Pengawasan Klinis Diazepam
Pengawasan klinis pemberian diazepam termasuk pemantauan kedalaman sedasi, kondisi kardiovaskuler dan respirasi, serta status mental pasien. Pada pemakaian jangka panjang harus diperhatikan tanda-tanda adiksi atau ketergantungan obat[6,9]
Beberapa hal yang harus dipantau ketika memberikan diazepam adalah:
- Kardiovaskuler dan respirasi: tekanan darah, laju napas, laju nadi
- Status mental: gejala kecemasan, delirium
- Kedalaman sedasi
- Tanda-tanda adiksi: ketergantungan benzodiazepin, toleransi
- Pemakaian jangka panjang: pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, laktat serum, tanda toksisitas propylene glycol, dan osmolality gap[6,9]
Propylene glycol merupakan zat dilusi pada sediaan diazepam intravena. Akumulasi propylene glycol dalam tubuh dikaitkan dengan penggunaan diazepam intravena jangka waktu lama, atau dengan dosis besar. Efek zat ini dapat menyebabkan hiperosmolaritas serum, hemolisis, disritmia jantung, hipotensi, asidosis laktat, kejang, cedera ginjal akut, dan kerusakan berbagai sistem organ.[9]
Osmolality gap adalah selisih antara measured osmolality dan calculated osmolality. Osmolalitas serum merupakan konsentrasi zat terlarut dalam plasma, seperti garam sodium, glukosa, dan urea. Osmolality gap menghitung zat terlarut yang bukan merupakan zat-zat tersebut. Osmolality gap ≥10 prediktif terhadap peningkatan zat propylene glycol, dan ≥12 mengindikasikan toksisitas propylene glycol.[4,15]
Populasi Khusus
Pemberian diazepam harus mendapatkan perhatian khusus pada beberapa populasi, yaitu lansia, pediatrik, gangguan fungsi hati, dan pengguna obat depresan sistem saraf pusat lainnya.
Populasi Lansia
Pemberian diazepam pada lansia harus dilakukan dengan hati-hati. Lansia cenderung mengalami kemungkinan yang lebih besar terhadap penurunan kerja ginjal dan hati, sehingga menurunkan kemampuan metabolisme dan eliminasi obat. Akibatnya, terjadi peningkatan risiko akumulasi obat dalam tubuh yang berpotensial menimbulkan efek samping. Diazepam juga harus diberikan secara hati-hati pada pasien dengan risiko jatuh.[9]
Selain itu, dilaporkan terjadi reaksi paradoks dimana sistem saraf pusat mengalami hiperaktivitas. Reaksi paradox ini lebih sering terjadi pada anak atau lansia. Manifestasi dapat berupa perilaku agresif, iritabilitas, ansietas, dan halusinasi. Apabila hal ini terjadi, pemakaian obat harus dihentikan segera. Dosis obat yang diberikan untuk lansia adalah dosis efektif terendah dalam waktu sesingkat mungkin.[3,9]
Populasi Pediatrik
Diazepam dapat diberikan pada pasien pediatri dengan penyesuaian dosis. Pada bayi usia <6 bulan, diazepam tidak boleh diberikan karena minimnya pengalam klinis, kecuali pada keadaan dimana tidak ada alternatif lain.[2,14]
Penderita Gangguan Fungsi Hati
Pada pasien dengan gangguan fungsi hati, waktu paruh diazepam meningkat hingga 2‒5 kali lipat. Pada populasi ini juga terjadi peningkatan volume distribusi dan penurunan klirens obat. Dosis diazepam harus diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi hati ringan hingga sedang. Pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat, diazepam tidak boleh diberikan.[4,6]
Pasien Mengonsumsi Opioid atau Alkohol
Penggunaan diazepam pada pasien yang mengonsumsi depresan sistem saraf pusat lain, misalnya alkohol dan opioid, berpotensi memperkuat efek diazepam. Risiko sedasi berlebih, depresi napas, dan koma akan meningkat, sehingga penggunaan diazepam diberikan secara hati-hati dan terpantau. Pasien disarankan untuk tidak mengonsumsi alkohol atau obat depresan sistem saraf pusat lain selama menjalani terapi dengan diazepam.[3,4]
Penulisan pertama: dr. Tanessa Audrey Wihardji