Diagnosis Azoospermia
Diagnosis azoospermia perlu dicurigai pada laki-laki yang mengeluhkan infertilitas. Analisis sperma dapat dengan mudah menegakkan diagnosis. Pasien juga mungkin memerlukan pemeriksaan hormonal dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk mengidentifikasi etiologi azoospermia.[1,3,4]
Anamnesis
Pada laki-laki dengan infertilitas, perlu ditanyakan mengenai faktor risiko yang dapat mempengaruhi fertilitas seperti gaya hidup, riwayat kanker testis, penyakit komorbid, infeksi urogenital, riwayat operasi, dan paparan terhadap gonadotoksin.[3-5]
Riwayat Infertilitas
Pasien azoospermia umumnya datang akibat infertilitas. Pada anamnesis, tanyakan usia pasangan dan berapa lama waktu yang telah dilalui untuk mencoba hamil. Tanyakan juga riwayat dan durasi penggunaan kontrasepsi.[3-5]
Riwayat Seksual
Evaluasi riwayat seksual, termasuk adanya gangguan ereksi, libido, penggunaan pelumas, dan frekuensi masturbasi. Tanyakan juga riwayat perkembangan seksual dan onset pubertas.[3-5]
Riwayat Penyakit
Evaluasi adanya riwayat penyakit yang meningkatkan risiko azoospermia, seperti kriptorkismus, hernia, trauma testis, torsio testis, dan orchitis mumps. Tanyakan juga riwayat infeksi urogenital, termasuk infeksi menular seksual.
Faktor lain adalah riwayat operasi yang meningkatkan risiko obstruksi urogenital. Ini mencakup orchidopexy, herniorrhaphy, dan orchiectomy, serta operasi retroperitoneal, pelvis, inguinal, scrotum, atau perineal.[3-5]
Paparan Gonadotoksin
Azoospermia juga bisa berkaitan dengan paparan gonadotoksin. Obat yang bersifat gonadotoksik antara lain sulfasalazin, kolkisin, allopurinol, cimetidine, kemoterapi, dan steroid anabolik. Paparan radiasi dan panas juga meningkatkan risiko azoospermia.[3-5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi habitus pasien. Persebaran rambut abnormal, ginekomastia, dan postur eunochoid mengindikasikan adanya defisiensi testosteron dan gangguan hormonal seperti hiperprolaktinemia, abnormalitas rasio estrogen dan testosteron, disfungsi adrenal, atau sindrom genetik.
Pasien yang memiliki ekstremitas panjang dan tidak proporsional dengan anggota tubuh lainnya menunjukkan keterlambatan penutupan epifisis akibat defisiensi testosteron pada masa pubertas.[1,3-5]
Pemeriksaan Genital
Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan genital. Pada inspeksi, perlu diperhatikan kurvatura penis, hipospadia, dan adanya luka operasi pada area urogenital.
Pada palpasi skrotum dilakukan pemeriksaan ada tidaknya testis, ukuran, konsistensi dan kesimetrisan testis kanan dan kiri. Ukuran testis dewasa normal adalah 4x3 cm atau sekitar 20 ml. Pasien dengan volume testis yang kecil berpotensi mengalami gangguan spermatogenesis. Pada pasien dengan azoospermia non-obstruktif, biasanya volume testis kecil, tidak lebih dari 15 ml.
Selanjutnya, dilakukan palpasi epididimis untuk melihat adanya pembesaran, indurasi dan kista. Palpasi dilanjutkan ke korda spermatikus untuk memeriksa ada tidaknya vas deferens dan varikokel.
Untuk memeriksa varikokel derajat rendah perlu dilakukan manuver Valsava. Untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus ejakulatorius, dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk memeriksa ada tidaknya kista di garis tengah prostat yang mengarah pada diagnosis kista duktus Mullerian. Adanya indurasi, dan nyeri tekan pada prostat mengarah pada diagnosis prostatitis.[1,3-5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari azoospermia adalah kelainan sperma lainnya. Kelainan ini mencakup oligospermia, astenozoospermia, dan teratozoospermia.[12]
Oligospermia
Oligospermia merupakan kondisi dimana hasil analisis semen menunjukkan <15 juta spermatozoa/mL. Oligospermia dapat disebabkan oleh infeksi, ejakulasi retrograde, dan kelainan genetik berupa delesi kromosom Y. Oligospermia juga bisa disebabkan oleh konsumsi obat seperti alpha blockers, finasteride, dan antiandrogen.[12]
Astenozoospermia
Pada astenozoospermia, analisis semen menunjukkan <32% spermatozoa motil. Serupa dengan azoospermia dan oligospermia, astenozoospermia dapat disebabkan oleh merokok, konsumsi alkohol berlebih, dan obat gonadotoksik. Pekerjaan yang menyebabkan trauma berulang pada pelvis, misalnya supir atau menaiki kuda, dapat meningkatkan risiko astenozoospermia.[12]
Teratozoospermia
Pada teratozoospermia, analisis semen menunjukkan <4% bentuk spermatozoa yang normal. Penyebabnya serupa dengan kelainan sperma lain, termasuk varikokel, obesitas, dan paparan zat gonadotoksik.[12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk azoospermia berupa analisis semen, pemeriksaan kadar hormon, pencitraan, biopsi testis, dan pemeriksaan genetik.
Analisis Semen
Analisis semen merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi kondisi infertilitas pada pria. Analisis semen dapat menunjukkan seberapa banyak sperma yang sehat. Menurut WHO, penting untuk membedakan antara:
- Oligozoospermia: < 15 juta spermatozoa/ml
- Asthenozoospermia: < 32% spermatozoa motil
- Teratozoospermia: < 4% serma dengan bentuk normal[11]
Tabel 1. Batas Bawah Hasil Analisis Semen
Parameter | Batas Bawah |
Volume semen (mL) | 1.4 (1.3-1.5) |
Jumlah sperma total (106 per ejakulat) | 39 (35-40) |
Konsentrasi sperma (106 per mL) | 16 (15-18) |
Motilitas total (PR+NP, %) | 42 (40-43) |
Motilitas progresif (PR, %) | 30 (29-31) |
Vitalitas (spermatozoa yang hidup, %) | 54 (50-56) |
Morfologi sperma (bentuk normal, %) | 4 (3,0-4,0) |
Konsensus Lainnya | |
pH | >7,2 |
Leukosit peroksidase positif (106 per mL) | <0,1 |
Tes Antibodi terhadap Spermatozoa | |
Tes MAR (spermatozoa motil dengan dengan partikel ikatan, %) | Tidak ada nilai referensi evidence-based |
Tes immunobead (spermatozoa motil dengan bound beads, %) | Tidak ada nilai referensi evidence-based |
Fungsi Kelenjar Aksesorius | |
Zinc seminal (µmol/ejakulat) | >2,4 |
Fruktosa seminal (µmol/ejakulat) | >13 |
Glukosidase netral seminal (µmol/ejakulat) | >20 |
MAR = mixed antiglobulin reaction; NP = non-progressive; PR = progressive (a+b motility).
(Sumber: WHO Manual for the Laboratory Examination and Processing of Human Semen, edisi 6, 2021.)
Jika analisis semen normal sesuai dengan kriteria WHO, tes tunggal sudah cukup. Jika hasilnya tidak normal pada setidaknya 2 kali pengecekan, maka diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan andrologi lebih lanjut.[5,11]
Sampel semen dikumpulkan setelah menghindari aktivitas seksual (abstinensia) selama minimal 48 jam hingga maksimal 7 hari. Diambil dua sampel untuk evaluasi awal, dengan interval tidak boleh kurang dari 1 minggu atau lebih dari 3 minggu.[4]
Pada kasus azoospermia, analisis semen dapat memiliki volume ejakulasi normal dan azoospermia setelah sentrifugasi. Metode yang direkomendasikan adalah sentrifugasi semen pada 3.000 g selama 15 menit dan pemeriksaan mikroskopis menyeluruh dengan optik kontras fase pada pembesaran ×200. Semua sampel dapat diwarnai dan diperiksa ulang secara mikroskopis.[4,5,11]
Evaluasi Kadar Hormon
Pemeriksaan kadar hormon dalam serum dapat membantu untuk membedakan diagnosis banding dari azoospermia. Follicle-stimulating hormone (FSH) dan testosteron merupakan hormon yang penting dalam spermatogenesis. Testosteron diproduksi oleh sel-sel Leydig di bawah stimulasi luteinizing hormone (LH). Kadar testosteron intratestikular normal sangat penting untuk pematangan sperma.
Sebaliknya, FSH terutama berperan untuk meningkatkan produksi sperma dan bekerja sama dengan testosteron intratestikular untuk meningkatkan proliferasi sel. FSH memiliki hubungan berbanding terbalik dengan kuantitas spermatogonia.
Pada pasien dengan hipogonadisme primer, dapat ditemukan kadar FSH dan LH dengan atau tanpa testosteron rendah. Hipogonadisme hipogonadotropik merupakan penyebab azoospermia non-obstruktif dengan insiden tidak lebih dari 2% dari semua laki-laki infertil. Kemungkinan penyebabnya termasuk sindrom Kallmann, hipogonadisme yang diinduksi androgen, neoplasma otak, radiasi, dan trauma.
Sementara itu, pasien dengan azoospermia obstruktif menunjukkan kadar FSH dan testosteron normal. Hormon lain juga dapat dinilai, termasuk inhibin B, prolaktin, estradiol, 17-hydroxyprogesterone, dan sex hormone-binding globulin (SHBG).[1,2,5]
Pencitraan
Sebagai pemeriksaan tambahan setelah dilakukan pemeriksaan fisik, pencitraan dapat dilakukan untuk menentukan penyebab dan tipe azoospermia. Pada umumnya modalitas pencitraan yang digunakan adalah ultrasonografi skrotum, dan ultrasonografi transrektal.
Ultrasonografi skrotum diindikasikan untuk kasus prostatitis, vesikulitis, kalsifikasi testis (mikrolitiasis), ataupun massa testis. Ultrasonografi skrotum juga dapat membantu menentukan volume testis, karakteristik epididimis, dan adanya varikokel yang tidak meyakinkan dengan pemeriksaan fisik, misalnya pada pasien obesitas.[1,3,4]
Ultrasonografi transrektal (TRUS) diindikasikan pada pasien azoospermia dengan hipospermia (volume ejakulasi < 1,5 mL) dan pH asam jika diduga ada obstruksi. TRUS dapat mendeteksi kelainan vesikula seminalis dan kista prostat yang dapat menghalangi duktus ejakulatorius dan mengakibatkan azoospermia.[3,4]
Biopsi Testis
Biopsi testis dapat membedakan jenis azoospermia dan menyingkirkan diagnosis banding antara azoospermia non-obstruktif dan azoospermia obstruktif.
Pemeriksaan histopatologi dapat membedakan adanya gangguan terhadap spermatogenesis yang menandakan penyebab azoospermia non-obstruktif. Tanda-tanda yang dapat ditemukan mencakup sertoli cell-only, maturasi sperma terhambat, hipospermatogenesis, dan hialinisasi tubular. Jika tidak terdapat gangguan pada spermatogenesis, menandakan penyebab azoospermia obstruktif.[3,4]
Pemeriksaan Genetik
Pemeriksaan genetik diindikasikan untuk pasien infertil dengan kecurigaan kelainan kromosom. Temuan kariotipik abnormal yang paling umum pada laki-laki azoospermia adalah sindrom Klinefelter yang terdeteksi pada sekitar 10% kasus. Selain itu, terdapat pula mikrodelesi kromosom Y, baik AZF a, b, atau c, yang berhubungan dengan gangguan spermatogenesis.[3,5]
Penulisan pertama oleh: dr.Della Puspita Sari
Direvisi oleh: dr. Bedry Qhinta