Penatalaksanaan Kleptomania
Sampai saat ini, bukti ilmiah yang dapat dijadikan basis penatalaksanaan kleptomania masih sangat terbatas. Belum ada satu obat pun yang secara spesifik disetujui untuk terapi kleptomania. Meski begitu, secara umum diyakini bahwa kombinasi psikofarmaka dan psikoterapi seperti cognitive behavioral therapy akan meningkatkan efikasi terapi.[4,6]
Terapi Psikofarmaka
Beberapa obat yang telah digunakan sebagai terapi gangguan obsesif kompulsif, adiksi, dan gangguan kontrol impuls dicobakan pada kasus kleptomania. Psikofarmaka yang menunjukkan perbaikan gejala meliputi obat golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti fluoxetine, fluvoxamine, dan paroxetine. Selain itu, antagonis opioid naltrexone; serta topiramate, lithium, asam valproat, trazodone, dan terapi elektro konvulsan juga dapat digunakan. Akan tetapi, penggunaan SSRI sebagai terapi kleptomania masih menuai kontroversi, karena pada beberapa kasus gejala kleptomania justru muncul setelah pasien mengonsumsi SSRI.
Naltrexone merupakan antagonis opioid yang bekerja dengan cara menghambat pelepasan dopamin yang dimediasi oleh opioid. Naltrexone merupakan obat yang biasa digunakan sebagai terapi adiksi alkohol dan adiksi perilaku. Studi menunjukkan bahwa naltrexone dapat mengurangi gejala kleptomania secara signifikan. Dosis naltrexone yang direkomendasikan adalah 50 mg sampai 150 mg per hari.
Topiramate merupakan antiepilepsi yang dilaporkan dapat memberikan perbaikan gejala pada pasien kleptomania. Dosis yang direkomendasikan adalah 200 mg sampai 400 mg per hari.
Pemilihan terapi psikofarmaka dapat mempertimbangkan komorbid yang dimiliki oleh pasien. Sebagai contoh, pada pasien dengan depresi, SSRI dapat menjadi pilihan terapi utama. Pada pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat, naltrexone dapat menjadi pilihan.[1,4,6,7,12-14]
Psikoterapi
Psikoterapi memegang peranan penting dalam tata laksana kleptomania. Cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan metode yang paling umum digunakan. Beberapa pendekatan yang bisa dipilih antara lain covert sensitization, terapi aversi, dan desensitisasi.
Pada covert sensitization, pasien diajarkan untuk mengurangi keinginan mencuri dengan cara membayangkan dampak negatif yang dapat muncul setelahnya, seperti tertangkap saat mencuri.
Terapi aversi merupakan upaya untuk mengkaitkan tindakan mencuri dengan suatu hal yang memberikan rasa tidak nyaman. Sebagai contoh, pasien diminta untuk menahan nafas setiap kali keinginan mencuri timbul. Selanjutnya, ,strategi desensitisasi yaitu pasien diminta membayangkan situasi ketika keinginan mencuri muncul, lalu pasien diajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi ketegangan pada situasi tersebut.[1,4,6,7,12-14]