Diagnosis Ruptur Uretra
Diagnosis ruptur uretra dapat dicurigai dari mekanisme terjadinya trauma sekitar area perut bawah atau selangkangan, serta adanya gejala secara klinis seperti keluhan berkemih, hematuria, hingga hilangnya kemampuan berkemih. Kecurigaan ini harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik, terutama untuk mengevaluasi adanya darah pada meatus uretra, butterfly hematoma, high riding prostate. Diagnosis ruptur uretra sendiri ditegakkan dengan baku emas uretrografi retrograde.
Diagnosis ruptur uretra harus mengutamakan airway, breathing, dan circulation, mengingat ruptur uretra sering disertai dengan cedera lainnya yang mungkin dapat mengancam nyawa, seperti perdarahan intraabdomen maupun fraktur pelvis yang instabil. Penilaian hemodinamik harus diutamakan pada saat pasien datang.
Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menggali kemungkinan terjadinya ruptur uretra, terutama pada pasien trauma seperti fraktur pelvis, cedera area selangkangan, ataupun trauma tembus di area sekitar uretra. Anamnesis yang perlu digali untuk meningkatkan kecurigaan ruptur uretra, antara lain seperti kejadian kecelakaan yang melibatkan trauma area pelvis dan adanya trauma eksternal pada area kemaluan.
Selain itu, keluhan berkemih, seperti kapan terakhir berkemih, pancaran urin, nyeri, adanya darah, atau malah menjadi tidak bisa berkemih juga perlu ditanyakan. Untuk luka tembak, perlu digali jenis senjata dan peluru yang digunakan untuk menilai potensi kerusakan jaringan yang terjadi.[1,2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ruptur uretra ditekankan pada penemuan klinis, seperti adanya darah pada meatus uretra dan/atau introitus vagina, hematoma, hematuria, dan high riding prostate pada pemeriksaan colok dubur atau rectal toucher.[1,2]
Darah pada Meatus Uretra dan/atau Introitus Vagina
Adanya darah pada meatus uretra adalah tanda kardinal cedera uretra. Tanda ini ditemukan pada 37–93% pasien dengan cedera uretra posterior dan ≥75% pasien dengan cedera uretra posterior.
Bila terdapat darah pada meatus uretra, instrumentasi apapun melalui uretra seperti kateterisasi hanya dapat dilakukan bila uretra sudah divisualisasi melalui pencitraan, seperti uretrografi retrograd. Khusus pasien wanita, pada >80% pasien cedera uretra terkait fraktur pelvis ditemukan darah di introitus vagina pada pemeriksaan fisik.[1]
Hematoma
Pada kasus ruptur uretra anterior, pola hematoma menunjukkan batas anatomis luka tersebut. Jika ekstravasasi darah dan/atau urin terjadi sepanjang korpus penis, maka lokasi ruptur masih di dalam fascia Buck, berarti fascia Buck masih intak.
Sementara jika ada kerusakan fascia Buck berarti darah akan terekstravasasi lebih luas, dibatasi fascia Colles, sehingga membentuk pola hematoma kupu-kupu di perineum (butterfly hematoma). Munculnya hematoma ini bisa tertunda, >1 jam setelah trauma. Akan tetapi, khusus pasien wanita, ekstravasasi urin harus dicurigai pada pasien trauma pelvis cukup dengan ditemukannya pembengkakan labia.[1,4]
Hematuria
Hematuria saat berkemih pertama setelah trauma dapat menjadi tanda cedera uretra, meskipun sebenarnya hematuria ini adalah tanda klinis nonspesifik. Perlu dicatat bahwa banyak–sedikitnya hematuria tidak berhubungan dengan keparahan cedera uretra.
Hematuria dalam jumlah banyak mungkin ditemukan pada kontusio mukosa uretra atau ruptur uretra parsial, sementara hematuria dalam jumlah sedikit tetap dapat ditemukan pada ruptur komplit uretra.[1]
High Riding Prostate atau Prostat Letak Tinggi
High riding prostate adalah kondisi prostat dan kandung kemih terpisah dari uretra pars membranosa sehingga prostat tergantung ke posisi yang lebih tinggi dari normalnya. Namun demikian, temuan klinis high riding prostate kurang dapat diandalkan karena risiko positif palsu yang tinggi pada pasien obesitas atau dengan hematoma pelvis sehingga menyulitkan palpasi. Oleh karena itu, tidak ditemukannya high riding prostate tidak menyingkirkan kecurigaan ruptur uretra.[1,2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding ruptur uretra adalah trauma uretra lainnya yaitu kontusio uretra, hematoma retroperitoneal, ruptur buli (vesika urinaria), fraktur pelvis tanpa ruptur uretra, serta cedera genitalia eksterna tanpa ruptur uretra.[7]
Secara klinis, diagnosis banding tersebut dapat memiliki manifestasi klinis dengan ruptur uretra, seperti dapat ditemukan darah pada meatus uretra, hematoma area genital dan pelvis, serta kesulitan pemasangan kateter. Untuk itu, perlu dilakukan uretrografi retrograde untuk membedakan ruptur uretra dengan diagnosis banding lainnya.[1,4]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang uretrografi retrograde adalah baku emas menegakkan diagnosis ruptur uretra. Namun demikian, pencitraan lain pun dapat berperan untuk kasus ruptur uretra, seperti ultrasonografi, magnetic resonance imaging (MRI), computed tomography (CT) scan, dan ureteroskopi pada wanita; meskipun peranannya bukan pada diagnosis awal.[1]
Pemeriksaan pencitraan bertujuan menegakkan diagnosis cedera uretra dan membaginya ke dalam staging yang dijabarkan dalam tabel 1.
Tabel 1. Staging Cedera Uretra
Uretra Anterior | Ruptur parsial |
Ruptur komplit | |
Uretra Posterior | Meregang tapi intak (stretched but intact) |
Ruptur parsial | |
Ruptur komplit | |
Kompleks (melibatkan leher kandung kemih / rektum) |
Sumber: dr. Alexandra[2,4]
Uretrografi Retrograd (Uretrogram)
Uretrografi retrograde adalah baku emas dalam menegakkan ruptur uretra. Foto pelvis untuk mendeteksi fraktur, pecahan fragmen tulang, adanya benda asing, harus dilakukan terlebih dahulu sebelum uretrografi retrograde dilakukan. Hal ini karena adanya kontras pada uretrografi retrograde yang akan menghalangi visualisasi lesi area pelvis, bila pemeriksaan dilakukan setelahnya.
Dalam prosesnya, kateter Foley ukuran 12-14 F dipasang hingga fossa navicularis, balon kateter dikembungkan dengan 1-2 mL normal saline, kontras diinjeksikan via kateter ke uretra sebanyak 20-30 mL, kemudian foto rontgen (x-ray) diambil pada posisi oblik 30 derajat.
Gambar 3. Uretrogram pada Uretra Normal (Atas) dan Ruptur Uretra Posterior (Bawah). Sumber: Openi, 2015 dan Openi, 2009
Tentunya pemasangan kateter ini tidak selalu dapat dilakukan pada pasien trauma pelvis dan pasien dengan hemodinamik tidak stabil. Jika tidak dapat dilakukan, tunda uretrogram hingga pasien stabil, atau dapat dilakukan pemeriksaan serupa dengan kontras namun melalui kateter suprapubik (sistogram), atau bahkan keduanya (sistogram dan uretrogram) secara simultan.
Umumnya pemeriksaan simultan, yaitu uretrografi retrograd dan sistouretrografi antegrad ini menjadi pemeriksaan standar sebelum tata laksana operatif. Pemeriksaan ini dilakukan dalam 1 minggu pertama pasca trauma bila direncanakan untuk primary repair dan setelah 3 bulan bila direncanakan untuk delayed atau late repair.[1,2,4]
Bila terdapat ruptur uretra, tanda patognomoniknya adalah adanya cairan kontras yang ekstravasasi keluar uretra. Khasnya, ruptur uretra parsial ditegakkan bila terdapat ekstravasasi kontras uretra, tetapi kontras masih mengisi kandung kemih. Di sisi lain, hasil menunjukkan ruptur uretra komplit bila terdapat ekstravasasi kontras uretra tanpa adanya kontras yang mengisi kandung kemih.[1,2,4]
Ultrasonografi, CT Scan dan MRI
Pada fase akut, ultrasonografi bermanfaat untuk membantu pemasangan kateter suprapubik. Pemeriksaan CT scan dan kadang MRI umumnya digunakan untuk mengevaluasi trauma lainnya yang juga dapat terjadi.
Pemeriksaan MRI dapat dilakukan bila anatomi uretra proksimal masih tidak jelas terlihat pada sistogram dan uretrogram. Tentunya pemeriksaan CT scan dan MRI untuk uretra tidak dimaksudkan untuk pemeriksaan awal pada kondisi akut.[1,4]
Ureteroscopy dan Sistoskopi
Oleh karena pendeknya uretra pada wanita, uretroskopi menjadi modalitas pencitraan pilihan karena dapat memberikan gambaran yang adekuat untuk mengidentifikasi cedera uretra. Sistoskopi menjadi salah satu pilihan pemeriksaan tambahan untuk mengevaluasi cedera uretra pada laki-laki, bahkan menjadi modalitas utama khusus untuk kasus cedera uretra terkait penile fracture.[1,2,4]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli