Panduan E-Prescription Demam Rematik
Panduan berikut diharapkan dapat membantu dokter untuk mengidentifikasi demam rematik, memberikan penanganan pertama, dan menentukan rujukan yang tepat. Karena pasien dengan demam rematik memerlukan pemeriksaan penunjang seperti ekokardiogram, maka peresepan online dapat dibatasi pada terapi awal yang menyertai rujukan offline, pengobatan simtomatik yang sedang berlangsung, atau untuk pengguna yang ingin mengisi resep.
Tanda dan Gejala
Demam rematik memiliki manifestasi yang bervariasi dan tidak selalu semua gejala muncul pada satu pasien.
Demam
Gejala demam pada demam rematik umumnya tidak tinggi dan hanya berlangsung sementara.[1,5]
Karditis
Pada pasien dengan manifestasi karditis, dapat muncul gejala sesak napas, dysneu d'effort, paroxysmal nocturnal dyspnea, batuk, nyeri dada, atau ortopnea. Tanda yang dapat ditemukan antara lain kardiomegali, murmur awitan baru, pericardial friction rub, efusi perikardial, dan gagal jantung kongestif.[1,3]
Artritis
Artritis pada demam rematik dapat berupa monoartritis atau poliartritis, yang bersifat simetris ataupun asimetris, di sendi-sendi besar seperti sendi panggul, siku, lutut, pergelangan tangan, dan pergelangan kaki.[1,5]
Korea
Korea Sydenham dapat muncul sebagai gerakan kasar non-ritmik involunter di wajah, lidah, tubuh, dan ekstremitas disertai kelemahan muskular dan gejala psikis berupa perubahan kepribadian dan labilitas emosional.[1,6]
Manifestasi Kulit
Pada kulit dapat ditemukan eritema marginatum dan nodul subkutan. Eritema marginatum berupa ruam makulopapular berkelok warna merah muda dengan bagian tengah pucat dan tepi melingkar, yang sering ditemukan di badan atau ekstremitas proksimal. Ruam umumnya tidak gatal ataupun nyeri.
Nodul subkutan berupa nodul padat, mobile, tidak nyeri, dengan diameter 0,5-2 cm, yang dapat ditemukan di permukaan ekstensor sendi ekstremitas atas dan bawah, prosesus spinosus, dan oksiput.[1,3]
Peringatan
Perlu diperhatikan pada pemberian steroid dapat terjadi risiko rebound setelah selesai terapi, sehingga perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap sebelum terapi dihentikan. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dapat diberikan sebagai lanjutan selama 1 bulan setelah terapi steroid dihentikan.[1,3]
Pemberian aspirin pada anak dapat menyebabkan sindrom Reye meski jarang. Jika muncul, maka terapi aspirin dihentikan dan vaksin influenza diberikan.[1,4]
Terapi simtomatik untuk artritis atau atralgia tidak boleh diberikan sebelum diagnosis demam rematik ditegakkan karena dapat menutupi (masking) gejala demam rematik yang penting untuk diagnosis.[1,3]
Pasien sebaiknya tetap disarankan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan dan pengobatan langsung ke fasilitas kesehatan, termasuk rujukan ke spesialis penyakit dalam, rematologi, anak, atau jantung.[1,3,4]
Medikamentosa
Secara daring, pasien yang dicurigai mengalami demam rematik dapat diberikan terapi simtomatik dan mungkin antibiotik oral, kemudian tetap ditekankan untuk menjalani pemeriksaan lanjutan langsung ke layanan kesehatan.
Terapi Simtomatik
Untuk demam dan nyeri ringan, dapat diberikan:
- Dewasa: paracetamol 1000 mg/4 jam per oral. Dosis maksimum 4000 mg/hari.
- Anak: paracetamol 15 mg/kg/4 jam per oral. Dosis maksimum maksimal 60 mg/kg/hari[1]
Terapi Eliminasi
Terapi eliminasi diberikan menggunakan antibiotik. Secara daring, dapat diberikan terapi oral yakni:
- Dewasa: phenoxymethylpenicillin 500 mg setiap 12 jam per oral selama 10 hari.
- Anak: phenoxymethylpenicillin 15 mg/kg setiap 12 jam, maksimal 500 mg, per oral selama 10 hari[1,2]
Terapi Artritis pada Demam Rematik
Pada pasien yang mengalami artritis pada demam rematik dapat diberikan:
- Dewasa: naproxen 250-500 mg 2 kali sehari per oral, atau ibuprofen 200-400 mg 3 kali sehari per oral
- Anak: naproxen 10–20 mg/kg/hari terbagi menjadi 2 dosis, atau ibuprofen 5-10 mg/kg 3 kali sehari per oral[1,2]
Terapi Karditis dan Korea
Untuk karditis dan korea, pasien perlu menjalani pemeriksaan secara langsung oleh dokter jantung dan saraf. Terapi sebaiknya merujuk pada dokter spesialis terkait.
Pemberian pada Ibu Hamil
Paracetamol oral dan penicillin termasuk kategori B berdasarkan Food and Drug Administration (FDA) sehingga relatif aman digunakan pada ibu hamil. Penicillin dapat menembus plasenta dalam konsentrasi yang rendah, dan dapat terdeteksi dalam cairan amnion, namun tidak ada bukti teratogenik terhadap fetus.
Pentingnya profilaksis sekunder selama kehamilan perlu didiskusikan dengan ibu dan keluarganya jika ingin merencanakan kehamilan atau sudah terjadi kehamilan yang tidak terencana, karena kehamilan meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung rematik sebagai komplikasi demam rematik.[1,8,9]
Penggunaan ibuprofen dan naproxen pada kehamilan belum dikategorikan oleh FDA namun termasuk kategori C oleh Therapeutic Goods Administration (TGA). OAINS dapat menyebabkan penutupan prematur duktus arteriosus, disfungsi renal, dan hipertensi pulmonal sehingga penggunaannya perlu dihindari terutama mendekati waktu kelahiran.[1,7,10,11]