Panduan E-Prescription Alomedika Gigitan Hewan
Panduan e-Prescription untuk gigitan hewan (anjing dan kucing) ini digunakan untuk dokter saat hendak memberikan terapi medikamentosa secara online.
Gigitan hewan adalah trauma fisik yang ditandai dengan luka lecet hingga luka robek, yang diakibatkan oleh gigitan hewan baik peliharaan maupun liar. Gigitan anjing dan kucing lebih umum terjadi daripada gigitan hewan lainnya.[1]
Kondisi ini dapat menyebabkan infeksi dan inflamasi secara lokal bahkan sistemik. Pada anak-anak, area gigitan hewan paling sering mengenai area wajah, leher, dan kepala. Sementara pada orang dewasa, area gigitan tersering yaitu tangan dan bahu.[1]
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala dari gigitan hewan dapat bervariasi, dari luka lecet hingga luka gigitan/terkoyak. Gigitan anjing dapat menyebabkan fraktur, bila gigitan cukup kuat disertai dengan tekanan. Berdasarkan bentuknya, luka gigitan anjing dibagi menjadi tiga derajat, yaitu:
- Stadium I: luka masih superfisial, dapat berupa goresan, robekan, dan terbentuknya kanal gigitan pada kulit
- Stadium II: luka meluas hingga ke fascia, otot, dan kartilago
- Stadium III: luka disertai nekrosis dan hilangnya sebagian jaringan[2]
Risiko Rabies
Pada gigitan hewan anjing dan kucing, sebaiknya diketahui status kesehatan hewan tersebut. Hal ini karena ada risiko infeksi sistemik hingga infeksi yang mematikan. Profilaksis rabies diperlukan untuk setiap gigitan yang menembus kulit, di mana vaksinasi rabies terhadap hewan yang menggigit tidak diketahui.[3]
Masa inkubasi virus rabies berkisar 3‒8 minggu, yang dipengaruhi oleh jumlah virus, kedalaman luka, dan jenis virus. Pada periode ini, perlu diamati apakah terdapat gejala dan tanda yang mengarah ke rabies.[3]
Peringatan
Penanganan gigitan hewan idealnya memerlukan data kesehatan hewan yang menggigit, di antaranya riwayat vaksin, riwayat penyakit rabies sebelumnya, dan riwayat lingkungan tempat tinggal hewan tersebut. Bila data ini tidak diketahui, maka pasien perlu segera divaksin, yaitu vaksin tetanus maupun vaksin rabies guna mencegah perjalanan penyakit.[4]
Beberapa kondisi yang perlu penanganan lebih lanjut di fasilitas kesehatan adalah jika terdapat:
- Benda asing yang dicurigai masuk ke dalam organ tubuh yang digigit
- Tanda peradangan (kemerahan, rasa nyeri, panas, bengkak), yang disertai hambatan dalam menggerakan anggota tubuh yang digigit
- Demam
- Cairan yang keluar dari area luka
- Gigitan pada area ekstremitas
- Bau tidak sedap dari area luka
- Keharusan pemberian vaksin rabies dan tetanus[4,10]
Manajemen Luka Gigitan
Perawatan luka gigitan hewan perlu dilakukan segera, terdiri dari pembersihan dan penutupan luka. Perawatan luka terdiri dari irigasi dan disertai penutupan luka.
Irigasi Luka
Irigasi luka gigitan hewan harus dilakukan segera. Di luar rumah sakit, irigasi menggunakan air mengalir dan sabun selama 5‒15 menit, untuk pencegahan infeksi rabies atau mikroorganisme lainnya.
Saat di rumah sakit, irigasi luka dapat dilakukan kembali menggunakan beberapa liter cairan saline normal dan povidone iodine, untuk memastikan luka sudah bersih dan bebas kontaminasi. Lakukan debridemen dan pastikan tidak ada benda asing yang tertinggal pada area luka.[5,7]
Penutupan luka
Penutupan luka gigitan hewan tidak selalu dilakukan. Studi menunjukkan bahwa luka gigitan hewan dapat dibiarkan terbuka untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Namun, pada kondisi tertentu, misalnya alasan kosmetik atau risiko infeksi yang tinggi pada luka dalam, area luka dapat ditutup.
Penutupan area luka dilakukan dengan menggunakan kasa bersih, dengan tetap memperhatikan ada atau tidaknya tanda-tanda infeksi sekunder.[5,7]
Medikamentosa
Terapi obat-obatan pada gigitan hewan adalah pemberian antibiotik dan analgesik. Pemberian antibiotik dapat dipilih salah satu obat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Pilihan Antibiotik untuk Gigitan Hewan
Obat | Dosis Dewasa | Dosis Anak |
Amoksisilin klavulanat (875/125 mg) | 2 kali/hari, selama 7 hari
| 25 mg/kgBB/hari, 2 kali/hari, selama 7 hari |
Clindamycin kombinasi dengan trimethoprim sulfamethoxazole | -
| ● Clindamycin 10 mg/kgBB/hari, 2 kali/hari, selama 7 hari ● Trimethoprim sulfamethoxazole 10 mg/kgBB/hari, 2 kali/hari, selama 7 hari |
Clindamycin kombinasi dengan ciprofloxacin | ● Clindamycin 300 mg, 3 kali/hari ● Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali/hari ● Selama 7 hari | |
Trimethoprim sulfamethoxazole (160/800 mg) | 2 kali/hari, selama 7 hari | |
Doxycycline | 100 mg, 2 kali/hari, selama 7‒14 hari |
Sumber: Katharina, 2023.[5,6]
Sementara, pilihan analgesik di antaranya:
Paracetamol, diberikan hingga 4 kali/hari, dosis dewasa 1.000 mg/kali pemberian, dan dosis anak 15 mg/kgBB/kali pemberian. Dosis maksimum adalah 4 kali pemberian dalam sehari, atau 4.000 mg/hari pada dewasa
Ibuprofen, dosis dewasa 400 mg peroral diberikan 4 kali sehari, dan dosis anak 10 mg/kgBB peroral, 4 kali sehari. Dosis maksimum 400 mg per pemberian[11,12]
Pemberian Vaksinasi
Pemberian vaksin tetanus dan rabies diberikan terutama pada pasien dengan faktor risiko tinggi berikut:
- Luka atau jilatan pada area mukosa
- Luka di atas bahu (leher, muka, dan kepala)
- Luka pada jari tangan dan jari kaki
- Luka di area genital
- Luka yang lebar atau dalam
- Luka multipel (lebih dari satu bagian)[6]
Upaya pencegahan perjalanan penyakit tetanus dan rabies dapat dengan memberikan vaksin antitetanus dan antirabies.
Vaksin Antitetanus
Terdapat dua jenis vaksin antitetanus yang dapat diberikan pada kasus gigitan hewan, yaitu:
Tetanus toksoid: diberikan sesegera mungkin pada luka kotor, dengan riwayat vaksin >5 tahun atau tidak diketahui, dan diberikan segera pada luka bersih dengan riwayat vaksin >10 tahun
Tetanus immunoglobulin: diberikan pada luka kotor dengan riwayat vaksin tetanus <3 kali[5]
Dosis pemberian baik tetanus toksoid maupun tetanus immunoglobulin adalah satu kali penyuntikan intramuskular.[13]
Vaksin Antirabies
Vaksin antirabies (VAR) dapat diberikan pada luka dengan faktor risiko tinggi dan rendah penularan rabies. Sementara, serum antirabies (SAR) hanya diberikan pada luka dengan faktor risiko tinggi, dan tidak perlu diberikan pada luka dengan faktor risiko rendah (hanya luka kecil atau lecet).[7]
Dosis pemberian:
- VAR diberikan pada hari ke-0 sebanyak 2 dosis (lengan kiri dan kanan), hari ke-7 sebanyak 1 dosis, dan hari ke-21 sebanyak 1 dosis
- SAR diberikan bersamaan dengan VAR pada hari ke-0, secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin, lalu sisanya diinjeksikan secara intramuskular[5,7]
Kebutuhan akan vaksinasi menjadi salah satu alasan dilakukannya rujukan offline.
Terapi pada Kehamilan
Berdasarkan data dari Kemenkes RI, pemberian antibiotik amoksisilin klavulanat dan klindamisin dapat diberikan pada ibu hamil. Antibiotik ini masuk dalam FDA kategori B. Sementara itu, antibiotik doksisiklin dan Trimethoprim sulfamethoxazole tidak direkomendasikan karena masuk dalam FDA kategori C dan D.[8]
Pemberian kedua antibiotik yang tidak direkomendasikan tersebut dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin, diantaranya menyebabkan defek bumbung neural, bibir sumbing dan komplikasi kongenital besar lainnya.[9]
Analgesik yang dapat diberikan pada kehamilan adalah paracetamol. Sementara, ibuprofen tidak disarankan pada kondisi kehamilan karena masuk dalam FDA kategori C.[11,12]
Vaksin tetanus dan vaksin rabies, baik VAR maupun SAR, harus diberikan kepada wanita hamil.