Pendahuluan Plasenta Previa
Plasenta previa atau placenta previa adalah kondisi plasenta yang berimplantasi menutupi ostium internum serviks, sehingga menutupi jalan lahir. Plasenta previa dapat menyebabkan komplikasi berupa perdarahan antepartum dan perdarahan postpartum, yang mengakibatkan kematian ibu. Pada bayi, plasenta previa meningkatkan risiko kelahiran prematur, asfiksia, dan intrauterine fetal death.[1]
Plasenta previa dapat ditandai dengan perdarahan per vaginam, tanpa adanya rasa nyeri. Terkadang, plasenta previa bersifat asimtomatik. Faktor risiko timbulnya plasenta previa, antara lain pada riwayat sectio caesarea (SC), riwayat abortus, ibu yang berusia lanjut, multipara, serta pemakaian assisted reproductive technology (ART), misalnya bayi tabung.[1–3]
Diagnosis plasenta previa dapat ditegakkan menggunakan transvaginal sonography (TVS), pada usia kehamilan 32 minggu. Pada pasien asimtomatik, lakukan TVS ulang pada usia kehamilan 36 minggu untuk memastikan letak plasenta, dan menentukan metode persalinan. Pada plasenta previa, metode persalinan adalah dengan SC.[4]
Pada plasenta previa yang asimtomatik, tata laksana dapat berupa pasien dirawat di rumah, dan direncanakan persalinan secara SC pada usia kehamilan 36–37 minggu. Pasien plasenta previa dengan perdarahan memerlukan perawatan di rumah sakit. Lakukan stabilisasi hemodinamik dengan resusitasi cairan, dan transfusi darah, bila perlu. Selain itu, dapat diberikan tokolitik, misalnya nifedipin, dan kortikosteroid antenatal jika persalinan preterm diprediksi akan terjadi dalam 7 hari.[4,5]
Prognosis plasenta previa relatif kurang baik, karena berhubungan dengan peningkatan risiko persalinan preterm. Namun, 90% plasenta letak rendah dapat bermigrasi dan mengalami resolusi pada trimester 3.[3,6]
Edukasi plasenta previa terutama ditujukan untuk pasien yang dirawat di rumah. Pasien perlu mengetahui tanda-tanda bahaya, seperti perdarahan atau spotting, dan nyeri perut, sehingga dapat segera pergi ke rumah sakit. Selain itu, edukasi juga diberikan mengenai cara mencegah perdarahan, seperti dengan tidak berhubungan seksual dan menghindari aktivitas fisik sedang atau berat.[4,5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra