Penatalaksanaan Sarkoidosis
Tujuan penatalaksanaan sarkoidosis terfokus pada memperbaiki gejala, menyupresi inflamasi, mengurangi dampak granuloma, serta mencegah perkembangan fibrosis paru. Tidak semua pasien sarkoidosis memerlukan penatalaksanaan karena umumnya kondisi ini akan membaik dengan spontan.
Keputusan untuk penatalaksanaan pasien sarkoidosis didasarkan pada perkembangan penyakit yang dibuktikan dengan sesak napas dan memburuknya status fungsional, seperti yang ditentukan oleh uji fungsi paru. Sarkoidosis yang memengaruhi mata, jantung, atau ginjal perlu dirawat, bahkan ketika gejalanya ringan karena potensi risiko komplikasi yang serius.[1-5]
Penatalaksanaan pada sarkoidosis adalah terapi farmakologi pilihan yaitu pemberian medikasi golongan kortikosteroid atau obat imunosupresan, seperti methotrexate untuk kasus yang refrakter. Terapi suportif dapat diberikan pada pasien sarkoidosis yang mengalami komplikasi berat, sedangkan terapi pembedahan dengan transplantasi paru-paru dapat dilakukan pada sarkoidosis pulmonal stadium berat.[1-5,21]
Farmakoterapi
Kortikosteroid oral merupakan pengobatan lini pertama untuk sarkoidosis. Untuk pasien yang tidak mentoleransi atau merespon kortikosteroid, agen imunosupresif atau imunomodulator lainnya, seperti methotrexate, mungkin bermanfaat.
Kortikosteroid
Kortikosteroid telah terbukti dapat meredakan gejala dan memulihkan disfungsi organ, tetapi risiko penggunaan kortikosteroid harus tetap dipertimbangkan.[1,4,5,35] Terapi kortikosteroid dengan prednisone dimulai dengan 0,5-0,75 mg/KgBB atau dosis alternatif pemberian prednisone 20 mg setiap hari selama 4 minggu dan diturunkan 10 mg setiap 4 minggu, tergantung pada respon penyakit.[1,3,5,21,36]
Ketika fungsi paru pada sarkoidosis telah membaik, terapi dapat dihentikan. Pada sarkoidosis dengan manifestasi klinis ringan, seperti lesi kulit, uveitis anterior, atau batuk, pengobatan kortikosteroid tetap harus dimulai. Pasien sarkoidosis kronis sering membutuhkan pengobatan jangka panjang dengan penggunaan kortikosteroid selama lebih dari 5 tahun.[1,3,5,35]
Methotrexate dan Kortikosteroid Alternatif Lain
Pada pasien sarkoidosis yang memiliki intoleransi terhadap terapi kortikosteroid, seperti pada pasien osteoporosis, atau sulit mengontrol diabetes mellitus, mengalami kenaikan berat badan yang berlebihan, serta pada pasien yang tidak berespons terhadap terapi kortikosteroid selama minimal 3 bulan, terapi alternatif harus dipertimbangkan.
Terapi imunosupresif nonglukokortikoid yang paling umum digunakan untuk pengobatan sarkoidosis adalah methotrexate, pemberian secara oral atau injeksi subkutan. Dosis oral awal adalah 5-7,5 mg setiap minggu, dengan peningkatan bertahap sebesar 2,5 mg setiap 2 minggu sampai dosis 10-15 mg per minggu. Namun, methotrexate tidak dapat digunakan pada pasien dengan penyakit hati.
Alternatif lain sebagai terapi lini kedua meliputi azathioprine dengan dosis 50–200 mg/ hari dan mycophenolate dengan dosis 500–3,000 mg/ hari.[1,5,37,49,50]
Agent Investigasional
Beberapa obat lain telah digunakan dalam praktik klinis dalam manajemen sarkoidosis. Namun, karena kurangnya data efektivitas yang mendukungnya, agen tersebut hari digunakan dengan hati-hati. Agen tersebut antara lain obat antimalaria, yaitu hydroxychloroquine dengan dosis 200–400 mg/ hari dan antibodi monoklonal, seperti tocilizumab, golimumab, dan rituximab.[49,50,51,52]
Terapi Suportif
Terapi suportif pada sarkoidosis diperlukan bagi pasien dengan komplikasi kritis seperti insufisiensi pernapasan yang dapat menyebabkan gagal napas dan adanya gangguan aritmia serta gagal jantung kongestif yang dapat menyebabkan syok kardiogenik maupun cardiac arrest.[1,21,30]
Pasien dengan komplikasi berat membutuhkan perawatan di ruang Intensive Care Unit (ICU). Manajemen suportif berupa pemberian cairan dan elektrolit, penggunaan ventilator, pemberian obat antiaritmia, maupun vasopressor bila dibutuhkan.[21,30,31]
Terapi Pembedahan
Transplantasi paru merupakan terapi pilihan untuk pasien sarkoidosis pulmonal dengan advanced lung disease seperti fibrosis paru yang luas, hipertensi pulmonal, dan bronkiektasis purulen yang berkembang menjadi insufisiensi pernapasan.[2,38]
Transplantasi paru pada pasien tersebut perlu dipertimbangkan ketika kapasitas vital paksa prediksi turun di bawah 50% dan atau volume ekspirasi paksa prediksi dalam 1 detik turun di bawah 40%. Meskipun rekurensi granuloma pada paru-paru yang ditransplantasikan dapat terjadi, namun hal ini jarang memiliki dampak yang signifikan pada fungsi allograft paru atau kelangsungan hidup pasien.[2,38]