Patofisiologi Disfagia
Patofisiologi disfagia dapat dibagi menjadi dua mekanisme utama berdasarkan penyebabnya, yaitu adanya kelainan struktural dan adanya gangguan motilitas saluran cerna. Disfagia adalah perasaan subjektif terkait gangguan dalam perjalanan makanan dari orofaring ke lambung. Disfagia dapat menandakan adanya keterlambatan sebenarnya dalam transit bolus, tetapi juga bisa hanya sensasinya saja.
Proses menelan merupakan suatu proses kompleks dimana makanan atau cairan bergerak dari mulut ke lambung. Proses menelan melibatkan gerakan kontraksi dan relaksasi otot lurik orofaring dan ⅓ bagian atas esofagus; otot polos pada ⅔ bagian bawah esofagus; serta neuron motorik batang otak dan persarafan otonom. Kelainan dari salah satu komponen ini dapat menyebabkan keluhan disfagia.[1,2]
Fisiologi Menelan
Proses menelan atau deglutinasi merupakan proses memindahkan makanan atau minuman dari rongga mulut menuju lambung. Proses ini terdiri dari 3 fase, yaitu fase oral, faringeal, dan esofageal. Gangguan pada fase oral dan faringeal dikenal sebagai disfagia orofaringeal, sedangkan gangguan pada fase esofageal dikenal sebagai disfagia esofageal.
Fase Oral
Pada fase ini, makanan di dalam rongga mulut diubah menjadi bolus dan bercampur dengan saliva untuk memudahkan saat ditelan. Bolus akan didorong menuju faring oleh lidah yang bersentuhan dengan palatum durum. Otot-otot yang bekerja pada fase ini adalah otot lurik yang bekerja secara sadar.
Fase Faringeal
Bolus yang masuk ke dalam faring dari rongga mulut akan mengaktivasi refleks menelan. Hal ini meliputi penutupan nasofaring dan laring, kontraksi dari otot-otot faringeal, serta relaksasi dari sfingter esofagus atas. Proses ini memungkinkan bolus untuk masuk ke dalam esofagus dan mencegah masuknya makanan ke dalam saluran pernapasan. Nervus kranialis yang berperan dalam proses ini adalah nervus IX, X, XII.
Fase Esofageal
Pada fase ini, makanan di esofagus akan didorong dengan gerakan peristaltik. Sfingter esofagus bawah akan mengalami relaksasi dan menyalurkan bolus dari esofagus menuju lambung. Otot yang bekerja dipersarafi oleh nervus X.[3,6]
Patofisiologi Disfagia
Sekitar lebih dari 85% disfagia esofageal disebabkan oleh kelainan struktural. Kelainan struktural menyebabkan penyempitan pada lumen saluran cerna bagian atas sehingga makanan akan sulit melewatinya. Pada kondisi ini, keluhan disfagia biasanya muncul pada saat pasien mengonsumsi makanan padat.
Banyak kondisi yang dapat mendasarinya, seperti proses inflamasi, terbentuknya striktur, tumor esofagus, serta penekanan dari struktur eksternal. Kompresi esofagus dari struktur di sekitarnya bisa disebabkan karena pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran kelenjar getah bening, tumor kepala leher, tumor paru-paru, atau aneurisma aorta.[2,6]
Diperkirakan 80% disfagia orofaringeal disebabkan oleh kelainan neuromuskular yang berpengaruh terhadap fungsi motilitas. Lesi pada korteks serebri atau batang otak dapat menyebabkan kelemahan otot mastikasi dan otot faringeal, penurunan fungsi sensorik, refleks menelan yang tertunda, serta kelemahan otot-otot laring. Keluhan biasanya muncul tidak hanya saat konsumsi makanan padat, tetapi juga saat konsumsi makanan cair.[5,6]
Gangguan fungsi motilitas pada disfagia dapat berupa penurunan atau peningkatan motilitas. Penurunan motilitas dapat disebabkan oleh kelainan neuromuskular atau kelainan sistemik seperti stroke, penyakit Parkinson, hipotiroid, atau penyakit autoimun.
Hipermotilitas dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada saraf yang berperan dalam inhibisi peristaltik, sehingga gerakan peristaltik esofagus menjadi tidak beraturan dan tidak efektif. Hal ini dapat terjadi pada kondisi akalasia atau spasme difus.[2,6]
Pada pasien dengan disfagia, terganggunya proses menelan meningkatkan risiko terjadinya penetrasi atau aspirasi makanan ke dalam saluran napas. Penetrasi terjadi bila bolus memasuki vestibulum laringeal tetapi tidak sampai ke dalam trakea, sementara aspirasi merupakan masuknya bolus ke dalam trakea dan paru-paru.
Hal ini terutama sering terjadi pada pasien dengan disfagia orofaringeal akibat penurunan sensori pada laring sehingga tidak bisa memberikan refleks batuk untuk mengeluarkan benda asing di saluran napas.[3,5]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini