Patofisiologi Amebiasis
Patofisiologi amebiasis, dikenal juga sebagai amubiasis, amoebiasis, atau disentri ameba, berkaitan dengan infeksi protozoa Entamoeba histolytica, transmisi parasit, dan respon imun pejamu. Patogenesis E. histolytica terdiri dari 3 tahapan, yaitu kematian sel pejamu, inflamasi, dan proses invasi.[3,4]
Reaksi Infeksi Protozoa E. histolytica
Pada tahapan pertama, parasit akan melakukan penempelan atau adherens dengan sel pejamu. Penempelan ini dimediasi oleh molekul lektin Gal/GalNAc, yang merupakan salah satu faktor virulensi dari protozoa. Sel pertama yang diserang adalah sel epitel intestinal.[3,4]
Trofozoit yang berhasil menempel dengan sel, dapat membunuh sel pejamu melalui berbagai mekanisme, seperti menginduksi apoptosis, fagositosis, maupun trogositosis. Kematian sel pejamu ini akan menginduksi proses inflamasi di kolon sehingga menimbulkan gejala-gejala amebiasis kolitis.[4,5]
Selain melakukan penempelan sel, trofozoit juga akan mensekresikan modulator sel imun yang akan meningkatkan produksi sitokin dan infiltrasi sel inflamatori. E. histolytica juga mensekresi protein homolog sitokin proinflamatori, yang disebut EhMIF (E. histolytica mammalian macrophage migration inhibitory factor). Protein ini akan menginduksi inflamasi dan meningkatkan produksi matriks metaloproteinase yang akan menghancurkan matriks ekstraseluler pada saluran pencernaan.[5,6]
Dengan hancurnya matriks, migrasi sel akan meningkat dan parasit dapat menginvasi pejamu. Protein ini juga dinilai memiliki korelasi positif dengan proses inflamasi pada pasien amubiasis kolitis. Infeksi trofozoit ke sistem organ ekstraintestinal dapat terjadi secara hematogen, di antaranya menyebabkan abses hati amuba.[6,7]
Respon Imun Pejamu
Ketika terjadi infeksi, tubuh akan mengeluarkan respon imun untuk mengeradikasi infeksi tersebut. Pada infeksi amuba, interferon gamma (IFN-γ) memiliki peran penting dalam memproteksi tubuh. Peningkatan kadar IFN-γ berkorelasi dengan penurunan insidens diare akibat E. histolytica.[3]
Tubuh juga akan memproduksi antibodi terhadap faktor virulensi E. histolytica, yaitu Gal/GalNAc dan EhMIF. Antibodi terhadap kedua faktor tersebut dinilai berhubungan dengan proteksi terhadap reinfeksi.[3]
Selain membentuk proteksi, respon imun tubuh juga dapat menimbulkan kerusakan jaringan ketika respon yang timbul berlebihan. Sebagai contoh, produksi TNF-α yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan kejadian diare akibat E. histolytica pada anak. Selain itu, sitokin interleukin-8 (IL-8) yang berfungsi sebagai kemoatraktan untuk neutrofil juga berperan dalam kerusakan jaringan ketika ditemukan dalam jumlah yang tinggi.[3,5]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini