Diagnosis Flat Foot
Diagnosis flat foot atau pes planus perlu dicurigai pada pasien yang mengalami nyeri kaki yang progresif dan memberat ketika memikul beban. Pemeriksaan fisik dapat menemukan lengkung longitudinal medial yang menurun saat berdiri, gangguan fleksibilitas kaki, serta nyeri sepanjang tendon posterior tibia. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan untuk menilai penyebab yang mendasari timbulnya flat foot, misalnya tarsal coalition.[1-3]
Anamnesis
Pada anamnesis pasien dengan flat foot, keluhan utama yang sering disampaikan adalah nyeri pada bagian medial kaki, yang dapat menyebar ke pergelangan kaki dan betis.[1,4,5]
Nyeri Kaki
Pasien mungkin mengeluhkan rasa tidak nyaman atau nyeri yang memburuk setelah aktivitas berat atau berdiri dalam waktu lama. Kelelahan pada kaki juga merupakan keluhan umum, terutama setelah berjalan atau berlari dalam jarak yang jauh.
Pasien dengan disfungsi tendon posterior tibia sering melaporkan nyeri yang lebih tajam atau kronis di sekitar area tendon posterior tibia. Pasien juga bisa merasakan kesulitan atau ketidakmampuan untuk berdiri berjinjit pada satu kaki, yang merupakan tanda klasik dari disfungsi tendon tersebut. Selain itu, perubahan bentuk kaki, seperti peningkatan pronasi atau hilangnya lengkung longitudinal medial saat berdiri, sering dilaporkan.[1,2,4,5]
Faktor Risiko
Jika flat foot muncul akibat trauma, anamnesis dapat mengungkap riwayat cedera pada kaki atau pergelangan kaki, seperti fraktur atau cedera ligamen, yang diikuti oleh perkembangan flat foot. Pasien dengan riwayat neuropati atau penyakit sistemik seperti diabetes juga dapat melaporkan gejala ketidaknyamanan pada kaki yang muncul secara bertahap.
Pasien dengan kondisi genetik seperti sindrom Down, sindrom Marfan, atau Ehlers-Danlos biasanya melaporkan riwayat keluarga dengan masalah kaki serupa dan gejala kelemahan atau instabilitas pada persendian lain. Pada wanita hamil, flat foot bisa muncul selama kehamilan, tetapi seringkali membaik setelah melahirkan.[1,2,4,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara berdiri dan duduk. Hal yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan fisik adalah inspeksi, palpasi, evaluasi cara berjalan, pemeriksaan range of motion, dan tes kekuatan otot pada kedua kaki.[1,5]
Inspeksi
Saat inspeksi dalam posisi berdiri, pemeriksa dapat melihat dan membandingkan kedua kaki, kemudian mengevaluasi keadaan kaki dengan beban dan tanpa beban. Saat melihat posisi kaki dari belakang, pemeriksa dapat menemukan posisi tumit yang bergeser ke luar dan menunjukkan beberapa jari kaki (tanda too many toes).[1,5]
Pemeriksa kemudian meminta pasien berdiri pada satu kaki yang bermasalah dan mencoba mengangkat tumitnya. Pasien dengan flat foot tidak mampu melakukan inversi tumit sehingga kontraksi otot posterior tibia dan kompleks gastrocnemius-soleus tidak terjadi, akibatnya pasien akan kehilangan keseimbangan dan kesulitan mempertahankan posisi. Tes ini dinamakan single leg heel raise test atau toe raise. Pemeriksa juga dapat meraba dan merasakan ketegangan pada kompleks otot gastrocnemius-soleus.[1,7]
Palpasi
Pada posisi duduk, pemeriksa melakukan palpasi pada kedua kaki. Pemeriksa mungkin menemukan pembengkakan atau nyeri pada salah satu kaki, apabila diisi cairan akan disertai undulasi. Palpasi dilakukan pada seluruh tendon posterior tibia hingga sinus tarsi dan fibular distal. Tes kekuatan tendon posterior tibia dilakukan dengan menahan forefoot dalam posisi plantarfleksi dan eversi, kemudian meminta pasien melakukan inversi kaki.[1,2]
Pemeriksaan Range of Motion
Pemeriksaan range of motion (ROM) pada pasien dengan flat foot berperan untuk mengevaluasi fleksibilitas dan fungsi sendi kaki. Pemeriksaan ROM mencakup evaluasi dorsifleksi, plantarfleksi, inversi, dan eversi pergelangan kaki serta gerakan pada sendi subtalar dan midfoot. Keterbatasan dalam ROM, terutama dorsifleksi pergelangan kaki, dapat menunjukkan adanya kontraktur otot atau tendon.
Manuver Hubscher, juga dikenal sebagai tes Jack, adalah salah satu pemeriksaan yang digunakan untuk menilai fleksibilitas arkus longitudinal medial kaki. Pada manuver ini, pasien diminta berdiri, dan dokter secara pasif mengangkat hallux ke arah dorsum (dorsifleksi). Jika lengkung medial kaki naik saat ibu jari diangkat, hal ini menandakan bahwa flat foot bersifat fleksibel.[2]
Tes Silfverskiöld
Tes Silfverskiöld digunakan untuk mengevaluasi kontraktur otot gastrocnemius dan perbedaannya dengan kontraktur tendon Achilles, yang mana kedua kondisi tersebut bisa menyebabkan flat foot. Pada tes ini, pasien diminta untuk berbaring telentang dengan lutut dalam posisi ekstensi penuh dan kemudian dalam posisi fleksi sekitar 90 derajat.
Minta pasien melakukan dorsifleksi pada pergelangan kaki dalam kedua posisi tersebut. Jika dorsifleksi meningkat saat lutut ditekuk, ini mengindikasikan kontraktur gastrocnemius, karena otot gastrocnemius melewati sendi lutut dan meregang lebih panjang saat lutut lurus. Sebaliknya, jika tidak ada perubahan signifikan dalam dorsifleksi antara kedua posisi, kontraktur kemungkinan disebabkan oleh tendon Achilles.[1,4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada kasus pasien yang mengalami nyeri kaki adalah plantar fasciitis dan adanya neoplasma pada arkus plantar.[2,3,16]
Plantar Fasciitis
Pada plantar fasciitis, nyeri biasanya terfokus pada tumit, khususnya pada bagian medial tumit. Nyeri biasanya dirasakan paling berat pada langkah pertama di pagi hari atau setelah periode istirahat. Nyeri dapat berkurang dengan aktivitas tetapi kembali memburuk setelah aktivitas berkepanjangan.
Untuk membedakan dari flat foot, pada plantar fasciitis, tekanan pada area medial tumit biasanya menyebabkan nyeri yang tajam. Nyeri dapat diperburuk dengan dorsifleksi jari-jari kaki (tes Windlass). Lengkung kaki mungkin normal atau menurun, tetapi keluhan utama adalah nyeri pada tumit.[16]
Neoplasma pada Arkus Plantar
Beberapa kondisi neoplasma yang mempengaruhi bentuk dari arkus plantar tampak seperti flat foot. Contoh dari kondisi ini adalah fibroma plantar, giant cell tumor of tendon sheath, lipoma, atau kelainan dari tulang. Pada umumnya, pemeriksaan fisik yang teliti dan pencitraan akan menyingkirkan diagnosis banding ini.[2,3]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting dilakukan adalah pemeriksaan rontgen kaki anteroposterior dan lateral dengan beban, rontgen kaki saat berdiri, dan Saltzman view. Pencitraan lain yang dapat dilakukan adalah MRI dan CT scan.
Rontgen
Rontgen yang dilakukan adalah rontgen kaki anteroposterior dan lateral dengan beban, rontgen polos saat berdiri, serta Saltzman view. Pada gambaran anteroposterior, temuan yang menandakan flat foot adalah peningkatan sudut talo-metatarsal pertama hingga 16° dan sudut talonavicular >20°. Sudut inkongruensi talar yang menilai abduksi dari forefoot juga bisa digunakan, di mana >50° mengindikasikan flat foot.
Sudut Meary diukur melalui pemeriksaan rontgen lateral dengan beban. Sudut ini akan meningkat pada kondisi flat foot hingga melebihi 20°. Rontgen posisi berdiri dapat menunjukkan artritis pergelangan kaki dan perubahan posisi talar. Pemeriksa juga dapat menilai kelainan lain pada kaki, misalnya tanda klinis riwayat trauma atau deformitas.[7,8]
CT scan
CT scan dapat membantu mengidentifikasi deformitas pada kaki, misalnya pada sendi talonavicular atau naviculocuneiformis. CT scan juga secara lebih jelas menggambarkan subluksasi, artritis, atau jepitan pada lateral talus atau anterior calcaneus. Namun pada fase awal, CT scan kurang membantu dalam menegakkan diagnosis dan tidak rutin dilakukan.[1,7]
MRI
Kondisi patologis dari jaringan lunak akan lebih jelas terlihat melalui pemeriksaan MRI, misalkan pada gangguan ligamen spring dan ligamen deltoid. MRI juga bisa menunjukkan adanya pembengkakan pada tulang akibat jepitan dari talus lateral dan anterior calcaneus. Karena biaya yang mahal dan tidak tersedia pada seluruh fasilitas pelayanan kesehatan, MRI tidak rutin dilakukan dan hanya diperlukan apabila tampilan klinis pasien meragukan.[1,7]
Stadium Flat Foot
Berdasarkan temuan pemeriksaannya, adult acquired flat foot deformity (AAFD) dapat dibagi menjadi 4 stadium. Stadium ini dapat digunakan untuk menentukan penanganan yang sesuai bagi pasien.
Pasien stadium 1 memiliki gejala ringan dan pemeriksaan penunjang tidak menunjukkan kelainan signifikan. Stadium ini bisa diterapi dengan analgesik, imobilisasi, maupun penggunaan brace. Di sisi lain, pasien stadium 4 sudah mengalami deformitas bermakna, dan umumnya akan memerlukan intervensi bedah.[7]
Tabel 1. Stadium Flat Foot
Stadium | Deformitas | Pemeriksaan Penunjang | Tata Laksana |
I | Paling ringan. Pada pasien didapatkan tenosinovitis atau tendinosis, namun tidak berat. Pasien masih dapat mengangkat tumit dan berdiri pada 1 kaki.
| Normal | Konservatif: analgesik, imobilisasi, pemakaian brace |
Pembedahan: tenosinovektomi, repair tendon, osteotomi calcaneus medial | |||
IIA | Eversi hindfoot, deformitas fleksibel
| Sudut talonavicular uncoverage <30° | Osteotomi calcaneus medial |
IIB | Degenerasi dan pemanjangan tendon posterior tibia, abduksi forefoot | Sudut talonavicular uncoverage >30° | Transfer tendon, rekonstruksi ligamen spring, artroereisis subtalar, pemanjangan tendon Achilles atau kolumna lateralis |
III | Deformitas rigid, kerusakan pada tendon posterior tibia, nyeri pada lateral | Tampak perubahan degeneratif | Fusi talonavicular, fusi subtalar, fusi calcaneocuboid |
IVA | Deformitas fleksibel, valgus tibotalar | Perubahan kemiringan lateral dari talar dengan atau tanpa artritis pergelangan kaki | Osteotomi calcaneus medial, pemanjangan columna lateralis |
IVB | Deformitas rigid, valgus tibotalar | Double/triple arthrodesis, rekonstruksi ligamen deltoid, total ankle arthroplasty, fusi pergelangan kaki, pemanjangan tendon Achilles |
Sumber: dr. Adrian Prasetio, Alomedika, 2024.[7]