Diagnosis Salmonellosis
Diagnosis salmonellosis perlu dicurigai pada pasien yang mengeluhkan diare, demam, dan kram perut, disertai riwayat paparan terhadap makanan atau minuman yang diduga terkontaminasi bakteri Salmonella sp. Gejala biasanya mulai 6 jam sampai 6 hari setelah infeksi dan berlangsung 4-7 hari. Diagnosis salmonellosis dikonfirmasi berdasarkan bukti infeksi bakteri Salmonella pada pemeriksaan kultur feses.[1,2]
Anamnesis
Salmonellosis umumnya menimbulkan gejala gastroenteritis akut. Gejala yang sering timbul meliputi diare, nyeri abdomen, dan demam, dengan diare sebagai keluhan yang paling sering disampaikan oleh pasien. Gejala-gejala tersebut umumnya muncul dalam 6-72 jam setelah terinfeksi, dan dapat bertahan hingga 5-7 hari pada pasien imunokompeten.[2]
Kemudian, penyakit ini akan sembuh dengan sendirinya (self-limiting disease) apabila terjadi pada kelompok pasien imunokompeten. Sementara itu, pada populasi risiko tinggi, gejala dapat bertahan hingga beberapa minggu. Populasi risiko tinggi antara lain anak balita, lansia, dan pasien imunokompromais.[5]
Pada beberapa populasi dengan risiko tinggi, dapat terjadi infeksi invasif. Pada kelompok ini, gejala yang muncul sangat bervariasi sesuai dengan organ yang terkena. Salmonellosis invasif dapat menyebabkan bakteremia, osteomyelitis, dan meningitis. Pasien bisa datang dengan kejang demam non-spesifik dan infeksi saluran pernapasan bawah. Pada kasus infeksi invasif, gejala dapat menetap hingga 7-21 hari.[9,10]
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus salmonellosis, tidak didapatkan temuan yang spesifik dalam pemeriksaan fisik. Pada sebagian besar kasus salmonellosis non-invasif, temuan yang didapatkan sama seperti kasus gastroenteritis akut kebanyakan, yakni demam, nyeri abdomen, dan peningkatan peristaltik usus. Di sisi lain, pada kasus salmonellosis invasif, temuan pemeriksaan fisik bervariasi sesuai organ yang terlibat, misalnya tanda rangsang meningeal akibat meningitis.[6]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari salmonellosis meliputi infeksi Campylobacter jejuni, shigellosis, dan infeksi Escherichia coli.
Infeksi Campylobacter jejuni
Infeksi Campylobacter jejuni ditandai oleh adanya gejala prodromal berupa demam, nyeri kepala, dan mialgia, yang kemudian diikuti oleh nyeri abdomen akut terutama pada kuadran kanan atas. Ditemukannya spesimen Campylobacter jejuni pada kultur feses menjadi pembeda antara infeksi ini dengan salmonellosis.[10,15]
Shigellosis
Shigellosis ditandai oleh adanya acute bloody diarrhea disertai demam, nyeri abdomen, dan tenesmus. Selain adanya bloody diarrhea, secara klinis, pasien shigellosis akan tampak sakit berat apabila dibandingkan dengan salmonellosis. Hal inilah yang membuat shigellosis disebut sebagai “lying down diarrhea”.[11]
Infeksi Escherichia coli
Infeksi Escherichia coli ditandai oleh adanya demam, nyeri abdomen, dan bloody diarrhea. Infeksi ini dibedakan dengan salmonellosis melalui hasil pemeriksaan klinis, yaitu adanya bloody diarrhea dan tidak ditemukannya Salmonella sp pada pemeriksaan feses.[6]
Pemeriksaan Penunjang
Secara umum, penegakan diagnosis Salmonellosis dapat dilakukan secara klinis. Hanya saja, terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengonfirmasi etiologi penyakit.
Kultur feses dapat dilakukan untuk memastikan adanya kuman Salmonella sp. Kultur dilakukan pada media SS agar, bismuth sulfite agar, Hektoen Enteric medium (HE), Brilliant Green agar, dan Xylose-Lysine-Deoxycholate (XLD) agar.
Selain itu, salmonellosis juga dapat dikonfirmasi melalui uji biokimiawi, seperti sugar fermentation test, decarboxylation and dehydrogenation reactions, dan hydrogen sulphide production. Di sisi lain, uji serologi hanya dilakukan pada kondisi outbreak.[1,2]