Panduan E-Prescription Alomedika Demam Tifoid
Panduan e-Prescription untuk demam tifoid ini dapat digunakan oleh Dokter Umum saat hendak memberikan terapi medikamentosa secara online.
Demam tifoid adalah penyakit bakterial sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enterica serovar typhi (Salmonella typhi) dan paratyphi (Salmonella paratyphi) A, B, dan C. Penyakit ini banyak dialami terutama oleh anak-anak usia di bawah 18 tahun. Demam tifoid ditularkan secara fecal-oral melalui kontak dengan makanan yang terkontaminasi, air yang tidak bersih, cairan tubuh penderita lain, dan terutama terjadi di area padat penduduk dengan sanitasi yang buruk.[1,2]
Tanda dan Gejala
Pada anamnesis, tanda dan gejala demam tifoid sering ditemukan demam step ladder dengan gejala gastrointestinal, seperti mual, muntah, dan diare. Tanda dan gejala demam tifoid biasanya muncul setelah masa inkubasi bakteri sekitar 7–14 hari dan bervariatif berdasarkan onset munculnya gejala.[1–3]
Minggu 1
Pada minggu pertama, seringkali gejala yang muncul meliputi demam hingga epistaksis, nyeri kepala, pusing, mialgia, anoreksia. Selain itu, terdapat pula gejala gangguan pencernaan seperti mual, muntah, diare, dan rasa tidak nyaman diperut. Pada demam tifoid, gejala demam memiliki pola intermittent atau sering disebut sebagai pola demam step ladder. Demam biasanya muncul pada sore hingga malam hari dan suhu tubuh akan turun pada pagi hingga siang hari. Selain itu, demam pada minggu pertama seringkali disertai dengan bradikardi relatif.[1,2]
Minggu 2
Pada minggu kedua, gejala bradikardi relatif semakin jelas dirasakan. Selain itu, gejala dapat juga disertai dengan typhoid tongue, hepatomegali, splenomegali, dan meteorismus. Pemeriksaan fisik pada kulit ditemukan rose spot pada bagian dada, hingga perubahan status mental (dari somnolen hingga koma dan psikosis).[1,3]
Kondisi demam tifoid berat seringkali muncul pada minggu kedua atau lebih. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh penanganan yang tidak adekuat sebelumnya. Beberapa komplikasi dari demam tifoid diantaranya ensefalopati tifoid, syok sepsis, perdarahan dan perforasi intestinal, peritonitis, hingga perikarditis.[3,4]
Peringatan
Perlu diperhatikan bahwa penanganan demam tifoid harus segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian terapi yang terlambat (lebih 2 minggu dari onset gejala) dapat menyebabkan munculnya berbagai komplikasi demam tifoid. Apabila penderita mengalami tanda bahaya, segera bawa ke rumah sakit untuk penanganan lanjutan. Beberapa tanda bahaya untuk demam tifoid adalah:
- Distensi abdomen
- Nyeri tekan seluruh lapang abdomen
- Takipnea disertai adanya ronkhi pada basal paru
Batuk kering
- Kaku kuduk
- Pemeriksaan brudzinski sign positif
-
Penurunan kesadaran hingga psikosis
Nyeri dada[2,5]
Demam tifoid dapat relaps pada 5–10% orang setelah 2–3 minggu bebas demam. Walaupun tanda dan gejala yang muncul biasanya ringan, kondisi ini tetap perlu diwaspadai. Selain itu, karena penyakit demam tifoid ditularkan secara fecal-oral, edukasi terkait perilaku hidup bersih dan sehat perlu dilakukan disertai pemberian vaksin pada area endemis, termasuk Indonesia sejak usia 2 tahun.[5,7]
Medikamentosa
Terapi pada demam tifoid dilakukan dengan pemberian antibiotik dan obat simptomatis seperti obat antipiretik, antiemetik, dan vitamin untuk mengurangi keluhan yang dirasakan penderita.[3]
Terapi Suportif
Selain pemberian obat-obatan yang adekuat, penderita demam tifoid juga perlu melakukan beberapa hal berikut untuk membantu proses pemulihan kondisinya, diantaranya :
- Tirah baring
- Pemenuhan kebutuhan cairan yang adekuat
- Pemberian diet tinggi kalori, tinggi protein, dan rendah serat[3,5]
Diet yang direkomendasikan untuk pasien dengan demam tifoid dengan keadaan umum baik adalah diet padat atau tim (padat dini). Sedangkan bubur dan diet cair direkomendasikan pada pasien dengan keadaan klinis berat, kemudian diubah bertahap sesuai klinis.[3]
Antibiotik
Antibiotik pada demam tifoid diberikan sebagai terapi definitif, baik pada pasien dewasa maupun anak, dan disesuaikan dengan kondisi penderita. Terapi lini pertama pada demam tifoid adalah chloramphenicol, cotrimoxazole, dan amoxicillin (terutama untuk ibu hamil).
Akan tetapi, karena tingginya angka resistensi maka antibiotik golongan kuinolon dan cephalosporin yang dianggap efektif untuk orang dewasa. Pasien anak tidak direkomendasikan mendapat ciprofloxacin, karena risiko lesi kartilago permanen pada kelompok usia ini. Chloramphenicol atau thiamphenicol menjadi pengobatan lini awal demam tifoid pada anak.[1,3,8]
Dewasa:
Rekomendasi antibiotik pada demam tifoid pasien dewasa dapat dipilih salah satu di bawah ini:
Cefixime: dosis 200 mg/hari, selama 7–14 hari
Chloramphenicol: dosis 500 mg diberikan 4 kali/hari, selama 14 hari
Thiamphenicol: dosis 1,5 g/hari dalam dosis terbagi, selama 7–10 hari
Amoxicillin: dosis 4 gram/hari dibagi menjadi 3 dosis dan diberikan per 8 jam, selama 10 hari
Cotrimoxazol (trimetoprim dan sulfametoxazole): dosis 2 kali 960 mg per hari (trimetoprim 160 mg dan sulfametoxazole 800 mg) selama 2 minggu
Ciprofloxacin: dosis 2 kali 500 mg per hari, selama 7–10 hari[1,3]
Anak:
Rekomendasi antibiotik pada demam tifoid pasien anak dapat dipilih salah satu di bawah ini:
- Cefixime: dosis 20 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 kali sehari, selama 10 hari
- Chloramphenicol: dosis 50–100 mg/kgBB/hari, 4 kali sehari (dosis maksimal 2 gram/hari), selama 10–14 hari
- Thiamphenicol: dosis 30–100 mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis terbagi 3‒4 kali sehari, selama 7–10 hari
- Amoxicillin: dosis 100 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi per 8 jam, selama 10 hari
- Cotrimoxazol (trimetoprim dan sulfametoxazole): dosis trimetoprim 6–10 mg/kgBB/hari dan sulfametoxazole 30–50 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2 kali sehari, selama 10 hari[1,3]
Antipiretik
Antipiretik diberikan berdasarkan klinis, apabila didapatkan demam >38 derajat Celsius dengan keadaan umum seperti iritabilitas maupun bayi/anak tampak lemas atau kesakitan. Hal ini karena, terapi definitif sudah diberikan sebagai tata laksana utama. Antipiretik yang direkomendasikan adalah paracetamol atau ibuprofen.[1,3,9]
Paracetamol:
- Dewasa dengan dosis 1000 mg per kali pemberian, 4 kali sehari, sesuai kebutuhan, dengan dosis maksimum 4000 mg
- Anak dengan dosis 15 mg/kgBB per kali pemberian, 4 kali sehari
Ibuprofen
- Dewasa dengan dosis 200–800 mg per kali pemberian, 4 kali sehari
- Anak dengan dosis 4–10 mg/kgBB per kali pemberian, 3–4 kali sehari[1,3]
Antiemetik
Pilihan antiemetik yang dapat diberikan adalah salah satu dari di bawah ini:
Ondansetron:
- Dewasa dengan dosis 4–8 mg per pemberian, 2–3 kali sehari, sesuai kebutuhan
- Anak dengan dosis maksimal 0,15 mg/kgBB per pemberian, 2–3 kali sehari[1,3]
Metoklopramid:
- Dewasa dengan dosis 10 mg per pemberian, 3 kali sehari
- Anak dengan dosis 0,15 mg/kgBB per pemberian, 3 kali sehari[1,3]
Domperidon:
- Dewasa dengan dosis 10 mg per pemberian, maksimal 3 kali sehari, selama 7 hari
- Anak dengan dosis 0,25 mg/kgBB per pemberian, 1 kali sehari, maksimal 3 kali pemberian[1,3]
Pemberian pada Ibu Hamil
Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa penggunaan obat–obatan golongan cephalosporin, seperti cefixime aman digunakan pada kehamilan. Hal ini juga berlaku untuk penggunaan ampicillin dan amoksisilin yang dinilai aman untuk ibu hamil karena masuk dalam kategori B pada FDA [6].
Penggunaan antibiotik chloramphenicol, cotrimoxazole, dan ciprofloxacin ternyata tidak disarankan pada kehamilan karena masuk kategori C dan D. Beberapa efek samping yang dapat muncul diantaranya gray baby syndrome, diskrasia darah pada ibu, hingga cacat pada janin.[6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli