Indikasi Transplantasi Sumsum Tulang
Indikasi transplantasi sumsum tulang atau bone marrow transplant adalah pada kondisi keganasan ataupun non-keganasan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang.
Kasus keganasan yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang antara lain:
-
Leukemia: leukemia limfoblastik akut, leukemia nonlimfoblastik akut, hairy cell leukemia
- Multiple myeloma
- Limfoma: limfoma Hodgkin dan limfoma non Hodgkin
Pada kondisi non-keganasan, transplantasi sumsum tulang diindikasikan pada kasus:
- Kelainan hematologi: thalassemia beta mayor, anemia sel sabit, anemia fanconi, anemia aplastik
- Imunodefisiensi: sindrom Wiskott-Aldrich, reticular dysgenesis, agranulositosis kongenital, sindrom Chediak-Higashi
- Lainnya: myelofibrosis dan defek pada tulang[1,2,7,9]
Penentuan Kelayakan Pasien yang Perlu Mendapatkan Transplantasi Sumsum Tulang
Terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan apakah pasien cocok untuk mendapatkan terapi transplantasi sumsum tulang. Pada umumnya, transplantasi disarankan pada pasien dengan usia yang lebih muda, memiliki calon donor dengan HLA yang sesuai (bila sumber donor alogenik), penyakit komorbid terkontrol atau masih dapat ditoleransi, menderita penyakit yang responsif terhadap terapi dan dengan risiko yang rendah untuk mengalami relaps setelah transplantasi, serta memiliki status sosio-ekonomi yang baik.[3,4]
Komorbiditas
Sebelum menjalani transplantasi sumsum tulang, diperlukan skrining terhadap fungsi jantung, paru, hepar, dan ginjal. Pasien dengan fungsi organ yang tidak baik sebelum dilakukan transplantasi berisiko untuk mengalami komplikasi akibat prosedur transplantasi.
Paru:
Pada pemeriksaan paru, diharapkan kapasitas difusi paru terhadap karbon monoksida lebih dari 35%.
Kardiovaskular:
Pada pemeriksaan jantung, bila didapatkan ejeksi ventrikel kiri <40%, penyakit arteri koroner dan aritmia tidak terkontrol, serta riwayat penyakit jantung kongestif (NYHA III atau IV), maka pasien tidak disarankan untuk menjalani transplantasi. Hal ini karena pasien yang menjalani transplantasi berisiko untuk mengalami cedera jantung subakut, sehingga faktor risiko kardiak seperti merokok, obesitas, hiperlipidemia, hipertensi, dan hiperglikemia perlu dikendalikan.[3,4]
Ginjal dan Hepar:
Pemeriksaan fungsi ginjal juga diperlukan sebelum prosedur transplantasi. Fungsi ginjal yang adekuat diperlukan karena beberapa regimen yang digunakan bersifat nefrotoksik. Pasien diharapkan memiliki kreatinin serum <2 mg/dl atau klirens kreatinin >50 ml/mnt.
Pasien dengan gangguan fungsi hati yang disebabkan karena keganasan hematologi, hepatitis, alcohol use disorder, ataupun steatosis hepatik berisiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi post transplantasi seperti sinusoidal obstructive syndrome. Pasien dengan sirosis tidak dianjurkan untuk melakukan transplantasi karena tingginya angka morbiditas dan mortalitas.[3,4]
Status Performa
Status performa merupakan salah satu komponen yang dinilai dalam penentuan pemberian transplantasi sumsum tulang. Status performa yang dinilai cukup untuk menjalani transplantasi sumsum tulang yaitu Karnofsky Performance Status ≥60, dan Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) ≤2.[3,4]
Infeksi
Pasien yang akan mendapatkan transplantasi perlu melakukan skrining terhadap infeksi seperti HIV, hepatitis, dan SARS-COV2. Sebelum transplantasi, infeksi yang diderita pasien harus terkontrol dengan baik terlebih dahulu.[3,4]
Hematologi
Pada pasien transplantasi yang mendapatkan donor autolog, perlu dilakukan pemeriksaan hematologi. Pada pemeriksaan sumsum tulang tidak boleh ditemukan adanya kelainan myelodisplasia. Pasien yang mendapat transplantasi sumsum tulang autolog memerlukan waktu paling tidak 2 minggu sampai akhirnya sel sumsum tulang mampu menghasilkan sel-sel baru.[4]
Faktor Lain
Status nutrisi dan berat badan pasien turut mempengaruhi luaran transplantasi sumsum tulang. Pasien dengan gizi buruk atau obesitas berisiko memiliki luaran yang lebih buruk yang lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien berat badan ideal. Hal ini karena penurunan aktivitas fisik, peningkatan insidensi infeksi, dan terapi agresif pada transplantasi dapat menyebabkan wasting dan keseimbangan nitrogen negatif.
Selain itu, pasien dengan status sosioekonomi rendah dilaporkan memiliki tingkat keberhasilan transplantasi yang rendah. Hal ini diduga akibat ketidakmampuan untuk melakukan perawatan kesehatan secara rutin. Pasien yang tinggal di daerah padat juga lebih berisiko mengalami komplikasi infeksi.[3,4]