Epidemiologi Dakriostenosis
Epidemiologi dakriostenosis kongenital dilaporkan sekitar 6‒20% dari bayi baru lahir. Sementara itu dakriostenosis didapat primer dilaporkan dominan terjadi pada perempuan usia >40 tahun, sedangkan insidensi dakriostenosis didapat sekunder adalah 20,24 per 100.000 penduduk.[3,4]
Global
Berdasarkan etiologinya, dakriostenosis dibedakan menjadi dakriostenosis kongenital dan didapat (acquired). Selanjutnya, dakriostenosis didapat dibedakan menjadi primer dan sekunder, di mana penyebab primer tidak diketahui atau idiopatik.
Epidemiologi Dakriostenosis Kongenital
Dakriostenosis kongenital dapat ditemukan pada 6-20% bayi. Angka resolusi spontan mencapai 70% pasien di usia 3 bulan dan 90% di usia 1 tahun. Penelitian cohort di Britania Raya terhadap 4.792 bayi melaporkan prevalensi dakriostenosis sebesar 20% di usia <1 tahun dan sekitar 95% dari populasi menunjukkan gejala-gejala dakriostenosis di usia 1 bulan. Pada pasien yang masih mengalami gejala dakriostenosis di usia 6-10 bulan, 2/3 mengalami resolusi dalam jangka waktu 6 bulan.[3,14]
Dakriostenosis kongenital dapat ditemukan pada laki-laki dan perempuan, dengan jumlah kasus hampir sama. Tidak ada kecenderungan ras tertentu yang mengalami dakriostenosis. Bayi dengan kelainan trisomi 21, sindroma ectrodactyly-ectodermal dysplasia-cleft lip/palate, sindroma brankiookulofasial, sindroma CHARGE (coloboma, heart anomaly, choanal atresia, retardasi mental, genital-ear anomalies), dan sindroma Goldenhar memiliki risiko lebih tinggi mengalami dakriostenosis.[3]
Epidemiologi Dakriostenosis Didapat
Berbeda dengan dakriostenosis kongenital, dakriostenosis didapat primer dominan terjadi pada perempuan usia >40 tahun. Insidensi tertinggi dilaporkan pada penduduk usia 50‒70 tahun. Insidensi dakriostenosis didapat sekunder adalah 20,24 per 100.000 penduduk.[4,9]
Dakriostenosis dominan terjadi unilateral, dakriostenosis bilateral dapat ditemukan pada 20% kasus. Pada pasien yang tidak responsif terhadap tindakan probing, sekitar 35% mengalami dakriostenosis, 15% agenesis pungtum, 10% memiliki fistula kongenital, dan 5% mengalami defek kraniofasial.[3,14]
Indonesia
Tidak ada data epidemiologi khusus mengenai dakriostenosis di Indonesia.
Mortalitas
Dakriostenosis tidak menyebabkan kematian secara langsung. Namun, stasis air mata merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri sehingga dapat menyebabkan infeksi, termasuk dakriosistitis yang dapat menyebar menjadi selulitis, meningitis, atau sepsis.[3]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini