Etiologi Difteri
Etiologi penyakit difteri adalah infeksi bakteri Gram positif Corynebacterium sp., terutama C. diphtheria.[1]
Corynobacterium sp
Selain C. diphtheria, relasi dari spesies ini juga dapat menyebabkan difteri, yaitu C. ulcerans dan C. pseudotuberculosis. Ketiganya merupakan jenis bakteri yang memproduksi toksin difteri (diphtheria toxin/ DT). Jenis non-toksigenik dari C. diphtheriae dan Corynebacterium spp (NTCD), merupakan patogen yang berpotensi untuk menyebabkan wabah karena dapat menyebabkan penyakit yang cukup berat namun tidak dapat dicegah dengan vaksin difteri.[5]
C. diphtheriae adalah bakteri basilus, non-motil, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul. Bakteri C. diphtheria tampak seperti tongkat baton dengan salah satu ujung lebih besar dibanding ujung lainnya. Susunan bakteri ini terkadang seperti pagar (palisade), huruf V, atau L. Selain C. diphtheria, terdapat bakteri Corynebacterium ulcerans yang dapat menyebabkan difteri kulit dan difteri respiratorik meskipun insidensinya lebih jarang.[1]
Di Inggris, infeksi C. ulcerans lebih sering terjadi dibandingkan C. diphtheria, akibat transmisi zoonotik dari hewan, bepergian ke daerah endemis, dan tidak vaksinasi. Di Eropa dan beberapa negara maju lainnya, kasus C. ulcerans dilaporkan meningkat dengan gejala klinis menyerupai difteri, yang juga dialami oleh individu yang sudah divaksinasi.[5]
Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit difteri dibedakan antara daerah endemis dan non endemis. Pada daerah endemis, cakupan vaksinasi menjadi faktor penting. Adapun di daerah non endemis dengan cakupan vaksinasi yang optimal, individu imunokompromais dan penyalahguna alkohol merupakan faktor risiko penyakit difteri.[5]
Beberapa studi mengemukakan bahwa cakupan vaksinasi yang kurang, perpindahan penduduk, gaya hidup kurang bersih, dan pemukiman padat penduduk merupakan faktor risiko dari difteri.[5,7,8]
Usia juga menjadi faktor risiko penyakit difteri yang cukup penting, di mana bayi berusia di antara 6 hingga 12 bulan berisiko lebih tinggi mengalami difteri dikarenakan menurunnya imunitas transplasenta dari ibunya. Tidak hanya itu, individu dewasa berusia di atas 40 tahun juga memiliki risiko yang signifikan. Hal ini umumnya berkaitan dengan status vaksinasi yang tidak lengkap atau bahkan tidak pernah vaksin sama sekali, atau akibat respon vaksin yang tidak adekuat.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Fredy Rodeardo Maringga