Diagnosis Necrotizing Fasciitis
Diagnosis necrotizing fasciitis mungkin sulit ditegakkan secara klinis karena lesi awal pada area yang terkena umumnya tidak tampak sepadan dengan parahnya nyeri yang dirasakan dan cepatnya nekrosis terjadi. Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan skor LRINEC atau Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis dapat dilakukan untuk membantu diagnosis. Pencitraan radiologi seperti MRI juga dapat bermanfaat.
Anamnesis
Keluhan utama yang umumnya membawa pasien datang ke unit gawat darurat adalah nyeri hebat. Nyeri hebat ini mungkin tidak disertai gambaran klinis yang sepadan pada lokasi nyeri. Seiring dengan perjalanan waktu, rasa nyeri dapat berubah menjadi kebas atau mati rasa pada lokasi infeksi. Pasien juga dapat mengeluhkan lesi kemerahan disertai lenting.[1-3,5,8]
Riwayat penyakit dan trauma sebelumnya penting digali. Perkiraan lokasi masuknya patogen dapat diketahui dari anamnesis mengenai riwayat cedera atau luka pada kulit. Riwayat cedera atau luka mungkin terjadi saat berada di lingkungan tertentu, misalnya lingkungan kotor maupun di dalam air tawar atau air laut.[1-3,5,8]
Penyakit komorbid, termasuk diabetes mellitus, kelainan fungsi jantung, ginjal, maupun hati perlu ditanyakan. Selain itu, penyakit pada sistem imun, baik berupa penyakit yang imunosupresif maupun penyakit autoimun, perlu ditanyakan.[1-3,5,8]
Pemeriksaan Fisik
Gambaran pemeriksaan fisik pada lokasi nyeri mungkin tidak sepadan dengan skala nyeri yang dialami. Pasien dapat datang saat lesi masih dalam tahap awal, misalnya berbentuk seperti gigitan serangga, luka lecet, luka tusuk kecil, maupun vesikel.[1-3,5,8]
Pada luka yang lebih parah, dokter dapat menemukan bula (berisi cairan bening, darah, atau cairan keunguan), eritema, emfisema subkutan, dan krepitus, yang disertai dengan gangguan sensorik pada lokasi infeksi. Karena infeksi dapat menyebar dengan cepat, kecurigaan terhadap necrotizing fasciitis dapat didasarkan pada keluhan nyeri hebat oleh pasien.[1-3,5,8]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding necrotizing fasciitis adalah selulitis, gas gangrene, dan toxic shock syndrome. Pada kasus necrotizing fasciitis di area penis, skrotum, maupun perineum (Fournier gangrene), diagnosis banding dapat berupa orchitis, epididimitis, torsio testis.
Selulitis
Selulitis merupakan infeksi bakteri pada kulit yang menyebabkan inflamasi pada dermis dan jaringan subkutan. Selulitis dapat dibedakan dari necrotizing fasciitis berdasarkan intensitas nyeri dan pemeriksaan laboratorium.[2,3,13]
Gas Gangrene
Gas gangrene merupakan infeksi letal pada jaringan lunak dalam yang disebabkan oleh Clostridium spp. Gas gangrene dapat dibedakan dari necrotizing fasciitis berdasarkan identifikasi patogen penyebab.[2,3,14]
Toxic Shock Syndrome
Toxic shock syndrome merupakan penyakit akut yang memiliki karakteristik demam, hipotensi, lesi kulit, dan kerusakan organ akibat eksotoksin. Toxic shock syndrome bisa dibedakan dari necrotizing fasciitis dari pemeriksaan fisik pada lesi kulit.[2,3]
Epididimitis, Orchitis, dan Torsio Testis
Salah satu tipe necrotizing fasciitis yang dikenal sebagai Fournier gangrene diketahui terjadi di area penis, skrotum, dan perineum secara idiopatik. Diagnosis banding pada kasus ini dapat berupa epididimitis, orchitis, atau torsio testis.[2,3,15-17]
Epididimitis merupakan inflamasi pada epididimis, sedangkan orchitis adalah inflamasi pada testis. Torsio testis terjadi karena perputaran spontan funiculus spermaticus yang menyebabkan gangguan aliran darah ke testis. Berbagai penyakit ini dapat dibedakan dari necrotizing fasciitis berdasarkan pemeriksaan fisik dan pencitraan radiologi.[15-17]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis necrotizing fasciitis dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan pencitraan radiologi.
Pemeriksaan Laboratorium
Setiap pasien dengan kecurigaan necrotizing fasciitis sebaiknya menjalani pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis, pemeriksaan biokimia, analisis gas darah, urinalisis, kultur darah dan jaringan terinfeksi.[1-4,18]
Untuk membedakan necrotizing fasciitis (terutama pada fase awal) dari infeksi jaringan lunak lainnya, terdapat sistem skoring berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dengan nama Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC).[1-4,18]
Tabel 1. Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC)
Variabel | Skor |
C-reactive protein (mg/dL) | |
<15 ≥15 | 0 4 |
Leukosit total (per mm3) | |
<15 15–25 >25 | 0 1 2 |
Hemoglobin (g/dL) | |
>13,5 11–13,5 <11 | 0 1 2 |
Natrium (mmol/L) | |
≥135 <135 | 0 2 |
Kreatinin (mg/dL) | |
≤1,6 >1,6 | 0 2 |
Gula darah (mg/dL) | |
≤180 >180 | 0 1 |
Skor Total | Kemungkinan necrotizing fasciitis |
≤5 6–7 ≥8 | Risiko rendah (<50%) Risiko sedang (50% - 75%) Risiko tinggi (≥75%) |
Sumber: Sato EH, 2020.
Pencitraan
USG mungkin bermanfaat untuk menilai infeksi jaringan lunak. USG dapat mendeteksi pembentukan abses yang occult secara lebih baik daripada penilaian klinis saja. USG juga mungkin mendeteksi emfisema subkutan yang menyebar sepanjang deep fascial, pembengkakan, dan peningkatan echogenicity dari jaringan lemak dengan akumulasi cairan. Hal ini mungkin bermanfaat untuk keputusan debridement dini dan pemberian antibiotik parenteral.
CT scan dapat menunjukkan lokasi anatomis yang terpengaruhi oleh nekrosis dengan menampilkan penebalan fascia yang asimetris dan adanya gas dalam jaringan. Namun, temuan CT scan pada awal penyakit mungkin minimal. MRI lebih dianjurkan daripada CT scan untuk deteksi infeksi jaringan lunak. MRI memiliki sensitivitas yang baik untuk mendeteksi cairan dalam jaringan lunak. Selain itu, resolusi spasial dan kemampuan multiplanar MRI juga menjadi kelebihan tersendiri.
Foto rontgen polos tidak memiliki nilai dalam diagnosis necrotizing fasciitis. Ada studi yang menunjukkan bahwa pelaksanaan foto rontgen yang sebenarnya tidak membantu diagnosis justru menunda penatalaksanaan dan meningkatkan morbiditas.[1-3,5,19]
Biopsi
Biopsi dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan identifikasi patogen penyebab necrotizing fasciitis. Sampel dapat diambil dari bagian perifer luka maupun jaringan dalam pada luka sembari melakukan debridement. Sampel tidak diambil dari jaringan yang telah mengalami nekrosis maupun pusat granulasi karena patogen penyebab akan lebih sulit terdeteksi.[1-3,5,19]