Penatalaksanaan Demam Tifoid
Penatalaksanaan definitif demam tifoid adalah antibiotik spesifik untuk Salmonella typhi sesuai dengan profil sensitivitas tiap area endemik. Kasus ringan dapat dirawat jalan di rumah dengan pemberian antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan tanda komplikasi dan gejala klinis signifikan seperti muntah dengan tanda dehidrasi, diare berat, disentri dan tanda kegawatan abdomen harus dirawat inap.
Kriteria Pasien Rawat Jalan
Ada berbagai kriteria yang harus dipenuhi sebelum memutuskan bahwa pasien demam tifoid dapat menjalani rawat jalan di rumah.
Persyaratan perawatan rawat jalan tersebut antara lain adalah :
- Penderita memiliki gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda komplikasi dan penderita tidak memiliki komorbid yang membahayakan
- Penderita dalam keadaan compos mentis (sadar penuh), serta dapat makan dan minum dengan baik
- Pasien dan keluarga memiliki pengetahuan yang cukup mengenai tata cara perawatan demam tifoid serta tanda bahaya yang harus dipantau
- Rumah tangga penderita dapat memenuhi persyaratan yang baik dalam melaksanakan pembuangan ekskreta (muntahan, feses, urin)
- Penderita dan keluarga bersedia menjalani program pengobatan yang dianjurkan oleh dokter[9]
Terapi Antibiotik
Penatalaksanaan dengan antibiotik merupakan terapi definitif untuk demam tifoid. Pemberian antibiotik berhubungan dengan penurunan risiko komplikasi berat pada pasien demam tifoid. Modalitas pilihan antibiotik pada demam tifoid tergantung sensitivitas organisme terhadap antibiotik. Saat ini terapi demam tifoid menjadi lebih sulit karena mulai berkembangnya strain Salmonella typhi yang resistan obat terutama di India dan negara Asia tenggara.[1]
Pilihan Antibiotik Demam Tifoid pada Dewasa
Dulu pilihan antibiotik utama untuk terapi demam tifoid adalah chloramphenicol, ampisilin dan co-trimoxazole. Akan tetapi, saat ini telah banyak ditemukan strain MDR Salmonella typhi yang resistan terhadap obat-obatan tersebut.
Saat ini, antibiotik yang paling sering digunakan dan terbukti efektif sebagai pilihan terapi utama pada demam tifoid adalah golongan fluorokuinolon, seperti ciprofloxacin. Terapi ini mendapat pengecualian, yaitu bukti strain yang dihadapi resistan terhadap fluorokuinolon.[4]
Fluorokuinolon merupakan antibiotik pilihan utama pada demam tifoid pasien dewasa dengan angka kesembuhan hingga 98%, serta angka relaps dan karier kronik <2%. Antibiotik fluorokuinolon yang paling efektif adalah ciprofloxacin dengan dosis 500 mg per oral dua kali sehari selama 5–7 hari.[1,3]
Selain fluorokuinolon, amoxicillin 750 mg peroral 4 kali sehari selama 2 minggu, trimethoprim-sulfamethoxazole 160 mg dua kali sehari selama 2 minggu dan chloramphenicol 500 mg 4 kali sehari selama 2-3 minggu dapat menjadi alternatif terapi pada pasien dewasa yang masih sensitif terhadap obat-obatan tersebut.[1]
Pilihan Antibiotik Demam Tifoid pada Anak
Saat ini pada pasien anak, pilihan terapi demam tifoid yang umum digunakan adalah chloramphenicol peroral selama 10–14 hari. Dosis chloramphenicol untuk anak berusia 1-12 tahun adalah 50–100 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi, sedangkan anak berusia ≥ 13 tahun, dosisnya adalah 4 gram/hari dalam 4 dosis terbagi.[5,15]
Tetapi berdasarkan studi, penggunaan sefalosporin generasi ketiga dapat menjadi alternatif pilihan terapi. Hal ini karena, studi menunjukkan bahwa penggunaan sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone dengan dosis 75 mg/kg sehari sekali terbukti lebih efektif sebagai terapi demam tifoid dibanding kloramfenikol pada anak.[5,15]
Pilihan Antibiotik pada Infeksi Tifoid Multidrug-Resistant (MDR)
Pada pasien yang diketahui memiliki multidrug-resistant (MDR) dari hasil kultur, pilihan terapi antibiotik utamanya adalah sefalosporin generasi ketiga (seperti ceftriaxone, cefotaxime, dan cefixime 2g sekali sehari selama 2 minggu) dan azithromycin.
Selain itu, fluorokuinolon seperti ciprofloxacin dapat menjadi alternatif terapi. Tingkat kegagalan terapi pada kondisi ini adalah 5% hingga 10%, dengan angka relaps hingga 3% sampai 6%.[1]
Pilihan Antibiotik pada Infeksi Tifoid Extremely Drug-Resistant (XDR) Strains
Pasien dengan infeksi salmonella extremely drug-resistant (XDR) strains umumnya resistan terhadap ampisilin, ceftriaxone, chloramphenicol, ciprofloxacin, and trimethoprim-sulfamethoxazole. Akan tetapi, kelompok XDR ini sensitif terhadap azithromycin dan karbapenem.
Pada kasus berat atau dengan komplikasi, antibiotik yang menjadi pilihan utama adalah golongan karbapenem, seperti meropenem. Bila pasien belum membaik dengan pemberian carbapenem, antibiotik dapat diberikan dalam bentuk kombinasi dua obat dengan azitromisin.[2,16]
Terapi Tambahan Lainnya
Selain pemberian antibiotik, terapi simptomatik dan terapi suportif juga sangat penting diberikan. Terapi meliputi hidrasi adekuat pada pasien dengan gejala diare, mempertahankan oksigenasi dan ventilasi adekuat pada pasien dengan komplikasi pulmonal, serta pemberian analgesik dan antipiretik sesuai kebutuhan. Bila terjadi komplikasi berupa ensefalitis, pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan.[1]
Dosis kortikosteroid (dexamethasone) yang diberikan adalah 3 mg/kgBB dan kemudian 1 mg/kgBB setiap 6 jam yang diberikan selama 2 hari. Bila terjadi komplikasi berupa peritonitis maupun perforasi ileum, Tindakan pembedahan dapat diindikasikan.[1,15]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli