Patofisiologi Mononukleosis EBV
Patofisiologi mononukleosis virus Epstein-Barr (EBV) atau “kissing disease” meliputi infeksi EBV pada sel limfosit B, yang dapat meluas ke sistem retikuloendotelial dan sistem limfatik. Transmisi EBV dapat terjadi melalui kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, terutama saliva. Jalur transmisi lain seperti transplantasi organ dan transfusi darah jarang dilaporkan dan masih dipelajari lebih lanjut.[3,4]
Infeksi Virus Epstein-Barr pada Sel Limfosit B
Setelah transmisi EBV terjadi, virus dapat langsung menginfeksi sel limfosit B di tonsil atau sel epitel orofaring yang pada akhirnya juga menginfeksi sel B. Masuknya EBV ke dalam sel epitel terjadi melalui fusi langsung antara membran virus dengan membran sel. Sementara itu, untuk menginfeksi sel B, diperlukan ikatan EBV gp350/220 ke CD 21 dan ikatan gH/gL/gp42 ke molekul HLA II di permukaan sel.
Masa inkubasi mononukleosis diperkirakan berlangsung 32–49 hari. Fase akut infeksi terjadi ketika replikasi virus meningkat di rongga mulut dan darah perifer. Sebagian besar jumlah virus berada di dalam sel B, sementara sejumlah kecilnya dilepaskan ke plasma. Berikutnya, EBV dapat menyebar ke seluruh sistem retikuloendotelial (RES), seperti hati, limpa, dan kelenjar getah bening.[2-6]
Virologi Virus Epstein-Barr
Setelah infeksi primer, EBV dapat berdiam dalam sel B memori dengan level virus yang rendah (~1 dalam 10.000–100.000 sel B) atau mengubah ekspresi sel B. Terdapat empat jenis perubahan yang dapat terjadi pada sel limfosit B jika dilihat dari ekspresi antigennya. Pada latensi III, sel B sangat replikatif dan mengekspresikan antigen EBV nuklear (EBNAs), LMP, dan RNA EBV (EBER).
Sementara itu, pada jenis latensi II, sel akan mengekspresikan EBNA-1, LMP-1 dan LMP-2. Sel-sel ini dikatakan berperan sebagai prekursor keganasan yang disebabkan oleh EBV. Pada latensi I, sel B hanya mengekspresikan EBNA1, yang berperan dalam replikasi genom virus selama pembelahan. Lalu, pada latensi 0, ekspresi gen virus akan tetap diam dan proses infeksi tidak terdeteksi oleh sistem imun tubuh.[4-6]
Respons Imun terhadap Infeksi Virus Epstein-Barr
Sel limfosit B yang terinfeksi oleh EBV dapat mengaktivasi respons imun humoral dan seluler tubuh terhadap virus. Respons imun terinisiasi ketika viral load mulai terdeteksi di orofaring dan di darah perifer. Pada mayoritas kasus mononukleosis, tubuh akan memproduksi antibodi, yaitu antibodi heterofil yang secara langsung menyerang struktur protein virus.
Sementara itu, respons imun oleh sel natural killer (NK) dan sel T CD8 berperan dalam mengontrol proliferasi sel B yang terinfeksi dengan menekan profilerasi sel terinfeksi melalui fungsi sitotoksiknya. Respons seluler limfosit T yang efisien dan cepat berperan penting dalam menekan proliferasi EBV dalam jangka waktu yang lama. Pada kondisi di mana respons sel T tidak efisien dan proliferasi sel B tidak terkontrol, dapat timbul keganasan limfosit B.[3,4,7]