Epidemiologi Spine Curvature Disorder
Data epidemiologi spine curvature disorder berbeda pada setiap negara dan ras, karena variasi genetik yang berbeda. Prevalensi skoliosis lebih tinggi dibandingkan kifosis dan lordosis. Di Indonesia terdapat data mengenai adult scoliosis idiopathic yang melaporkan faktor risiko yang terkait adalah jenis kelamin wanita.[2,3]
Global
Prevalensi dari kelainan kelengkungan tulang belakang berbeda pada setiap negara berdasarkan ras dan variasi genetik populasi tersebut. Berdasarkan data di Amerika, prevalensi terjadinya skoliosis lebih tinggi dibandingkan kifosis dan lordosis.
Pada studi yang dilakukan di Cina pada 6824 anak, terdapat 442 anak dengan skoliosis. Berdasarkan studi ini, didapatkan skoliosis lebih banyak ditemukan pada anak perempuan dibandingkan laki-laki.
Skoliosis juga dapat dipengaruhi oleh usia; berdasarkan studi di Jepang pada 3424 anak, dilaporkan prevalensi skoliosis pada anak perempuan meningkat dari 0.78% pada usia 11-12 tahun dan 2.51% pada anak usia 13-14 tahun. Jenis dari skoliosis yang paling sering adalah skoliosis tipe toraks dan thorakolumbar.[3,16,30]
Indonesia
Studi mengenai prevalensi dan insiden terjadinya spine curvature disorder masih sangat terbatas di Indonesia. Namun, berdasarkan sebuah studi observasional terhadap 621 penderita skoliosis idiopatik remaja / adolescent idiopathic scoliosis (AIS) di Jakarta, sebanyak 87,1% penderita AIS adalah wanita dengan rata-rata usia 14 tahun. Pada studi ini juga tercatat lebih dari 50% penderita memiliki Cobb angle lebih besar dari 40o . Penderita umumnya melakukan kunjungan ke poli spesialis bila derajat kelengkungan mencapai 21-30o.[31]
Mortalitas
Mortalitas dari pasien spine curvature disorder umumnya terjadi akibat komplikasi yang melibatkan kardiopulmonal. Menurut sebuah studi, pasien dengan kelengkungan lebih dari 110o dapat memiliki fungsi paru hanya 40%, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya kematian akibat gagal nafas. Hal ini berkaitan dengan awal munculnya deformitas tersebut, awitan awal sejak lahir dapat memperburuk risiko terjadinya komplikasi gagal nafas pada pasien.[12,22]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja