Penatalaksanaan Chikungunya
Penatalaksanaan chikungunya secara umum bersifat suportif, sebab tidak ada antivirus spesifik untuk chikungunya. Tata laksana meliputi rehidrasi, pemantauan hemodinamik, dan terapi sesuai gejala, seperti pemberian parasetamol untuk nyeri atau demam. Arthralgia berat dapat diobati dengan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), misalnya ibuprofen, dan fisioterapi. Pasien juga disarankan untuk beristirahat dan menghindari aktivitas fisik yang terlalu melelahkan.
Tata Laksana Suportif
Hingga saat ini, tidak ada antivirus yang direkomendasikan untuk chikungunya. Tata laksana bersifat suportif dan sesuai gejala. Lakukan terapi untuk demam dan nyeri, serta terapi cairan untuk menjaga status hidrasi pasien. Prosedur kontrol infeksi juga perlu diterapkan untuk mencegah terjadinya infeksi iatrogenik pada pekerja di rumah sakit dan laboratorium.[1,5]
Tata Laksana Farmakologis
Untuk mengatasi gejala demam dan nyeri, dapat menggunakan parasetamol. Penggunaan obat antiinflamasi non steroid, misalnya ibuprofen atau diklofenak, sebaiknya dihindari dalam 14 hari pertama. Hal ini disebabkan ada risiko komplikasi perdarahan jika terjadi koinfeksi dengan demam Dengue.
Penggunaan OAINS diperbolehkan, bila diagnosis demam Dengue telah disingkirkan. OAINS lokal, misalnya topikal atau infiltrasi, dapat digunakan pada kasus tenosynovitis, bursitis, tunnel syndrome, kapsulitis, atau sinovitis yang gagal dikontrol dengan terapi oral. Penggunaan golongan opioid lemah diperbolehkan, jika parasetamol saja tidak mempan dalam mengatasi nyeri, misalnya tramadol dengan/tanpa parasetamol.
Golongan steroid tidak direkomendasikan pada chikungunya. Steroid dapat menyebabkan rebound arthritis dan tenosynovitis. Namun, penggunaan steroid dapat dipertimbangkan pada pasien dengan manifestasi klinis inflamasi poliartikular yang resisten atau memiliki kontraindikasi terhadap OAINS.
Penggunaan kortikosteroid, OAINS, terutama aspirin, dan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan trombositopenia, gastritis, perdarahan saluran cerna, dan gagal ginjal. Hal-hal tersebut dapat berakibat fatal.[1,5,6]
Medikamentosa untuk Nyeri Akut
Analgesik dipilih berdasarkan berat-ringannya nyeri yang dikeluhkan pasien. Analgesik juga dapat digunakan sebagai antipiretik, oleh karena itu lah parasetamol lebih banyak dipilih.[20]
Nyeri Ringan:
Nyeri ringan didefinisikan sebagai visual analog scale (VAS) antara 1-3. Pilihan analgesik yang digunakan adalah:
- Paracetamol, dengan dosis 1 gram per kali untuk dewasa atau 15 mg/kgBB/kali. Untuk anak, dapat diberikan setiap 4–6 jam, maksimal 4 gram per hari
- Metamizole, dengan dosis 0,5 – 4 gram per hari diberikan dalam dosis terbagi setiap 6 jam[9]
Nyeri Sedang:
Nyeri sedang didefinisikan sebagai VAS antara 4-6. Pada keadaan ini, paracetamol dan metamizole diberikan secara bergantian setiap 3 jam dengan dosis yang tetap.
Apabila nyeri tidak berkurang atau menetap, maka pasien harus diperiksa menggunakan 4-question neuropathic pain diagnostic questionnaire (DN-4). Bila terdiagnosis adanya neuropati berat, pasien dapat diberikan amitriptyline 25 atau 50 mg. Pilihan lain adalah gabapentin 300 mg dua kali sehari atau pregabalin 75 mg dua kali sehari.[20]
Nyeri Berat:
Nyeri berat didefinisikan sebagai VAS antara 7–10. Pada keadaan ini, paracetamol dan metamizole digunakan dengan tambahan opioid. Opioid yang paling sering digunakan adalah tramadol dengan dosis dewasa 50–100 mg per oral setiap 6 jam, dengan dosis maksimal 400 mg dalam 24 jam.
Apabila nyeri tidak berkurang atau menetap dalam 1 minggu setelah tatalaksana analgesik dan opioid, maka pasien harus diperiksa menggunakan 4-question neuropathic pain diagnostic questionnaire (DN-4). Bila terdeteksi adanya neuropati berat, maka tatalaksana sama dengan yang telah disebutkan di atas. Jika tidak terdeteksi adanya neuropati, maka pertimbangkan penggunaan kortikosteroid.[20]
Medikamentosa untuk Nyeri Pascaakut
Sama seperti nyeri akut, pemilihan terapi pada nyeri pascaakut juga didasarkan pada derajat keparahan nyeri. Fase pascaakut adalah fase setelah minggu ke-3 hingga akhir bulan ketiga.[20]
Nyeri Ringan:
Nyeri ringan didefinisikan sebagai visual analog scale (VAS) antara 1–3. Pilihan analgesik adalah NSAID. Pilihan yang dapat digunakan, antara lain:
Ibuprofen, untuk dewasa 400 mg setiap 6 jam, untuk anak-anak 10 mg/kg BB maksimal 2,4 gram per hari.
Meloxicam, dengan dosis 7,5–15 mg/hari untuk dewasa, atau 0,125 mg/kgBB/hari maksimal 7,5 mg.
Naproxen, dengan dosis 500-750 mg/hari untuk dewasa, atau 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi[20]
Nyeri Sedang- Berat:
Nyeri sedang didefinisikan sebagai VAS antara 4–6. Nyeri sedang didefinisikan sebagai VAS antara 7-10. Pilihan terapi adalah kortikosteroid kecuali terdapat kontraindikasi absolut terhadap penggunaannya. Prednison adalah pilihan yang direkomendasikan dengan dosis 0,5 mg/kg BB/hari, tidak melebihi 40 mg/hari.[20]
Medikamentosa pada Nyeri Kronis
Fase kronis adalah fase dimana nyeri bertahan melebihi 3 bulan. Pada nyeri intensitas ringan-sedang, pilihan analgesik yang diberikan sama dengan pilihan tata laksana nyeri akut dan pascaakut.
Penggunaan disease modifying anti rheumatoid drugs (DMARDs), seperti methotrexate atau sulfasalazine, dapat dipertimbangkan pada nyeri yang tidak berespon terhadap terapi analgesik.[20]
Obat-obatan Lain
Selain obat-obatan yang telah dibahas di atas, terdapat beberapa obat lain yang terkadang digunakan untuk tata laksana chikungunya. Antimalaria klorokuin memiliki efek anti-chikungunya yang kuat pada kultur sel, tetapi nyatanya tidak begitu berefek pada pasien. Selain itu, terdapat laporam bawah klorokuin dapat memperparah gejala persendian, bila diberikan pada fase akut.
Pada tikus, kombinasi antara doksisiklin dan ribavirin dibuktikan dapat menurunkan jumlah virus dan keparahan inflamasi. Hal yang sama juga dilaporkan untuk interferon. Asam mikofenolat dibuktikan lebih efektif daripada ribavirin untuk mengontrol replikasi virus pada studi seluler. Berdasarkan kultur sel dan pada tikus, favipiravir dapat menghambat virus chikungunya.[15,16,21]
Tata Laksana Non-Farmakologis
Beberapa tata laksana non-farmakologis yang dapat dilakukan pasien di rumah, antara lain:
- Istirahat yang cukup pada suhu ruangan, serta menghindari lingkungan yang lembap. Cuaca panas dapat memperburuk nyeri persendian
- Pasien juga sebaiknya tidak melakukan aktivitas fisik yang terlalu melelahkan. Olahraga ringan dan fisioterapi dapat dilakukan jika pasien telah memasuki fase pemulihan
- Kompres dingin dapat membantu untuk meredakan nyeri dan bengkak pada sendi
- Pasien juga harus menjaga status hidrasi dan kecukupan elektrolit dengan mengonsumsi air minum sebanyak 2 liter per 24 jam. Jika memungkinkan, pasien diajarkan untuk memantau urine output, yaitu minimal 1 liter selama 24 jam[6]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra