresi gonadotropin dari pituitari anterior. Umumnya clomiphene citrate disarankan pada pasien dengan anovulasi kelas 2 (anovulasi normogonadotropik-normoestrogenik) dan ditemukan tidak efektif pada pasien dengan anovulasi kelas 1 (anovulasi hipo-estrogenik) dan kelas 3 (anovulasi hipergonadotropik).
Dosis clomiphene citrate yang disarankan adalah dimulai dari 50 mg sehari dan dimulai pada hari ke-2, 3, 4, atau 5 siklus haid, selama 5 hari berturut-turut. Pasien kemudian perlu menjalani pemantauan folikel dengan USG transvaginal pada hari ke-12 untuk mengevaluasi terjadinya kehamilan ganda.
Pasien dan pasangannya dianjurkan untuk melakukan hubungan intim setiap 2 hari sekali selama 1 minggu, dimulai dari 5 hari setelah pil terakhir. Keberhasilan terapi clomiphene citrate apabila dikombinasi dengan inseminasi intrauterin akan meningkat. Efek samping dari clomiphene citrate adalah sindrom hiperstimulasi, rasa kurang nyaman pada perut, dan kehamilan ganda.[3]
Letrozole
Letrozole merupakan obat inhibitor aromatase yang bekerja dengan mencegah konversi androstenedion dan testosteron menjadi estron dan estradiol. Obat ini umumnya digunakan sebagai terapi adjuvan pada kanker payudara. Akan tetapi, obat ini juga ditemukan dapat digunakan untuk induksi ovulasi.
Dosis letrozole yang disarankan adalah dimulai dengan dosis 2,5, 5, atau 7,5 mg/hari pada siklus hari ke-3, 4, 5, 6, 7 dengan melakukan hubungan intim setiap 2 hari sekali, dimulai dari 5 hari setelah menyelesaikan obat. Pada pasien sindrom ovarium polikistik, letrozole lebih disarankan penggunaannya dibandingkan clomiphene citrate. Efek samping dari letrozole adalah perdarahan pervaginam, mual, anoreksia, pusing, insomnia, nyeri kepala dan hipertensi.[1,3]
Keuntungan penggunaan letrozole yakni tingkat perkembangan dari monofolikuler lebih tinggi sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya kehamilan ganda, paruh waktu pendek, tidak menimbulkan efek antiestrogenik pada endometrium dan pada sistem saraf pusat, dan menurunkan kadar estradiol sehingga dapat digunakan pada pasien kanker payudara yang sedang dalam IVF.[3,11]
Terapi Gonadotropin
Terapi gonadotropin disarankan penggunaannya pada pasien dengan gangguan anovulasi kelas 1, 2, dan 3. Terapi ini digunakan apabila terapi clomiphene citrate gagal.
Beberapa preparat dapat digunakan, seperti human menopausal gonadotropin, urinary FSH, rekombinan HCG, dan rekombinan FSH. Protokol penggunaan terapi gonadotropin sesuai dengan masing-masing fasilitas kesehatan. Penggunaan preparat gonadotropin kombinasi FSH dan LH rekombinan ditemukan memiliki efikasi yang lebih tinggi dibandingkan FSH rekombinan saja.[3]
Metformin
Metformin merupakan agen insulin sensitizing (ISA) yang diduga dapat menurunkan kadar hormon Anti-Mullerian (AMH), dimana pada kondisi hiperandrogenisme, proses folikulogenesis dapat terhenti dan terjadi peningkatan kadar AMH hingga 2,5 kali lipat pada wanita yang mengalami sindrom ovarium polikistik.
AMH dapat menginhibisi recruitment dari folikel primordial ke dalam growing pool dan menurunkan sensitivitas folikel ovarium terhadap FSH. Sehingga apabila kadar AMH dapat diturunkan, maka efek inhibisi AMH dapat tersupresi, dan sensitivitas folikel ovarium terhadap AMH dapat kembali normal.
Pemberian metformin selama 6 bulan dengan dosis 1000-1500 mg per hari diduga dapat menurunkan kadar AMH, folikel dan volume ovarium pada kondisi sindrom ovarium polikistik. Metformin diberikan dengan dosis awal 50-500 mg per hari peroral, dengan dosis dapat ditingkatkan hingga 1500-2500 mg (dibagi dalam 3 kali pemberian) per hari. Metformin kerja panjang dapat diberikan hingga 2 kali sehari dengan dosis 850 mg/kali.[1]
Tindakan Medis
Tindakan atau prosedur medis umumnya dilakukan apabila farmakoterapi tidak memiliki efek yang maksimal. Fertilisasi in vitro dan inseminasi intrauterin (IUI) merupakan prosedur yang umumnya dilakukan pada pasien infertilitas. Tindakan lain seperti hidrotubasi kadang dilakukan untuk kasus obstruksi tuba, tetapi bukti klinisnya masih sangat heterogen.[3,4]
Fertilisasi In Vitro
Fertilisasi in vitro (IVF) merupakan salah satu terapi utama infertilitas pada wanita. Indikasi dari IVF yakni oklusi tuba bilateral yang tidak dapat dikoreksi, tidak hamil pasca 3-4 kali IUI, serta 6 bulan pasca koreksi tuba tetapi tidak terjadi kehamilan. IVF juga diindikasikan pada infertilitas terkait endometriosis derajat sedang-berat, infertilitas idiopatik, gangguan ovulasi dan penurunan cadangan sel telur pasca induksi ovulasi atau inseminasi 3-6 siklus.
Indikasi lain adalah penurunan cadangan ovarium dan keguguran berulang. Prosedur IVF dilakukan dengan pemberian injeksi gonadotropin atau HCG untuk hiperstimulasi ovarium terlebih dahulu, lalu 36 jam berikutnya pasien menjalani aspirasi jarum dengan bantuan ultrasonografi transvaginal dan dilakukan pengambilan oosit. Setelah itu, oosit akan ditransfer ke media khusus dan dilakukan inseminasi dengan sperma.[3]
Inseminasi Intrauterin
Inseminasi Intrauterin (IUI) merupakan pilihan tata laksana infertilitas idiopatik. Prosedur ini dapat dilakukan dengan atau tanpa prosedur stimulasi ovarium. Inseminasi intrauterin dilakukan dengan menempatkan sperma pada dekat 1 atau lebih oosit saat ovarium diperkirakan sedang pembuahan.[3]
Pembedahan
Tindakan pembedahan ditujukan pada wanita dengan kondisi leiomyoma dengan infertilitas. Lokasi dari fibroid sangat berperan dalam menyebabkan terjadinya infertilitas. Fibroid yang terletak di endometrium submukosal atau submukosal-intramural dan mendistorsi rongga uterus akan menyebabkan terganggunya proses implantasi dan peningkatan risiko terjadinya keguguran.
Tindakan untuk mengangkat fibroid yakni histeroskopi. Tindakan operatif histeroskopi juga dapat mengatasi kondisi sinekia atau septa uterus, yang menyebabkan infertilitas. Selain itu, kondisi seperti polip juga diduga dapat menyebabkan infertilitas, sehingga perlu dilakukan polipektomi.[3]
Penulisan pertama oleh: dr. Audric Albertus
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta