Penatalaksanaan Menorrhagia
Penatalaksanaan menorrhagia bertujuan untuk mengatasi etiologi yang mendasari, mencegah episode perdarahan uterus akut, mencegah atau mengobati anemia, serta meningkatkan kualitas hidup. Jika etiologi primer diketahui dan kondisi yang mendasari ini diatasi, penatalaksanaan menorrhagia akan lebih efektif. Kondisi yang mendasari dapat berupa lesi struktural, seperti fibroid atau polip submukosa; gangguan endokrin, seperti sindrom ovarium polikistik; infeksi, seperti endometritis kronis; ataupun gangguan perdarahan.[1]
Terapi Inisial
Terapi inisial dilakukan untuk menangani kondisi perdarahan akut dengan volume yang cukup banyak, misalnya apabila pasien jatuh dalam kondisi syok hipovolemik. Lakukan resusitasi cairan sesuai protokol dan pertimbangkan kebutuhan transfusi.[2,3]
Terapi Setelah Pasien Stabil
Apabila tindakan resusitasi sudah dilakukan, maka selanjutnya dapat diberikan terapi conjugated equine estrogen melalui jalur intravena dan progestin oral.
Dosis dari conjugated equine estrogen per intravena yakni 25 mg diberikan setiap 4-6 jam selama 24 jam. Setelah 24 jam pertama, pemberian conjugated equine estrogen dihentikan, dan pasien mulai dapat diberikan terapi transisi menjadi obat oral progestin. Progestin yang digunakan mengandung medroksiprogesteron asetat 20 mg, diberikan 3 kali sehari selama 7 hari.
Pemberian asam traneksamat dapat dipertimbangkan untuk membantu menghentikan perdarahan. Dosis yang dianjurkan yakni 1-1,5 gram diberikan per oral setiap 8 jam sekali, selama 5 hari; atau melalui jalur intravena dengan dosis 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg/hari) diberian setiap 8 jam sekali selama 5 hari.
Apabila pasien memiliki riwayat penyakit von Willebrand, maka pemberian desmopressin intranasal, subkutan, atau intravena dapat dilakukan.
Selain pemberian obat, pemasangan tamponade pada uterus dengan Foley Bulb dapat dilakukan untuk menghentikan perdarahan pada terapi inisial.[2]
Medikamentosa
Medikamentosa yang dapat digunakan pada pasien dengan menorrhagia adalah obat-obatan seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), asam traneksamat, dan terapi hormon.[4]
Obat Antiinflamasi Nonsteroid
Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) diduga mampu memperbaiki hemostasis endometrium dan menurunkan jumlah darah haid hingga 20-50%. Cara kerjanya yakni memblokade pembentukan dari protasiklin, sehingga dapat mempercepat agregasi trombosit dan menginisiasi koagulasi.
Secara keseluruhan, dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, didapatkan reduksi kehilangan darah menstrual 20-49% pada pemakaian OAINS untuk tata laksana menorrhagia. Obat yang digunakan antara lain asam mefenamat 250-500 mg, sebanyak 2-4 kali sehari. Pilihan lain adalah ibuprofen dengan dosis 600-1.200 mg per hari.[4,10]
Asam Traneksamat
Asam traneksamat adalah inhibitor kompetitif sintetis yang bersifat reversibel terhadap reseptor lisin pada plasminogen. Ikatan pada reseptor ini mencegah plasmin untuk berikatan dengan matriks fibrin. Asam traneksamat tidak terlihat berefek pada jumlah atau agregasi trombosit, tetapi mengurangi pemecahan terhadap bekuan darah yang terbentuk. Karena perdarahan menstruasi melibatkan pencairan bekuan darah dari arteri spiralis endometrium, reduksi pada proses ini dipercaya menjadi mekanisme berkurangnya darah menstruasi.[2,4,10]
Terapi Hormonal
Preparat androgen adalah alternatif lain terapi menorrhagia. Obat dari golongan ini yang dapat diberikan adalah danazol. Androgen dapat menstimulasi eritropoiesis dan efisiensi pembekuan darah, serta mengubah jaringan endometrium menjadi inaktif dan atrofi.
Estrogen terkonjugasi merupakan derivat estrogen yang berfungsi untuk mempercepat pertumbuhan kembali dinding endometrium. Estrogen terkonjugasi bisa menghentikan perdarahan dalam waktu 5–8 jam. Terapi estrogen hanya mengontrol perdarahan akut dan tidak mengobati penyebab yang mendasari.
Pil kontrasepsi progestin merupakan antiestrogen yang akan menstimulasi aktivitas enzim 17β hidroksi-steroid dehidrogenase dan sulfotransferase sehingga mengonversi estradiol menjadi estron. Progestin diberikan selama 14 hari, kemudian dihentikan selama 14 hari. Siklus ini diulang selama 3 bulan.
Saat meresepkan terapi hormonal untuk pasien dengan menorrhagia, tanyakan apakah pasien sedang dalam program hamil. Jika seorang pasien berencana untuk hamil dalam waktu dekat, pengobatan alternatif harus dipilih.
Intrauterine device (IUD) berisi Levonorgestrel (levonorgestrel-releasing intrauterine system//LNG-IUS):
Efek dari intrauterine device (IUD) yang mengandung levonorgestrel termasuk pencegahan proliferasi endometrium, penebalan mukus servikalis, dan penekanan ovulasi pada sebagian kecil perempuan. IUD ini adalah opsi jangka panjang yang efektif untuk pasien yang masih ingin memiliki anak di masa depan. Levonorgestrel intrauterin dapat mengurangi perdarahan sampai setelah 12 bulan terapi.
Efek samping yang umum terjadi dari IUD berisi levonorgestrel ini adalah perdarahan ireguler yang terjadi kurang lebih 6 bulan dan efek samping terkait hormon, seperti nyeri tekan payudara, jerawat, atau sakit kepala. Amenorea juga dapat terjadi.
Pil Kontrasepsi Progestin:
Tata cara pemakaian pil kontrasepsi progestin pada kasus menorrhagia sesuai dengan tata cara pemakaian pada perdarahan uterus abnormal. Progestin merupakan antiestrogen yang akan menstimulasi aktivitas enzim 17β hidroksi-steroid dehidrogenase dan sulfotransferase sehingga mengonversi etsradiol menjadi estron.
Progestin diberikan selama 14 hari kemudian dihentikan selama 14 hari, siklus ini diulang selama 3 bulan. Biasanya progestin diberikan bila ada kontraindikasi terhadap estrogen. Saat ini tersedia beberapa sediaan progestin oral yang bisa digunakan yaitu medroxyprogesterone acetate/MPA dengan dosis 10 mg, dua kali sehari. Pilihan terapi lain adalah noretisteron asetat dosis 5 mg 2 kali sehari, dan dydrogesterone dosis 10 mg 2 kali sehari.
Efek samping yang umum terjadi dari pemakaian pil kontrasepsi progestin yakni kenaikan berat bedan, nyeri tekan payudara, jerawat, dan sakit kepala.
Pil Kontrasepsi Kombinasi:
Pil kontrasepsi oral mengandung kombinasi estrogen dan progesteron. Tata cara pemakaian pil kontrasepsi progestin pada kasus menorrhagia ini sesuai dengan tata cara pemakaian pada perdarahan uterus abnormal.
Dosis dimulai dengan 2 x 1 tablet selama 5-7 hari dan setelah terjadi perdarahan akut dilanjutkan 1 x 1 tablet selama 3-6 siklus. Dapat pula diberikan dosis tapering 4 x 1 tablet selama 4 hari, yang kemudian diturunkan menjadi 3 x 1 tablet selama 3 hari, lalu 2 x 1 tablet selama 2 hari, dan 1 x 1 tablet selama 3 minggu, baru kemudian berhenti tanpa obat selama 1 minggu dan dilanjutkan pil kombinasi 1 x 1 tablet selama 3 siklus.
Pil kombinasi efektif untuk manajemen jangka panjang perdarahan uterus abnormal. Efek samping yang umum terjadi pada pemakaian pil kontrasepsi kombinasi adalah perubahan mood, sakit kepala, mual, dan nyeri tekan payudara.
Estrogen:
Estrogen sangat efektif mengontrol perdarahan akut dan berat. Estrogen bekerja dengan cara mengatur aksi vasospastik pada perdarahan kapiler dengan cara mempengaruhi kadar fibrinogen, fakor IV, dan faktor X di dalam darah. Estrogen juga mempengaruhi agregasi trombosit dan permeabilitas kapiler. Selain itu, estrogen juga menginduksi formasi reseptor progesteron, sehingga pengobatan berikutnya dengan progestin lebih efektif.
Terapi estrogen dapat diberikan dalam 2 bentuk, intravena atau oral, tetapi sediaan intravena sulit didapatkan di Indonesia. Pemakaian estrogen konjugasi diberikan dengan dosis 1,25mg atau 17β estradiol 2 mg setiap 6 jam selama 24 jam. Setelah perdarahan berhenti, tata laksana dilanjutkan dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi.
Terapi estrogen hanya mengontrol perdarahan akut dan tidak mengobati penyebab yang mendasari. Terapi jangka panjang yang sesuai harus tetap diberikan ketika episode akut telah terlewati.[2,4,10]
Pembedahan
Terapi pembedahan terkadang diperlukan dalam penatalaksanaan menorrhagia. Pemilihan terapi bedah tergantung dari berat-ringan keluhan dan etiologi yang mendasari.[4]
Dilatasi dan Kuretase
Tindakan dilatasi dan kuretase biasanya dilakukan untuk mengatasi perdarahan secara cepat (dalam waktu 1 jam). Prosedur ini tidak dapat mengatasi penyakit kausal.
Prosedur dilatasi dan kuretase disarankan dilakukan menggunakan bantuan histeroskopi untuk mengevaluasi rongga endometrium. Prosedur ini dikontraindikasikan pada pasien dengan infeksi pelvis. Risiko yang dapat terjadi termasuk perforasi uterus, infeksi, dan sindrom Asherman.[2,3,4]
Ablasi Endometrium
Ablasi endometrium biasanya dilakukan jika pengobatan dengan terapi obat-obatan tidak memberikan respon yang baik. Prosedur yang dilakukan pada ablasi endometrium adalah menghancurkan lapisan tipis endometrium pada rongga uterus. Hal ini menghentikan perdarahan menstruasi pada kebanyakan pasien. Pada beberapa pasien, perdarahan menstruasi mungkin tidak berhenti, tetapi berkurang menjadi normal atau perdarahan yang lebih ringan. Jika melalui tindakan ablasi tidak dapat mengontrol perdarahan yang cukup berat, dibutuhkan terapi bedah lanjutan lainnya.[4,8]
Histerektomi
Histerektomi sebetulnya adalah terapi definitif menorrhagia karena setelah rahim diangkat pasien tidak akan menstruasi lagi. Histerektomi dapat dilakukan jika terapi menorrhagia dengan obat-obatan tidak berespon dan pasien memilih prosedur ini di antara alternatif terapi bedah yang lain. Prosedur ini tentunya dilakukan kepada perempuan yang sudah tidak ingin atau tidak bisa memiliki anak lagi.[4,8]
Penulisan pertama oleh: dr. Yelsi Khairani