Epidemiologi Gangguan Tidur
Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi gangguan tidur berbeda-beda tergantung jenisnya. Dalam sebuah studi dengan sampel pasien diabetes, 61% partisipan melaporkan kesulitan tidur. Dalam studi tersebut, 47% pasien memiliki hasil skrining positif memiliki restless leg syndrome dan 51% berisiko mengalami obstructive sleep apnea.[1]
Global
Secara global, diperkirakan sepertiga populasi pernah mengalami insomnia. Mereka yang mengalami gejala yang cukup berat sampai mengganggu fungsi diperkirakan mencapai 10% populasi dengan prevalensi pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki (17,6% vs. 10,1%).
Sementara itu, sleep disordered breathing adalah masalah yang relatif sering ditemukan pada lansia dengan prevalensi mencapai 50%. Gangguan irama sirkadian adalah gangguan tidur yang relatif jarang ditemukan, dengan prevalensi 0,13-0,17%.[1,5]
Indonesia
Di Indonesia, penelitian epidemiolog mengenai gangguan tidur masih sangat jarang. Penelitian oleh Nuraini et al melaporkan prevalensi gangguan tidur pada remaja di Indonesia adalah 38% untuk remaja di daerah urban dan 37,7% di daerah suburban. Namun penelitian ini menggunakan instrumen self report dan metode potong lintang.[15]
Sementara itu, penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa prevalensi penderita insomnia umur ≥19 tahun di Indonesia adalah sebesar 43,7%.[16]
Mortalitas
Gangguan tidur tidak secara langsung menyebabkan kematian. Meski demikian, kurang tidur dapat menurunkan performa kognisi dan konsentrasi seseorang. Hal ini akan meningkatkan risiko kecelakaan industri atau kendaraan bermotor, penurunan performa kerja, dan disfungsi kognitif. Kurang tidur juga meningkatkan risiko pasien mengalami gangguan mood, kecemasan, dan memiliki false memory.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ