Patofisiologi Sarkoidosis
Patofisiologi terjadinya sarkoidosis melibatkan akumulasi sel inflamasi mononukleus terutama limfosit, khususnya T-helper (Th) dan pembentukan granuloma serta makrofag pada organ yang terkena. Proses tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada struktur vital suatu organ dan menyebabkan disfungsi pada organ yang terlibat.
Sarkoidosis adalah penyakit multisistem yang melibatkan paru-paru pada 90% kasus. Penyakit ini dapat memengaruhi setiap area paru-paru, dengan daerah yang paling rentan terkena adalah lobus atas dan berkas bronkovaskular.[2-4]
Sarkoidosis juga menyebabkan respons imunitas yang berlebihan terhadap berbagai antigen, termasuk antigen-diri, sehingga menyebabkan proliferasi dan aktivasi berlebihan dari limfosit T.[4]
Pembentukan Granuloma
Interaksi antigen-presenting dendritic cells (DCs) dengan sel T CD4+ diperlukan dalam pembentukan granuloma. Granuloma terbentuk dari agregat fagosit mononukleus yang dikelilingi oleh makrofag yang akan berdiferensiasi menjadi sel epiteloid yang kemudian berfusi membentuk sel raksasa yang berinti banyak (multinucleated giant cells).[3,4,6]
IL-12 dan IL-18 juga bekerja secara sinergis untuk mendorong pembentukan granuloma sarkoid melalui peningkatan ekspresi reseptor IL-18 pada sel T helper CD4+. Sel T helper CD4+ menyebar di dalam granuloma sedangkan sel T helper CD8+, sel T regulator, fibroblast, dan sel B berada melindungi lapisan perifer. Pada granuloma juga dapat ditemukan badan Schaumann dan badan asteroid, meski tidak spesifik.[3,4,6]
Reaksi Imun dari Sel Dendritik
Peptida yang merupakan derivat vimentin dapat berperan sebagai antigen yang mengaktivasi sel T. Vimentin merupakan protein yang membentuk filamen intermediet. Peptida derivat vimentin juga merupakan kandidat yang paling berperan dalam aktivasi sel T dan sel B pada organ paru-paru. Reseptor dari sel T yang bersifat spesifik akan memfiksasi peptida dengan permukaan kompleks antigen MHC (major histocompatibility complex) melalui CD28 yang berperan sebagai molekul sinyal kostimulator pada sel T.[3,7,8]
Sel dendritik juga menyekresikan interleukin-12 (IL-12) yang merupakan sitokin polarisasi. Dengan bantuan STAT4, IL-12 memfasilitasi ekspresi IFN𝛾 yang mengikat reseptor IFN dan merangsang STAT1 yang mempromosikan ekspresi gen Tbx21.
Kondisi tersebut akan memperkuat respons sel T CD4+ terhadap IL-12 dan menghambat produksi IL-4 dan IL-13 (sitokin yang memfasilitasi respons fibroproliferatif), sehingga sel dendritik berperan dalam memfasilitasi reaksi imun sarkoid dan menimbulkan respons imun yang berlebihan.[3,4,8]
Peran Interferon Gamma (IFN𝛾)
Produksi IFN𝛾 menghambat ekspresi sitokin imunosupresif yaitu IL-10 yang akan menghambat pelepasan TNF𝛼, IL-12, dan matrix metalloproteinase (MMP) dari sel dendritik. Proses ini menyebabkan peningkatan produksi TNF𝛼, IL-12, dan MMP serta menginduksi peningkatan produksi chemokine (C-X-C motif) ligand 9 (CXCL-9), CXCL-10, dan CXCL-11.[2,3,4,10]
MMP menyebabkan kerusakan paru-paru dan fibrosis. Kemokin menarik lebih banyak sel T dan sel myeloid ke dalam sel ataupun organ yang mengalami inflamasi. Selain itu, peningkatan TNF𝛼 dan penurunan ekspresi IL-10 menyebabkan sel dendritik membentuk loop inflamasi yang berlebihan.[2,3,4,10]
Akumulasi Sel-Sel Inflamasi
Akumulasi sel-sel inflamasi seperti sel inflamasi mononukleus terutama limfosit T (Th) bersama dengan granuloma, kumpulan makrofag dan progeninya, sel epiteloid, serta giant cell yang berinti banyak akan menyebabkan modifikasi pada arsitektur struktur vital pada jaringan maupun organ yang terkena.[2-4]
Akumulasi sel-sel tersebut juga dapat menyebabkan disfungsi organ. Seperti pada organ paru-paru, di mana sel-sel inflamasi dapat menyebabkan distorsi dinding alveolus, bronkus, dan vaskular, sehingga dapat menyebabkan gangguan fungsi penting paru-paru dalam pertukaran gas dan dapat menimbulkan insufisiensi pernapasan.[2,3,4,10]