Diagnosis Difteri
Diagnosis difteri perlu dicurigai pada pasien dengan selaput tebal berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan tonsil. Pasien juga bisa mengeluhkan sakit tenggorokan dan suara serak. Tanda dan gejala difteri biasanya muncul dalam 2-5 hari setelah seseorang terinfeksi.[1,6]
Anamnesis
Pada mulanya, penyakit difteri menimbulkan gejala tidak spesifik seperti common cold, yaitu demam, nyeri tenggorokan, dan limfadenopati servikal. Adapun gejala difteri yang tipikal adalah demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri tenggorokan, malaise, limfadenopati servikal, sakit kepala, dan disfagia. Rerata masa inkubasi adalah 2 hingga 5 hari (rentang antara 1 hingga 10 hari). Pada kebanyakan kasus sporadik di negara maju, penderita difteri mempunyai riwayat bepergian dari daerah endemis dan tidak ada riwayat vaksinasi sebelumnya.[1]
Difteri Respiratorik
Difteri respiratorik biasanya disebabkan oleh C. diphtheriae yang memproduksi toksin, meskipun pada kasus lebih jarang dapat disebabkan oleh strain toksigenik dari spesies Corynebacterium lain. Selain gejala pernapasan, penyerapan dan penyebaran toksin difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung berupa miokarditis, serta gangguan sistem saraf dan ginjal.
Timbulnya gejala biasanya bertahap. Gejala yang paling umum adalah sakit tenggorokan, malaise, limfadenopati serviks, dan demam ringan. Pasien mungkin menyadari faring eritema ringan atau terdapat bintik-bintik dengan eksudat abu-abu dan putih.
Bentuk difteri yang berat akan menyebabkan pembengkakan pada tonsil, uvula, kelenjar getah bening serviks, daerah submandibular, dan leher anterior. Pasien akan menyadari adanya bentukan "leher banteng" atau bull neck. Hal ini dapat mengganggu pernapasan.[2,4,5,16]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik biasanya cukup untuk menentukan kecurigaan terhadap penyakit difteri, untuk selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan Gram dan kultur. Pasien difteri umumnya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, tampilan klinis tampak sakit, dan dapat menunjukkan leher yang bengkak. Pembengkakan ini akibat membengkaknya jaringan lunak sekitar faring disertai pembesaran kelenjar getah bening servikal submandibular dan anterior yang membentuk gambaran bull-neck. Difteri kutaneus menunjukkan ulkus kronik yang diawali dengan lesi vesikel atau pustula eritematosa yang berisi cairan.[2,16]
Difteri Respiratorik
Presentasi klasik dari difteri adalah faringitis pseudomembranosa ekstensif, pembengkakan masif tonsil, uvula, limfonodi servikal, regio submandibularis dan leher anterior (bull neck). Setelah fase inkubasi, manifestasi akan muncul secara bertahap dengan manifestasi awal berupa demam tidak terlalu tinggi, malaise, limfadenopati servikal, dan nyeri tenggorokan.[16]
Temuan faring paling awal adalah eritema ringan, yang dapat berkembang menjadi bintik terisolasi eksudat abu-abu dan putih. Pada sepertiga kasus, terjadi pembentukan pseudomembran yang melekat erat pada jaringan di bawahnya dan mudah berdarah. Membran dapat meluas, baik ke arah hidung ataupun area trakeobronkial.
Pada pemeriksaan leher dapat didapatkan gambaran bull neck, yaitu pembengkakan tonsil, uvula, kelenjar getah bening serviks, daerah submandibular, dan leher anterior. Hal ini dapat menimbulkan stridor pernapasan yang menyebabkan insufisiensi pernapasan hingga kematian. Aspirasi membran juga dapat terjadi dan menyebabkan asfiksia.[1,2,16]
Difteri Kutaneus
Pada difteri kutaneus, tanda dan gejalanya adalah lesi kulit berupa ulserasi yang tertutupi membran keabuan, yang diawali dengan lesi sangat nyeri menyerupai vesikel atau pustul eritematosa berisi cairan. Selanjutnya, lesi ini akan berkembang menjadi punched-out ulcer (atau ulkus multiple) dengan ukuran bervariasi dan tepi yang meninggi. Lesi ini terasa nyeri di awal dan tertutupi eskar (pseudomembran berwarna gelap) selama 2 minggu pertama.
Selanjutnya, lesi menjadi tidak nyeri, pseudomembran meluruh dan memunculkan dasar kemerahan dengan disertai eksudat serosa atau serosaguinosa. Jaringan di sekeliling menjadi edematosa dan berwarna merah muda, ungu, atau gelap.
Ulkus difteri berupa ulkus kronis tidak kunjung sembuh (non-healing) yang muncul dan bertahan dalam hitungan minggu dan bulan. Lokasi predileksinya adalah di ekstremitas bawah dan tangan, yaitu pada lokasi kulit yang pernah terkena trauma sebelumnya atau mengalami lesi kulit dermatologis, seperti impetigo dan dermatitis. Lesi ini tidak menyebar atau menginvasi jaringan di sekitarnya.[1,2,16]
Komplikasi Difteri
Pada beberapa kasus, bisa terdapat perburukan atau komplikasi pada penderita difteri, yaitu komplikasi pada saraf dan kardiovaskuler.
Komplikasi Kardiologi:
Manifestasi kardiak difteri berupa miokarditis, umumnya terjadi setelah 1-2 minggu fase faringeal penyakit. Miokarditis dapat menimbulkan tanda berupa takikardia yang tidak sebanding dengan peningkatan suhu, gagal sirkulasi, dispnea progresif, melemahnya suara jantung, serta gangguan irama jantung.[2]
Komplikasi Neurologi:
Komplikasi neurologis umumnya sebanding dengan keparahan infeksi pada faring. Walau demikian, komplikasi neurologis ini umumnya bersifat menetap dan akan menghilang ketika penyakit diobati. Sebagian besar pasien dengan infeksi berat akan mengalami neuropati, seperti:
- Hiperestesi dan paralisis lokal palatum lunak, terjadi pada minggu kedua-ketiga setelah inflamasi orofaring
- Defisit nervus kranialis, biasa terjadi pada minggu kelima
- Disfungsi nervus fasialis, faringeal, atau laringeal yang dapat menyebabkan suara sengau, kesulitan menelan, dan meningkatnya risiko terjadi aspirasi
- Neuropati sensorik perifer dengan pola stocking and glove
- Neuritis perifer berupa defek motorik otot-otot proksimal ekstremitas yang kemudian meluas ke bagian distal
- Dapat juga terjadi disfungsi vasomotor sentral setelah 2-3 minggu yang dapat menyebabkan hipotensi dan gagal jantung[2,17]
Diagnosis Banding
Penyakit difteri mempunyai presentasi klinis menyerupai infeksi saluran pernapasan atas lainnya. Oleh karena itu, dalam menegakkan diagnosis difteri perlu mempertimbangkan diagnosis banding, seperti epiglotitis, abses retrofaringeal, dan mononukleosis.[1]
Epiglotitis
Epiglotitis merupakan peradangan akut pada regio supraglotis di orofaring, yaitu epiglottis dan struktur di sekitarnya. Pasien mengalami 4D, yaitu dysphagia, dysphonia, drooling, dan distress. Diagnosis dilakukan dengan visualisasi langsung epiglotis menggunakan nasofaringoskopi atau laringoskopi.[1]
Abses Retrofaringeal
Abses retrofaringeal merupakan kondisi mengancam jiwa dan memerlukan tindakan drainase emergensi. Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Pada pasien di bawah usia 5 tahun, abses retrofaringeal umumnya didahului infeksi saluran pernapasan atas yang menyebabkan limfadenitis serviks supuratif. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa, abses retrofaringeal dapat disebabkan oleh trauma pada faring posterior, sehingga terjadi inokulasi ruang retrofaring.[1]
Mononukleosis Infeksius
Mononukleosis infeksius memiliki tanda dan gejala berupa kelelahan, malaise, nyeri tenggorokan, demam, mual, anoreksia, dan batuk. Trias klinis penyakit ini pada anak-anak adalah demam, faringitis, dan batuk.[1]
Faringitis
Faringitis biasanya muncul secara tiba-tiba dan disertai nyeri telan, demam, dan batuk. Jika dicurigai penyebabnya adalah Group A Streptococcus β-haemolyticus (GAS), dapat dilakukan pemeriksaan rapid antigen ataupun kultur.[1]
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis C. diphtheriae, diperlukan isolat C. diphtheriae pada media kultur. Hal ini juga berfungsi untuk mengidentifikasi adanya produksi toksin. Jika regimen antibiotik sudah diberikan pada pasien dan hasil kultur negatif, alternatif konfirmasi diagnosis bisa melalui hasil positif PCR atau isolat C. diphtheria pada kultur sampel kontak erat.[1,2,6]
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis bisa dilakukan dengan melakukan pengecatan Gram dan methylene blue pada sampel apusan tenggorokan. Pengecatan dengan Gram menunjukkan kelompok bakteri berbentuk batang yang tidak motil, tidak berkapsul, dan berbentuk menyerupai tongkat baton. Pengecatan dengan methylene blue menunjukkan typical metachromatic granules.[1,2]
Kultur
Pada apusan dari hidung, pseudomembran, kripta tonsilar, ulserasi dan diskolorasi, dapat mendiagnosis difteri melalui inokulasi pada media Loffler, media Tindale, plat telluride dan agar darah. Identifikasi bakteri ini didapatkan melalui pengamatan morfologi koloni, tampakan mikroskopik dan reaksi fermentasi. Temuan bakteri ini pada berbagai media adalah sebagai berikut:
- Pada media Tindale, dapat ditemukan koloni berwarna hitam dengan halo
- Pada media Loffler dapat ditemukan metachromatic granules
- Pada telluride dapat ditemukan warna abu kehitaman yang tipikal
Setiap bakteri difteri yang terisolasi perlu diperiksa produksi toksinnya.[1,2]
Pemeriksaan Toksin
Pemeriksaan toksin dilakukan untuk menentukan adanya produksi toksin, Hal ini bisa turut membedakan tipe toksigenik dengan non-toksigenik. Pemeriksaan toksin mencakup pemeriksaan Elek, PCR dan Enzyme immunoassay (EIA). Pemeriksaan Elek dilakukan menggunakan kertas saring yang berisi antitoksin lalu diletakkan di kultur agar.[1,2]
Pemeriksaan Laboratorium Lain
Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan leukositosis moderat. Pemeriksaan serum Troponin I berkorelasi dengan keparahan miokarditis.[1,2]
EKG
Pemeriksaan EKG dapat menunjukkan gangguan pada otot jantung, yaitu perubahan gelombang ST-T, variasi blok jantung, dan disritmia.[2]
Pencitraan
Pemeriksaan rontgen toraks dan leher dapat menunjukkan pembengkakan pada struktur jaringan lunak pada faring, epiglotis, dan rongga dada.[1,2]
Penulisan pertama oleh: dr. Fredy Rodeardo Maringga