Diagnosis Kanker Kolorektal
Diagnosis kanker kolorektal diawali dengan kecurigaan berdasarkan keluhan perdarahan gastrointestinal, benjolan di anus, dan perubahan pola buang air besar (BAB). Konfirmasi diagnosis memerlukan pemeriksaan penunjang kolonoskopi dan radiologi. Deteksi dini akan memperbaiki prognosis pasien dan menurunkan mortalitas.[1]
Anamnesis
Pasien kanker kolorektal bisa datang dengan keluhan perdarahan gastrointestinal, adanya benjolan di anus, atau perubahan pola buang air besar (BAB). Identifikasi red flags tinja berdarah dapat membantu dokter mengarahkan kecurigaan terhadap kanker kolorektal. Diare kronis umumnya mengindikasikan kanker di kolon asendens, sedangkan gejala obstruksi seperti konstipasi dan bentuk feses abnormal mengindikasikan kanker di kolon desendens.[6,10]
Gejala lain yang dapat muncul adalah gejala umum kanker, seperti lemah, penurunan berat badan, atau nyeri perut. Pasien kanker kolorektal umumnya berusia >40‒50 tahun. Apabila kanker terjadi pada pasien usia lebih muda, maka gejala yang muncul seringkali tidak khas.[6]
Faktor risiko yang perlu ditanyakan di antaranya riwayat polip adenomatosa, inflammatory bowel disease (IBD), dan riwayat kanker kolorektal pada keluarga. Gaya hidup juga perlu digali lebih lanjut, termasuk kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik.[1]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik generalisata, dapat ditemukan penurunan berat badan pada pasien. Pasien bisa tampak pucat karena anemia akibat perdarahan samar kronis atau anemia defisiensi besi. Terkadang bisa didapatkan nyeri tekan abdomen, massa pada palpasi abdomen, ataupun ascites.
Pada digital rectal examination, bisa ditemukan benjolan pada anus, perdarahan pada rektum, dan gangguan tonus sfingter ani.[1,6]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding kanker kolorektal yang perlu dipertimbangkan adalah karsinoma usus kecil, limfoma gastrointestinal, inflammatory bowel disease, dan divertikulitis.
Karsinoma Usus Kecil
Karsinoma usus kecil merupakan penyakit yang lebih jarang bila dibanding kanker kolorektal. Gejala umum mirip dengan kanker kolorektal yaitu lemah dan penurunan berat badan. Pasien juga bisa mengalami perdarahan gastrointestinal yang samar dan perubahan pola defekasi.
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakan diagnosis adalah CT scan atau MRI abdomen, karena endoskopi atau kolonoskopi hanya dapat menilai bagian proksimal atau distal usus saja.[11]
Limfoma Gastrointestinal
Limfoma gastrointestinal merupakan bagian dari limfoma ekstranodal, membentuk 5‒20% dari karsinoma yang banyak terjadi di lambung dan usus kecil. Limfoma gastrointestinal memiliki gejala yang tidak khas seperti mual, nyeri ulu hati, atau benjolan di bagian perut atas. Untuk membedakan limfoma gastrointestinal dengan kanker kolorektal, dapat dilakukan endoskopi dan pemeriksaan histopatologi.[12]
Inflammatory Bowel Disease
Inflammatory bowel disease (IBD) memiliki gejala lokal dan umum yang mirip dengan kanker kolorektal, seperti diare atau gejala obstruktif, buang air besar berdarah, nyeri perut, lemah, dan penurunan berat badan. Untuk membedakan dengan kanker kolorektal, dapat dilakukan kolonoskopi dan pemeriksaan histopatologi.[13]
Divertikulitis Usus Kecil
Divertikulitis merupakan peradangan pada benjolan berbentuk saku yang muncul di permukaan usus. Gejala awal yang muncul umumnya tidak spesifik, seperti nyeri ulu hati dan kembung. Apabila penyakit berkembang, pasien dapat mengalami perdarahan saluran cerna dan anemia, obstruksi saluran cerna, mual, dan muntah. CT scan atau rontgen abdomen dapat dilakukan untuk membedakan divertikulitis dengan kanker kolorektal.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berperan penting dalam mengonfirmasi diagnosis kanker kolorektal. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain endoskopi, barium enema dengan kontras ganda, dan CT colonography. Beberapa pemeriksaan darah juga sudah diteliti akurasi diagnostiknya untuk skrining kanker kolorektal.[1]
Endoskopi
Endoskopi adalah prosedur diagnostik yang dianjurkan untuk menunjang diagnosis kanker kolorektal. Prosedur yang direkomendasikan adalah sigmoidoskopi karena >35% tumor terletak di sigmoid, atau kolonoskopi total. Kolonoskopi memiliki keuntungan yaitu tingkat sensitivitas untuk diagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%, serta dapat digunakan sebagai alat diagnostik (biopsi) dan terapi (polipektomi).
Kolonoskopi juga mampu mengidentifikasi dan melakukan reseksi synchronous polyp, serta tidak memaparkan pasien pada radiasi. Kekurangan kolonoskopi adalah 5-30% prosedur dilaporkan tidak dapat mencapai sekum. Selain itu, sering kali prosedur ini membutuhkan sedasi intravena dan terdapat risiko lokalisasi tumor tidak akurat.
Pedoman Kementrian Kesehatan Indonesia merekomendasikan kolonoskopi dilakukan pada semua kasus yang dicurigai kanker kolorektal. Apabila kolonoskopi tidak dapat dilakukan, maka tindakan yang disarankan adalah sigmoidoskopi dilanjutkan dengan barium enema kontras ganda.[14]
Barium Enema dengan Kontras Ganda
Pedoman Kementrian Kesehatan menyarankan pemeriksaan barium enema dengan kontras ganda untuk mendiagnosis kanker kolorektal. Pemeriksaan ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu sensitivitas berkisar 65‒95%, tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi, tidak memerlukan sedasi, dan telah tersedia hampir di seluruh rumah sakit.[14]
Namun, perlu diketahui bahwa pemeriksaan ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu kurang dapat mendeteksi lesi T1, akurasi dilaporkan rendah dalam mendiagnosis lesi di rektosigmoid dengan divertikulosis dan di sekum, sering tidak mendeteksi lesi tipe datar dan polip yang berukuran <1 cm, dan pasien terpapar radiasi.[1]
CT Colonography
Tidak semua rumah sakit bisa melakukan pemeriksaan ini. Alat CT scan harus memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering agar bisa melakukan CT colonography. CT colonography dilaporkan memiliki sensitivitas baik untuk mendiagnosis kanker kolorektal, serta memiliki profil keamanan dan tolerabilitas yang baik.
Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi keadaan di luar kolon, sehingga mampu menentukan stadium, invasi lokal, metastasis hepar, serta kelenjar getah bening. Namun, modalitas pemeriksaan ini tidak dapat mendiagnosis polip <10 mm, memaparkan pasien pada radiasi, tidak dapat menetapkan atau menyingkirkan metastasis pada kelenjar getah bening jika tidak didapatkan pembesaran, serta tidak mampu melakukan biopsi ataupun polipektomi.[1]
Pemeriksaan Molekuler
Pemeriksaan molekuler belum dilakukan secara rutin, tetapi dapat bermanfaat dalam menentukan arah terapi kanker kolorektal berdasarkan mutasi atau perubahan genetik penyebab kanker. The American Society for Clinical Pathology, the College of American Pathologists (CAP), the Association for Molecular Pathology, and the American Society of Clinical Oncology (ASCO) merekomendasikan pemeriksaan mutasi RAS (termasuk KRAS dan NRAS), serta analisis mutasi BRAF V600 dengan instabilitas mikrosatelit (MSI) untuk menentukan prognosis penyakit.[6-8]
Penentuan Stadium Kanker Kolorektal
TNM staging merupakan sistem penetapan stadium kanker kolorektal berdasarkan standar internasional. T menggambarkan tumor primer, N menggambarkan keterlibatan nodus limfatik, dan M menggambarkan metastasis.[1,6,14]
Penentuan stadium kanker kolorektal adalah:
- Stadium 0: Tis N0 M0
- Stadium I: T1N0M0, T2N0M0
- Stadium IIA: T3N0M0
- Stadium IIB: T4aN0M0
- Stadium IIC: T4bN0M0
- Stadium IIIA: T1-2 N1/N1c M0; T1N2aM0
- Stadium IIIB: T3-T4a N1/N1c M0; T2-T3 N2a M0; T1-T2N2bM0
- Stadium IIIC: T4aN2aM0; T3-T4a N2b M0; T4b N1-N2 M0
- Stadium IVA: T apa saja, N apa saja, dengan M1a
- Stadium IVB: T apa saja, N apa saja, M1b
- Stadium IVC: T apa saja, N apa saja, M1c [1,14]
Tabel 1. Penentuan Tumor Primer (T)
TX | Tumor primer tidak dapat dinilai |
T0 | Tidak terdapat tumor primer |
Tis | Carcinoma in situ: intraepitel atau invasi lamina propria |
T1 | Tumor menginvasi submukosa |
T2 | Tumor menginvasi muscularis propria |
T3 | Tumor menginvasi muscularis propria ke jaringan kolorektal. |
T4a | Tumor berpenetrasi ke permukaan peritoneum |
T4b | Tumor secara langsung menginvasi atau menempel ke organ atau struktur lain |
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan, 2018.[14]
Tabel 2. Penentuan Keterlibatan Kelenjar Getah Bening (N)
NX | Nodus limfatik regional tidak dapat dinilai |
N0 | Tidak ada metastasis nodus limfatik regional |
N1 | Metastasis di 1‒3 nodus limfatik regional |
N1a | Metastasis di 1 nodus limfatik regional |
N1b | Metastasis di 2‒3 nodus limfatik regional |
N1c | Tumor terdeposit di jaringan subserosa, mesenteri, atau jaringan perirektal tanpa metastasis nodus regional |
N2 | Metastasis di >4 nodus limfatik regional |
N2a | Metastasis di 4‒6 nodus limfatik regional |
N2b | Metastasis di >7 nodus limfatik regional |
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan, 2018.[14]
Tabel 3. Penentuan Metastasis (M)
M0 | Tidak ada metastasis jauh |
M1 | Terdapat metastasis jauh |
M1a | Metastasis di 1 organ atau tempat |
M1b | Metastasis di >1 organ atau tempat atau perineum |
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan, 2018.[14]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini