Patofisiologi Difteri
Patofisiologi difteri adalah menempelnya bakteri Corynebacterium diphtheria pada sel epitel mukosa. Selanjutnya, bakteri ini mengeluarkan eksotoksin yang dapat menyebabkan reaksi peradangan lokal, destruksi jaringan, dan nekrosis.[2]
Peran Toksin Bakteri dalam Patofisiologi Difteri
Organisme penyebab difteri memproduksi toksin yang dapat menghambat sintesis protein seluler, merusak jaringan lokal, dan membentuk pseudomembran yang merupakan karakteristik dari penyakit ini.[1,6]
Fragmen A dan Fragmen B
Eksotosin yang dikeluarkan dari endosom bakteri ini terbuat dari dua gabungan protein, fragmen A dan B. Fragmen B berperan membuka jalan bagi fragmen A untuk masuk ke dalam sel. Fragmen B akan menyebabkan proses proteolitik melalui ikatan reseptor pada permukaan sel inang yang rentan. Hal ini menyebabkan pemisahan lapisan lipid sebagai jalan masuk fragmen A.
Secara molekuler, kerentanan sel berkaitan dengan modifikasi diftamide, di mana hal ini bergantung pada tipe Human Leukocyte Antigen (HLA) yang mempengaruhi keparahan infeksi. Molekul diftamide ada pada semua organisme eukariotik. Molekul ini terletak pada residu histidine translasi faktor 2 elongasi (eEF2). eEF2 bertugas memodifikasi residu histidine yang merupakan target dari toksin difteri.[2,5]
Fragmen A menghambat transfer asam amino dari RNA translokase ke rantai asam amino ribosomal, sehingga menghambat sintesis protein yang diperlukan untuk kehidupan sel inang. Kerusakan pada jaringan lokal dapat menyebabkan toksin menyebar melalui pembuluh darah dan limfe ke seluruh jaringan tubuh, seperti miokarditis, serta kerusakan ginjal dan sistem saraf.[2,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Fredy Rodeardo Maringga