Epidemiologi Difteri
Epidemiologi penyakit difteri dilaporkan lebih tinggi pada negara dengan cakupan vaksinasi suboptimal, termasuk Indonesia.[6]
Global
Pada 1977, WHO menetapkan Expanded Programme on Immunization (EPI), yaitu rekomendasi global untuk imunisasi terhadap penyakit yang bisa diatasi vaksin (vaccine preventable disease/VPD), salah satunya adalah difteri. Usaha ini cukup berhasil menurunkan insidensi penyakit difteri di beberapa negara. Namun, dalam beberapa waktu belakangan ini, tercatat adanya wabah dan peningkatan insidensi penyakit difteri terutama di negara-negara di Asia. Menurut WHO, dalam kurun 2017-2022 penyakit difteri merupakan VPD yang paling sering dilaporkan pada anak usia kurang dari 5 tahun di Asia Tenggara.[9]
Penyakit difteri juga tercatat merebak di negara-negara yang mengalami konflik, seperti Venezuela, Haiti, Yaman, dan Bangladesh, terutama pada area kamp pengungsian. Di tahun 2017, tercatat sebanyak 807 kasus terduga difteri, termasuk 15 kematian, terjadi pada pengungsi Rohingya di Bangladesh. Di tahun yang sama, di Yaman, terdapat 333 kasus terduga difteri serta 35 kematian. Merebaknya kasus difteri di beberapa negara disebabkan cakupan vaksinasi yang rendah, migrasi penduduk, faktor sosio-ekonomi rendah dan menurunnya imunitas di populasi.[5,8,10,11]
Di Amerika Serikat, sejak penerapan program vaksinasi difteri pada 1940, kejadian kasus difteri pernapasan relatif terkontrol dengan baik, dengan jumlah kasus sekitar 1000 kasus per tahunnya. Sebelum vaksinasi, setidaknya ada 200.000 kasus per tahun. Kasus difteri di Amerika Serikat muncul secara sporadik, terutama pada populasi Native American, tunawisma, kelompok sosioekonomi rendah, pencandu alkohol, dan pelancong dari daerah epidemik. Dalam rentang 1996 hingga 2016, laporan kasus hanya sebanyak 13 kasus.[2,6]
Indonesia
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan Indonesia, di tahun 2017, terdapat wabah (Kejadian Luar Biasa/KLB) difteri di mana tercatat 954 kasus pada 170 distrik kota di 30 provinsi, dengan 44 kasus fatal. Munculnya KLB ini kemungkinan disebabkan ketimpangan distribusi vaksin difteri yang menyebabkan cakupan vaksinasi difteri yang rendah di beberapa daerah.[10–12]
Di tahun 2019, kasus difteri menyebar di hampir semua wilayah di Indonesia. Jumlah kasus difteri pada tahun 2019 sebanyak 529 kasus, jumlah kematian sebanyak 23 kasus. Jumlah kasus difteri tahun 2019 mengalami penurunan yang cukup signifikan jika dibandingkan tahun 2018 (1.386 kasus). Jumlah kematian akibat difteri juga mengalami penurunan jika dibandingkan tahun sebelumnya (29 kasus). Berdasarkan provinsi, jumlah kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur, yakni sebanyak 178 kasus.[13]
Mortalitas
Tingkat mortalitas difteri sangat bervariasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti fasilitas kesehatan yang memadai, bakteremia, usia, serta adanya komplikasi seperti asfiksia maupun miokarditis. Pada populasi umum, tingkat mortalitas diperkirakan sekitar 5-10% dan meningkat tajam hingga 30-40% jika terjadi bakteremia. Tingkat mortalitas pada anak-anak kurang dari lima tahun dan dewasa lebih dari 40 tahun sebesar 20%.
Pada daerah dengan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, tingkat mortalitas dapat mencapai 50%. Pemberian antitoksin difteri pada pasien penderita difteri dapat menurunkan case fatality rate sebesar 15%. Semakin cepat pemberian antitoksin pada pasien yang dicurigai atau terkonfirmasi difteri, maka semakin efektif terapinya. Jika terjadi komplikasi, kematian umumnya terjadi pada hari ketiga atau keempat.[2,10,14,15]
Penulisan pertama oleh: dr. Fredy Rodeardo Maringga