Penatalaksanaan Persalinan Preterm
Penatalaksanaan persalinan preterm atau persalinan prematur mencakup pemberian tokolitik, pemberian kortikosteroid antenatal, dan pemilihan metode persalinan.[1]
Ibu dengan kecurigaan persalinan preterm yang datang saat usia gestasi >34 minggu diobservasi selama 4–6 jam. Jika tidak ada dilatasi dan penipisan serviks progresif, hasil non-stress test tampak baik, dan tidak ada komplikasi pada kehamilan, ibu dapat pulang dan kontrol kembali 1–2 minggu kemudian. Bila ibu datang saat usia gestasi <34 minggu dengan tanda dan gejala persalinan preterm, ibu harus dirawat inap.[1]
Pemberian Tokolitik
Tokolitik umumnya diberikan pada kasus persalinan preterm dengan usia gestasi <32 minggu. Pemberiannya hanya berlangsung dalam jangka waktu singkat, yaitu 48 jam. Tujuannya adalah untuk mengurangi kontraksi dan memberikan waktu yang cukup untuk pemberian kortikosteroid. Pemberian tokolitik melebihi 48 jam tidak memberikan manfaat tambahan untuk mengurangi insiden persalinan preterm maupun memperbaiki luaran neonatus.[3,4]
Indikasi pemberian tokolitik adalah kontraksi >6 kali/jam yang menghasilkan perubahan serviks atau dicurigai akan menghasilkan perubahan serviks, yakni panjang serviks transvaginal <25 mm, >50% penipisan serviks, atau dilatasi serviks ≥20 mm. Jika ada kontraksi tanpa perubahan serviks, pilihan terapi adalah observasi berkelanjutan atau metode therapeutic sleep (contohnya dengan pemberian morphine sulphate 10–15 mg subkutan pada pasien).[1,9]
Agen tokolitik yang paling sering digunakan adalah magnesium sulfat, indomethacin, nifedipine, dan terbutaline. Namun, pemberian tokolitik tidak disarankan pada pasien yang sudah mengalami ketuban pecah dini.[3,4]
Magnesium Sulfat (MgSO4)
Dosis magnesium sulfat untuk persalinan preterm adalah 4–6 gram bolus intravena selama 15–30 menit sebagai dosis awal, yang kemudian diikuti dengan dosis rumatan 2–3 gram/jam intravena selama 24–48 jam.[3,4]
Magnesium sulfat bekerja sebagai tokolitik dengan cara menghambat aktivitas myosin light-chain kinase. Selain sebagai tokolitik, magnesium sulfat juga bermanfaat sebagai neuroprotektor yang mencegah cedera otak. Dosis awal sebagai neuroprotektor sama dengan yang disebutkan sebelumnya, tetapi dosis rumatan diberikan hingga bayi lahir atau hingga 12 jam (tergantung mana yang tercapai lebih dahulu).[3,4]
Ada hasil studi yang mengatakan bahwa magnesium sulfat kurang efektif sebagai agen tokolitik dan hanya bermanfaat sebagai neuroprotektor. Namun, mayoritas studi yang lain masih menunjukkan manfaat magnesium sulfat sebagai tokolitik.[3,4]
Efek samping magnesium sulfat yang mungkin terjadi pada ibu adalah hipotensi, muka merah, diaphoresis, mual, hilangnya refleks tendon dalam, depresi napas, edema paru, dan henti jantung. Sementara itu, efek samping yang mungkin terjadi pada janin adalah depresi napas, hipotonia, dan hipokalsemia. Kontraindikasi magnesium sulfat adalah myasthenia gravis, depresi pernapasan, disfungsi renal, edema paru, dan penggunaan bersama calcium channel blocker (CCB).[3,4]
Nifedipine
Nifedipine adalah suatu calcium channel blocker. CCB bekerja sebagai tokolitik dengan cara menghambat aliran ion kalsium melalui membran sel dan menghambat rilis ion kalsium intraseluler dari retikulum sarkoplasma. Hal ini menyebabkan relaksasi pada miometrium.[3,4]
Dosis awal nifedipine adalah 10–30 mg peroral, yang diikuti dengan dosis 10–20 mg setiap 4–8 jam (dosis maksimal 180 mg/hari). Walaupun penggunaannya pada persalinan preterm masih tergolong off-label, beberapa studi acak menunjukkan bahwa nifedipine memiliki efikasi yang baik sebagai tokolitik.[3,4]
Efek sampingnya pada ibu adalah rasa pusing, flushing, hipotensi, dan peningkatan enzim transaminase hepar. Efek penekanan denyut jantung, kontraktilitas, dan tekanan sistolik ventrikel kiri terjadi jika digunakan bersama magnesium sulfate (kontraindikasi). Sementara itu, efek sampingnya terhadap janin belum diketahui.[3,4]
Indomethacin
Indomethacin merupakan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS). OAINS menghambat produksi prostaglandin, sehingga menurunkan kontraksi uterus. Dosis indomethacin awal adalah 50–100 mg peroral, yang dilanjutkan dengan 25–50 mg peroral setiap 4-6 jam. Pemberian indomethacin tidak disarankan melebihi 48 jam.[3,4]
Efek samping indomethacin pada ibu adalah rasa mual, muntah, dan gastritis. Efek samping pada janin dapat berupa penutupan dini duktus arteriosus, disfungsi platelet, oligohidramnion, enterokolitis nekrotikans, dan perdarahan intraventrikular.[3,4]
Studi menunjukkan bahwa pemberian OAINS bermanfaat untuk mengurangi persalinan preterm, tetapi tidak memperbaiki luaran neonatus. Kontraindikasi pemberian OAINS adalah disfungsi renal, ulkus peptikum, disfungsi hepar, asma, trombositopenia, dan gangguan perdarahan.[3,4]
Terbutaline
Terbutaline merupakan agen β-agonis yang paling sering digunakan sebagai tokolitik. Dosis terbutaline adalah 0,25 mg secara subkutan setiap 20–30 menit hingga mencapai 4 dosis atau hingga efek tokolisis tercapai. Setelah itu, lanjutkan dengan dosis 0,25 mg setiap 3–4 jam hingga 24 jam. Cara kerja β-agonis sebagai tokolitik adalah dengan menurunkan kadar kalsium dan mengurangi kontraktilitas otot polos.[3,4]
Efek samping terbutaline pada ibu adalah aritmia, edema paru, iskemia jantung, hipotensi, dan takikardia. Penggunaan terbutaline >48 jam mempunyai risiko yang serius pada ibu karena dapat menyebabkan toksisitas jantung hingga kematian. Oleh sebab itu, agen lain lebih dipilih sebagai tokolitik. Pada janin, efek samping dapat berupa takikardia, hiperglikemia, hipotensi, dan perdarahan intraventrikular.[3,4]
Kontraindikasi pemberian terbutaline adalah aritmia, gagal jantung, penyakit paru atau ginjal, infeksi, hipertiroidisme, dan diabetes yang tidak terkontrol.[3,4]
Pemberian Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid bertujuan untuk maturasi paru janin dengan cara menaikkan produksi surfaktan. Selain itu, pemberian kortikosteroid bisa menurunkan risiko depresi napas, perdarahan intraventrikular, dan enterokolitis nekrotikans pada janin.[2,3]
Kortikosteroid dapat diberikan pada wanita hamil dengan usia gestasi 23 minggu yang berisiko mengalami persalinan preterm dalam 7 hari. Selain itu, kortikosteroid juga diberikan pada wanita yang berisiko mengalami persalinan preterm pada usia gestasi 24–34 minggu. Kortikosteroid juga dapat dipertimbangkan hingga usia kehamilan 35-36 minggu, dengan manfaat optimal diperoleh dalam waktu 1-7 hari.[2,3]
Kortikosteroid untuk persalinan preterm adalah betamethasone atau dexamethasone. Betamethasone diberikan 2 kali, yakni dengan dosis 12 mg intramuskular untuk tiap pemberian, dengan jarak antar dosis 24 jam. Sementara itu, dexamethasone diberikan 4 kali, yakni dengan dosis 6 mg intramuskular untuk tiap pemberian, dengan jarak antar dosis 12 jam. Betamethasone lebih dianjurkan daripada dexamethasone karena risiko leukomalacia periventricular yang lebih rendah.[2,3]
Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik hanya direkomendasikan pada kasus ketuban pecah dini untuk mencegah terjadinya korioamnionitis dan sepsis neonatorum. Pemberian antibiotik tidak disarankan pada persalinan preterm tanpa ketuban pecah dini.[1,2]
Pemilihan Metode Persalinan
Salah satu pertimbangan dalam memutuskan metode persalinan adalah usia gestasi. Pada usia gestasi <24 minggu, pilihan metode persalinan adalah secara pervaginam karena tingkat kelangsungan hidup janin kecil. Pada usia gestasi antara 24-37 minggu, persalinan dapat dilakukan secara pervaginam atau secara SC (sectio caesarea). SC dilakukan bila ada indikasi seperti malpresentasi atau distress janin intrapartum.[2]
Persiapan Penanganan Bayi Prematur
Dokter harus mengantisipasi komplikasi yang sering dialami oleh bayi prematur. Bayi prematur berisiko mengalami hipotermia, distress pernapasan, dan hipoglikemia.
Persiapan Penanganan Hipotermia
Bayi prematur rentan mengalami hipotermia, sehingga pengaturan suhu ruangan persalinan harus dijaga antara 24°C±2°C. Upaya lain untuk mencegah hipotermi yaitu menghangatkan radiant warmer sebelum resusitasi, mengeringkan bayi, memberi topi, menginisiasi kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi, dan meletakkan bayi dalam isolet untuk mempertahankan suhu bayi. Bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah dapat dibungkus dengan plastik polietilen untuk mencegah hipotermia.[10,11]
Persiapan Penanganan Distress Pernapasan
Bayi prematur rentan mengalami distress pernapasan seperti penyakit membran hialin atau transient tachypnea of syndrome (TTN), sehingga penanganan memerlukan suatu tim yang kompeten dalam penilaian, resusitasi, dan stabilisasi bayi. Alat resusitasi seperti CPAP (continuous positive airway pressure), VTP (ventilasi tekanan positif), dan alat intubasi harus tersedia. Persiapan termasuk juga dengan ruangan NICU.[10]
Persiapan Penanganan Hipoglikemia
Nilai apakah ada hipoglikemia pada bayi yang lahir prematur. Inisiasi menyusui dimulai 1 jam segera setelah bayi lahir, lalu kadar glukosa dipantau 30 menit setelah inisiasi menyusui. Pertahankan kadar glukosa darah sewaktu >40 mg/dl pada 4 jam pertama kehidupan dan >45 mg/dL setelahnya. Pantau terus bayi sampai mendapatkan kadar glukosa darah normal dalam 3 pemeriksaan berturut-turut.[10]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda