Prognosis Demam Tifoid
Prognosis demam tifoid biasanya lebih baik dengan terapi definitif, yaitu antibiotik untuk Salmonella typhi. Di Indonesia, case fatality rate untuk infeksi tifoid mencapai 1,25%. Bila tidak menerima terapi yang adekuat, dapat terjadi berbagai komplikasi berat pada pasien demam tifoid, seperti perforasi saluran cerna, pneumonia dan ensefalitis.[1,18,23]
Komplikasi
Demam tifoid bila tidak ditangani secara tepat, akan mengalami komplikasi, di mana yang paling sering adalah sistem gastrointestinal. Contoh komplikasi sistem gastrointestinal antara lain adalah obstruksi lumen usus, disentri dan konstipasi. Pada kasus berat dapat terjadi ulserasi dan perdarahan. Selanjutnya setelah terjadi ulserasi, ileum dapat mengalami perforasi.[1,17]
Berdasarkan studi, perforasi saluran cerna merupakan komplikasi utama penyebab mortalitas pada demam tifoid terutama di negara Afrika. Sebanyak 1 dari 5 pasien dengan komplikasi perforasi saluran cerna mengalami kematian.[1,17]
Komplikasi lainnya untuk demam tifoid adalah septikemia yang dapat berkembang menjadi kegagalan multiorgan luas. Komplikasi pada organ hepar dapat terjadi komplikasi berupa hepatitis, abses hepar dan lien.[1]
Komplikasi di sistem saraf pusat pada demam tifoid adalah ensefalopati dengan mortalitas hingga 55%. Komplikasi sistem saraf pusat lainnya adalah gangguan tidur, psikotik akut, myelitis, meningitis, rigiditas otot, dan defisit neurologis fokal. Komplikasi sistem pernapasan antara lain pneumonia (jarang), abses paru, empyema, dan pembentukan fistula bronkopleural.[1]
Prognosis
Saat ini prognosis demam tifoid telah jauh membaik setelah penemuan antibiotik sebagai terapi definitif demam tifoid. Meski demikian, hingga saat ini demam tifoid masih menjadi beban mortalitas dan morbiditas mayor pada negara di daerah Asia Selatan dan Afrika. Mortalitas global demam tifoid saat ini kurang dari 1%.[1]
Salah satu penyebab utama luaran yang buruk pada pasien demam tifoid adalah keterlambatan penanganan karena sering tidak terdiagnosa akibat tersamarkan dengan kondisi medis lain. Pemberian antibiotik empiris yang tidak sesuai dengan profil sensitivitas strain salmonella setempat juga dapat berisiko luaran klinis yang buruk.[18]
Demam tifoid dapat berlanjut hingga minggu ke–3 dan 4 bila tidak mendapat terapi definitif yang sesuai. Pada kondisi ini, mortalitas berkisar antara 12% dan 30%. Relaps muncul pada 10% yang tidak diterapi dalam 1–3 minggu setelah fase penyembuhan penyakit, tetapi umumnya sakit yang diderita lebih ringan. Pasien tersebut selanjutnya dapat menjadi karier kronik, di mana feses dan urin pasien terkontaminasi bakteri salmonella yang dapat bertahan hingga lebih dari 1 tahun.[2]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli