Epidemiologi Chikungunya
Data epidemiologi menunjukkan 75% populasi dunia berisiko terinfeksi chikungunya. Penyakit ini sering menimbulkan wabah sejak kira-kira 20 tahun lalu. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang melaporkan terjadinya wabah chikungunya hampir setiap tahun.[1,10]
Global
Secara global, diperkirakan lebih dari 75% populasi dunia tinggal di daerah yang berisiko terinfeksi chikungunya. Persebaran insidensi dilaporkan serupa pada semua kelompok usia, dan juga berdasarkan jenis kelamin. Virus chikungunya pertama kali diidentifikasi pada wabah yang terjadi di Tanzania pada tahun 1952–1953.[5,10]
Di antara tahun 1999–2019, terjadi 53 wabah pada 15 negara di Asia. India dan Indonesia melaporkan wabah hampir setiap tahun. Karakteristik wabah chikungunya di Asia adalah terjadinya wabah berskala besar, diikuti periode bebas transmisi atau transmisi yang sangat rendah pada area terkena wabah.[10]
Di Asia, proporsi imunoglobuin G (IgG) paling tinggi yang pernah dilaporkan adalah di India, yaitu 68% dan di Thailand, yaitu 62%. Sedangkan seroprevalensi terendah dilaporkan pada negara-negara yang tidak pernah mengalami wabah, seperti Iran, Qatar, dan Singapura.[10–12]
Pada benua Amerika, insidensi chikungunya tertinggi yang pernah dilaporkan adalah di Suriname, yaitu sebanyak 2.670 kasus per 10.000 penduduk. Tingkat IgG seropositivity berkisar antara 0–48%. Karakteristik wabah di benua Amerika adalah wabah besar, diikuti penurunan angka transmisi pada area yang terkena wabah.[13]
Di Eropa, dilaporkan terjadi 5 wabah antara tahun 2010–2017, 2 wabah terjadi di Italia dan 3 wabah terjadi di Perancis. Epidemiologi wabah di Eropa adalah adanya wabah berskala kecil yang disebabkan oleh transmisi lokal, diikuti dengan peningkatan kasus impor. Berdasarkan studi seroprevalensi, tingkat seropositivity berkisar antara 0,4% di Turki, dan 10% di Italia.[10]
Indonesia
Data epidemiologi chikungunya di Indonesia dilaporkan pada tinjauan sistematis oleh Harapan, et al. pada tahun 2019. Insidensi chikungunya dilaporkan antara 0,16–36,2 kasus per 100.000 orang-tahun. Median seroprevalensi antibodi imunoglobulin M (IgM) anti-CHIKV, baik pada keadaan wabah atau bukan wabah, adalah 13,3%. Sedangkan median antibodi IgG, baik pada keadaan wabah atau bukan wabah, adalah 18,5%.[14]
Berdasarkan sequencing, didapatkan berbagai genotipe virus yang terdapat di Indonesia. Sebanyak 92,3% disebabkan oleh genotipe Asia dan sisanya disebabkan oleh genotipe East/Central/South African (ECSA).[14]
Mortalitas
Mortalitas chikungunya dilaporkan 10,6% dan ditemukan lebih banyak pada pasien berusia lanjut, neonatus, pasien dengan komorbiditas, misalnya penyakit jantung, diabetes, dan penyakit hati dan penyakit ginjal kronis, serta pada pengidap human immunodeficiency virus (HIV).[5]
Faktor risiko yang paling sering ditemukan yang berhubungan dengan mortalitas tinggi dan infeksi berat adalah kelainan kardiovaskular, gangguan respirasi, dan gangguan neurologis. Di Eropa, case fatality rate adalah sebesar 2,5 per 1000 kasus, hampir sama dengan tingkat kematian di Pulau Reunion, yaitu 1 per 1000 kasus.[1,5]
Infeksi chikungunya berat dapat disertai dengan ensefalitis, miokarditis, hepatitis, dan kegagalan multiorgan. Kerusakan neurologis, meskipun tidak sering dijumpai, dapat menyebabkan kejang, gangguan kesadaranan, flaccid paralysis, dan kematian.[15]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra