Patofisiologi Furunkel Hidung
Patofisiologi furunkel hidung berkaitan dengan infeksi bakteri, terutama Staphylococcus aureus. Furunkulosis nasal merupakan infeksi lokal pada vestibulum hidung, yang dapat terjadi secara primer, yaitu pada kulit sehat, atau sekunder, yaitu akibat rhinorrhea kronik atau kebiasaan mengorek hidung.
Infeksi oleh Flora Normal Kulit
Furunkel merupakan salah satu jenis infeksi pada kulit yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen. Furunkel dapat muncul pada area tubuh manapun, termasuk hidung. Furunkel pada hidung terjadi pada area vestibulum yang merupakan bagian anterior dari kavum nasi. Area vestibulum terdiri dari lapisan epitel keratinized stratified squamous dengan folikel-folikel rambut yang sangat banyak.
Penyebab tersering dari furunkel hidung adalah Staphylococcus aureus (S. aureus). Bakteri ini dapat menghindari sistem pertahanan tubuh dengan berbagai cara, antara lain menghasilkan kapsul antifagositik, menyebabkan isolasi antibodi pejamu atau antigen masking yang diperantarai protein A, dan formasi biofilm. S. aureus juga dapat menghambat kemotaksis leukosit.
Mikroba-mikroba tersebut dapat menimbulkan masalah apabila terdapat gangguan atau kerusakan pada epitel hidung, yang dapat dipicu oleh kebiasaan-kebiasaan seperti menggaruk atau mengorek hidung, mencabut bulu hidung, dan tindik hidung. Kebiasaan menggosok-gosok hidung pada rhinitis alergi juga dapat memicu trauma pada epitel.
Infeksi nantinya menyebabkan nekrosis jaringan dan menghasilkan pus yang mengisi rongga kosong di bawah permukaan kulit. Apabila sekumpulan furunkel membentuk satu benjolan besar, maka disebut sebagai karbunkel. Jika tidak diberikan terapi dengan adekuat, furunkulosis dapat berkembang menjadi selulitis atau cavernous sinus thrombosis.[1,2,7]
Klasifikasi Furunkel Hidung
Berdasarkan kondisi kulit sebelum infeksi, furunkel hidung terbagi menjadi primer dan sekunder. Furunkel primer terjadi pada kulit yang sehat. Furunkel sekunder terjadi pada kulit yang telah mengalami kerusakan, misalnya akibat trauma atau penyakit lain, seperti ulserasi, rhinorrhea kronik, atau keadaan inflamasi kulit.[8,9]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra