Komplikasi Transplantasi Sumsum Tulang
Komplikasi transplantasi sumsum tulang atau bone marrow transplant secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu akut dan kronis. Komplikasi akut terjadi dalam waktu 90 hari pasca transplantasi. Hal ini termasuk mielosupresi dengan neutropenia, anemia, trombositopenia; sinusoidal obstruction syndrome (SOS), mukositis, graft-versus-host disease (GvHD) akut, dan infeksi.
Komplikasi kronis terjadi setelah 90 hari. Komplikasi ini termasuk GvHD kronis dan infeksi. Beberapa infeksi yang dapat terjadi yaitu pneumonia, infeksi saluran cerna bawah, ensefalitis, hepatitis, dan sistitis hemoragik.[1,6]
Mortalitas pada kasus transplantasi sumsum tulang dapat terjadi akibat kekambuhan penyakit dasar (relapse related mortality/RRM) dan non-relapse related mortality (NRM). Relaps penyakit dasar yang menyebabkan diperlukannya transplantasi adalah penyebab kematian tersering. Sementara itu, NRM dapat terjadi akibat adanya kanker sekunder, infeksi, dan disfungsi sistem organ.[13,14]
Sinusoidal Obstruction Syndrome (SOS)
Sinusoidal Obstruction Syndrome (SOS) atau penyakit oklusi vena dapat terjadi dalam waktu 10-20 hari hingga 6 minggu pasca transplantasi sumsum tulang. Sindrom ini ditandai dengan ikterik, hiperbilirubinemia, hepatomegali, nyeri perut, peningkatan berat badan akibat retensi cairan, dan tanda-tanda lain yang menggambarkan terjadinya hipertensi porta seperti asites, edema, dan varises.[1,15]
Idiopathic Pneumonia Syndrome (IPS)
Idiopathic Pneumonia Syndrome (IPS) dapat terjadi dalam waktu 90 hari pertama pasca transplantasi sumsum tulang. Kondisi ini ditandai dengan gejala pneumonia dan terdapat cedera luas pada alveoli setelah mengeksklusi kemungkinan infeksi pada saluran pernapasan bawah, disfungsi kardiak, gagal ginjal akut, atau overload cairan. Gejala IPS antara lain sesak, hipoksemia, batuk nonproduktif, restriksi fungsi paru, serta infiltrat difus pada pemeriksaan rontgen toraks.[16]
Graft Versus Host Disease (GvHD)
Graft versus Host Disease (GvHD) merupakan kelainan sistemik yang terjadi akibat sel imun pendonor yang imunokompeten mengenali resipien yang imunodefisien sebagai benda asing. Hal ini menyebabkan sel-sel tubuh resipien diserang oleh sel pendonor.[1,17]
Manifestasi kulit GvHD antara lain ruam makulopapular yang nyeri atau gatal yang mengenai bagian telapak tangan, bahu, leher, hingga menyebar ke seluruh bagian tubuh. Manifestasi saluran pencernaan dapat berupa diare, nyeri perut, mual, dan muntah. Gejala lain yaitu urine dan tinja berwarna pucat.[9,17]
GvHD dapat dibagi menjadi dua berdasarkan waktu manifestasi klinisnya, yaitu akut dan kronis. Manifestasi akut terjadi dalam waktu 3 bulan, sedangkan manifestasi kronis terjadi dalam waktu setelah 3 bulan. Pada GvHD kronis, dapat muncul manifestasi klinis berat seperti lichen planus kavitas oral, karsinoma sel skuamosa oral, dan keratokonjungtivitis sicca. GvHD kronis terjadi pada lebih dari 50% pasien penyintas jangka panjang yang mendapat donor dari saudara yang memiliki HLA-identik.[17]
Infeksi
Pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang berisiko untuk mengalami infeksi. Infeksi dapat terjadi akibat granulositopenia ataupun gangguan sistem imun seluler dan humoral. Risiko komplikasi infeksi ini semakin meningkat pada pasien yang mengonsumsi obat imunosupresan, memiliki penyakit penyerta, atau memiliki riwayat infeksi laten sebelumnya.[9,18]
Berdasarkan waktunya, risiko infeksi pada pasien transplantasi sumsum tulang dapat dibagi menjadi pre-engraftment, early post-engraftment, dan late post-engraftment.
Pre-engraftment
Fase pre-engraftment terjadi kurang lebih selama 30 hari pasca transplantasi. Pada masa ini terjadi peningkatan risiko infeksi yang disebabkan oleh kerusakan mukokutaneus sebagai pelindung alamiah kulit dan mukosa, serta hilangnya kemampuan fagositik yang disebabkan terjadinya neutropenia.
Infeksi yang mudah terjadi pada fase ini antara lain pneumonia akibat virus, bakteri Gram positif, ataupun Aspergillus spp; dan infeksi saluran cerna bawah akibat clostridium difficile colitis ataupun typhlitis. Infeksi lain yang bisa terjadi namun lebih jarang adalah sepsis, ektima gangrenosa, dan selulitis perirektal.[1,19,20]
Early Post-engraftment
Fase early post-engraftment terjadi dari fase engraftment hingga hari ke-100 pasca transplantasi sumsum tulang. Pada fase ini, infeksi yang mungkin terjadi yaitu disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur atau GvHD akut. Contoh infeksi yang disebabkan parasit adalah toxoplasmosis diseminata dan strongyloidiasis diseminata, sedangkan jamur adalah aspergillosis dan pneumonia pneumocystis. Pneumonia bakteri dapat disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan positif. Infeksi virus yang terjadi yaitu infeksi adenovirus, virus hepatitis, sistitis hemoragik, virus ensefalitis terkait human herpesvirus 6, virus herpes simpleks, virus varicella zoster, cytomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr.[1,19,20]
Late Post-engraftment
Fase late post-engraftment terjadi setelah hari ke-100 pasca transplantasi. Infeksi yang terjadi pada ini seringkali dialami pasien yang mendapat donor alogenik. Pada fase ini, GvHD kronis menyebabkan disfungsi imun sehingga mudah terjadi infeksi.
Infeksi yang terjadi pada fase ini disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Nocardia, virus varicella zoster, Neisseria meningitidis, Staphylococcus, dan bakteri Gram negatif seperti Pseudomonas spp.[1,19,20]
Pencegahan Infeksi
Risiko infeksi dapat dikurangi dengan beberapa upaya seperti pemberian terapi profilaksis atau preemptive therapy. Profilaksis primer ditujukan untuk pasien yang berisiko tinggi mengalami infeksi. Profilaksis sekunder adalah pemberian antibiotik dosis profilaksis untuk mencegah infeksi rekuren. Preemptive therapy adalah pemberian antibiotik yang didasarkan atas hasil skrining.
Profilaksis Antimikrobial:
Pemberian profilaksis antimikrobial dimulai saat risiko infeksi tinggi. Pada fase pre-engraftment, dapat diberikan profilaksis fluoroquinolone. Setelah fase engraftment, profilaksis antimikroba diberikan pada resipien alogenik yang mengalami GvHD kronis yang berisiko terinfeksi oleh bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Regimen profilaksis yang dapat digunakan antara lain penicillin, kotrimoksazol, dan levofloxacin.[6,20]
Profilaksis Pneumocystis:
Profilaksis Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dimulai setelah fase engraftment. Profilaksis dilanjutkan selama terapi imunosupresif diberikan, umumnya selama 6 bulan pada resipien alogenik, atau lebih lama bila mendapatkan terapi GvHD; dan kurang lebih selama 3-6 bulan pada resipien autogenik, atau lebih lama bila mendapatkan terapi imunosupresif.
Regimen yang diberikan yaitu kotrimoksazol 2 kali dalam seminggu, atau dapat diberikan alternatif pentamidine 300 mg 1 kali dalam sebulan selama 1 tahun post transplantasi.[6,20]
Profilaksis Toxoplasmosis:
Regimen profilaksis Toxoplasmosis adalah kotrimoksazol. Alternatif yang dapat diberikan adalah clindamycin; pirimetamin ditambah leucovorin; pirimetamin ditambah sulfadiazine; atau pirimetamin dan sulfadoxine ditambah dengan leucovorin.[6,20]
Profilaksis Infeksi Cytomegalovirus (CMV):
Regimen yang dapat diberikan yaitu letermovir yang diberikan pada resipien dengan status CMV seropositif.[6,20]
Profilaksis Tuberkulosis:
Profilaksis tuberkulosis adalah isoniazid (INH). Regimen diberikan pada kandidat atau resipien transplantasi sumsum tulang dengan hasil pemeriksaan tes tuberkulin positif atau interferon-gamma release assay (IGRA) positif tanpa adanya bukti infeksi tuberkulosis aktif dan tanpa tata laksana tuberkulosis laten, serta diberikan pada kandidat atau resipien yang terpapar individu dengan hasil apusan sputum positif. Pemberian profilaksis dimulai pada saat pemberian regimen conditioning telah selesai.[6,20]
Profilaksis Strongyloides:
Profilaksis diberikan bila pada pemeriksaan skrining terhadap Strongyloides stercoralis didapat hasil positif, atau jika ada eosinofilia yang tidak dapat dijelaskan, dan pasien memiliki riwayat bepergian ke daerah endemis S.stercoralis. Regimen profilaksis yang diberikan yaitu ivermectin 200 mcg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut dan dapat diulang 2 minggu kemudian.[6,20]
Komplikasi Penggunaan Regimen Preparatif
Penggunaan regimen preparatif dapat menimbulkan efek samping seperti mual, muntah, diare, mukositis, alopesia, infeksi, dan perdarahan. Penggunaan regimen preparatif bersifat toksik pada organ, termasuk saluran pencernaan, sumsum tulang, sistem saraf pusat, hepar, paru, jantung, dan dapat menyebabkan kerusakan yang bersifat ireversibel. Komplikasi lain akibat pemberian regimen preparatif antara lain pansitopenia, pneumonitis interstitial, dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.[9]
Komplikasi Neuropsikiatri
Terdapat beberapa komplikasi neuropsikiatri yang mungkin timbul pada pasien transplantasi sumsum tulang yaitu delirium, ansietas, dan depresi.
Delirium dapat terjadi dalam waktu 30 hari pertama pasca transplantasi, dan gejala akan berlangsung selama kurang lebih 10 hari. Delirium dapat disebabkan oleh penggunaan obat seperti dimethylsulfoxide (DMSO). Pasien berisiko mengalami delirium berat bila mengalami gangguan metabolik, berusia lanjut, atau menyalahgunakan alkohol dan zat terlarang.
Selain itu, sebanyak kurang lebih 20% pasien transplantasi sumsum tulang mengalami gangguan psikiatri seperti depresi dan ansietas. Risiko ansietas dan depresi lebih tinggi pada pasien usia muda, jenis kelamin perempuan, memiliki riwayat gangguan psikiatri, mendapat regimen obat dengan toksisitas tinggi, dan memiliki status fungsional rendah.[21-23]